Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Omong Kosong Berdoa Merasa Diri Paling Baik

4 Mei 2022   07:42 Diperbarui: 4 Mei 2022   07:55 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Omong kosong macam apa ini, ketika berdoa pun masih bisa menghakimi. Sejatinya ketika berdoa kejernihan hati yang bicara, bukan penuh curiga.

Merasa diri paling rohani hanya karena rajin berdoa. Merasa diri paling baik hanya karena mata melihat orang lain tidak melakukan hal baik. 

Begitulah umumnya manusia. Oh, maksudnya saya. Ya, saya yang kerap kali melakukan. Padahal tahu hal ini tidak baik, tetap terjadi juga. Entah siapa lagi teman-teman saya yang berperilaku sama?

Inilah kondisi yang saya alami baru-baru ini ketika berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit. 

Bukankah berada di ruang tunggu mestinya menunggu, ini malah macam-macam pikirannya? Menghakimi pula. Bagaimana ceritanya? 

Markihas. Mari kita bahas. 

Hari itu saya sedang berada di ruang tunggu ICU. Benar. Namanya di ruang tunggu memang pekerjaannya menunggu. Saya  menunggu Papa yang sedang dirawat karena penyakit yang lumayan parah. 

Karena kondisi memang agak mengkhawatirkan sebagai orang yang percaya Kekuasaan Tuhan, maka berdoalah saya. 

Berdoa memang selalu menjadi senjata ketika menghadapi masalah. Selain meminta pertolongan pada-Nya, sangat mujarab sekali sebagai obat untuk menenangkan diri. Beginilah yang sering kali saya alami. 

Awalnya cukup khusyuk. Intinya minta yang terbaik untuk Papa dalam kondisi saat ini. Apapun itu. Pasrah. Berserah. Entah apa namanya lagi. Karena sebagai manusia saya hanya bisa berusaha dalam batas kemampuan. 

Tenang, tenang, dan tenang. Lama-lama mata sedikit terbuka. Ada terdengar suara. Melirik sana sini. Mulailah tergoda. Pikiran jadi macam-macam melihat kondisi kiri kanan. Ketenangan mulai berubah liar bagai perilaku sang monyet. 

Mereka yang satu ruangan dengan saya di ruang tunggu tentu sama juga kondisinya dengan saya yang sedang menunggu keluarga yang dalam kondisi kritis di ruang ICU. 

Kenapa mereka beda dengan yang saya lakukan? 

Sementara saya khusyuk berdoa, lah mereka malah sibuk dengan main gawai masing-masing. Masih bisa senyum-senyum lagi. Keterlaluan. 

Beginilah pikiran nakal saya bereaksi. Ada keluarga sakit, apalagi dalam kondisi kritis, semestinya berdoa. Bukan malah sibuk dengan hal lain.  

Apa artinya? 

Nah, bukankah demikian biasanya yang terjadi perilaku orang yang merasa dirinya paling baik dan benar? 

Dalam kebaikan  kita malah sibuk menghakimi orang lain. Merasa diri yang paling baik dan benar sedunia. Padahal yang benar belum tentu demikian. 

Akhirnya perbuatan baik justru menjadi tidak baik dan  benar.  Hal ini justru menunjukkan siapa diri yang sesungguhnya.

Sayangnya acap kali kita tak menyadari kebodohan kita ini. 

Kita memang sering kali spontan tergoda menilai apa yang tampak oleh mata sebagai kebenaran. Kenyataan yang ada belum tentu demikian. 

Saat kita berdoa dan melihat orang lain bermain dan santai lantas membandingkan diri sendiri. Sementara kita tidak bersama mereka selama 24 jam. 

Mana kita tahu ketika dalam kegelapan malam nan sunyi mereka lebih khusyuk berdoa berlinang air mata. Lebih ikhlas dan pasrah. 

Beruntung saat pikiran ini sedang genit menilai ada suara yang mengingatkan. 

"Jangan sok merasa diri yang paling rajin berdoa. Doamu kehilangan nilai ketika malah sibuk menilai orang lain. Sadar oi!" 

Bagai sebuah tamparan telak mengenai pipi. Aduh. Jadi malu. 

Lebih baik malu daripada memalukan dengan perilaku diri yang merasa paling baik dan benar ini. Padahal di balik semua itu hati masih penuh keburukan dan kebusukan. Apesnya tidak tercium lagi. 

Kenapa malah buka aib sendiri ini? 

Ada waktunya memang kita harus berani mengakui ada yang salah dengan perilaku yang terjadi. 

Sebagai manusia yang ego masih menjadi penguasa diri kita memang lebih memilih untuk menyangkal kesalahan yang ada.

Ini masalah terbesar hidup kita. Apabila tak menyadari ada kesalahan yang terjadi pada diri kita tentu saja kita tidak tahu untuk memperbaiki kesalahan yang ada pada diri kita. 

Karena kita selalu merasa sudah baik dan  benar, apalagi yang hendak diperbaiki? 

Akhirnya semakin terlena dalam kesalahan demi kesalahan tanpa ada merasa perlu memperbaiki dan membenarkan. 

Itulah bedanya antar manusia awam dengan orang bijak. Karena orang bijak selalu merasa dirinya masih ada kesalahan dan belum benar jadi manusia.

Oleh sebab itu akan selalu ada keinginan dan fokus memperbaiki kesalahannya. 

Mungkin kita akan membela diri, "Saya bukan orang bijak."

Pertanyaannya, kenapa merasa diri belum menjadi orang bijak tidak mau mengubah diri menjadi bijak yang selalu mau berintrospeksi diri setiap hari? 

@cermindiri, 15 Desember 2021 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun