Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Omong [Bukan] Kosong Kebajikan

25 Juli 2022   08:50 Diperbarui: 26 Juli 2022   11:07 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap manusia berkebajikan, hanya mau atau  tidak mempratikkannya. Ketika berbuat baik dengan tulus, maka tiada perhitungan lagi. Rela berkorban demi kebajikan.

Tema lomba  menulis yang keren "Perubahan Itu Pasti, Kebajikan  Harga Mati". Begitu puitis, menyentuh hati, dan menginspirasi.

Idealnya memang demikian.  Zaman boleh terus berganti, tetapi tidak boleh terjadi tawar-menawar dalam urusan kebajikan hati. Harga mati.

Perubahan boleh terus terjadi, tetapi nilai dari kebajikan takboleh ditawar lagi. 

Namun, berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Kebajikan yang ada tidak murni lagi. Takbisa memungkiri. Tidak ada makan siang yang gratis. Katanya.

Apa itu?

Seiring perubahan zaman, kebajikan yang sejatinya tanpa pamrih. Semata karena panggilan hati. Berganti ada syarat dan ketentuan yang berlaku  kini.

Bukankah begitu?

Urusan kebajikan memang masih banyak melakoni. Tidak pernah mati. Hanya saja tidak lagi menjadi harga mati. Ada tawar-menawar yang menggoyahkan hati.

Bukankah banyak terjadi dalam kehidupan saat ini. Orang-orang mau berbuat baik, selalu berharap ada timbal balik. Pesan sponsor mesti ada. Besar-besar mencantumkan nama, agar tahu siapa yang berbuat baik itu.

Ibarat kata, kebajikan yang dilakukan mesti ada  mendatangkan keuntungan. Secara materi  atau keterkenalan.

Harga mati menjadi omong [bukan]  kosong belaka. Ini nyata, bukan?

Tak memungkiri ini memang terjadi, tetapi tentu saja tidak semua begini. Banyak atau umum  bukan berarti semua. Jangan skeptis. Bahwa tidak ada lagi orang yang benar-benar baik lagi di dunia saat ini.

Kita tetap mesti percaya. Pasti masih banyak orang  yang berpegang teguh pada prinsip kebajikan sebagai harga mati. Berkebajikan sebagai panggilan hati.

Diam-diam membantu sesama tanpa mau dikenal. Menolong sesama tanpa harus tahu siapa dia. Banyak. Mungkin orang-orang semacam ini ada di sekitar kita. Menolong kita  tanpa menyadari ia sebagai pelaku kebajikan. Ibarat kata sebagai dewa penolong. 

Sewaktu saya melayani di daerah Serang dengan meninggalkan pekerjaan yang sudah nyaman, saya bertemu seorang kawan yang sering menyalurkan bantuan. Menurutnya dana yang dipakai bukan miliknya pribadi, tetapi ada seseorang yang menjadi donatur. Seorang dermawan.

Ketika saya sakit, ia pun menawarkan biaya pengobatan. Karena ia tahu  urusan melayani yang saya lakoni tidak menerima gaji atau penghasilan. 

Tentu saya penasaran. Siapa dermawan itu gerangan?

Sayang, teman ini tetap merahasiakan. Apakah orang itu ia sendiri? 

Entahlah!

Ternyata memang masih ada orang yang tulus dalam kebajikan. Berbuat tanpa perlu ada yang mengenal.

Yang ingin saya katakan bahwa di dunia ini masih ada  orang-orang berbuat kebajikan sebagai harga mati. Berbuat baik secara diam-diam. Biar hanya semesta yang mengetahui.

Saya juga banyak mengenal teman-teman yang ada bahkan ia sendiri hidup dalam kekurangan, tetapi tidak menggoyahkan hatinya melakukan kebajikan pada sesama. Di mana saja ia ditempatkan. 

Yang luar biasa, orangtua pun mendukung merelakan anaknya melayani tanpa ada penghasilan. Semua hanya mengikuti panggilan hati. Ibarat kata, berbuat kebajikan tanpa ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Ada juga anak-anak muda yang sekolah tinggi bahkan jauh-jauh di luar negeri. Pulang bukannya cari pekerjaan bergaji tinggi, malah melayani dalam kebajikan tanpa pamrih.

Apakah mereka orang-orang yang bodoh?

Bukan. Mereka ini yang termasuk manusia yang punya prinsip kebaikan sebagai harga mati. Mengerti jalan hidup yang sejati.

Urusan ini saya tak berani omong kosong. Karena saya tahu persis dan sendiri pernah menjalani.

Ketika dalam ketulusan berbuat baik tak hitung-hitungan lagi. 

Mengapa ada keberanian dan ketulusan seperti ini?

Semua bisa terjadi karena ada benih-benih kebajikan yang disemai orang-orang yang berada di depan, sehingga menjadi teladan dan inspirasi untuk melakukan hal yang sama.

Jadi, bila hari ini kita pun berani dan tulus berbuat baik kepada  sesama, pasti akan menjadi inspirasi orang di sekitar ataupun generasi berikutnya.

Semua memang mesti dimulai dari diri kita sendiri tanpa bertanya atau menengok sana sini.

@cermindiri, 24 Juli 2022 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun