Kehidupan punya cara yang sempurna untuk mengingatkan dan menegur kesalahan manusia. Apakah manusia merasa atau menganggap sekadar omong kosong?
Kehidupan sehari-hari merupakan hamparan kitab suci apabila kita mau membuka mata dan hati untuk membacanya dengan tulus sebagai pembelajaran hidup.Â
Melalui panggung kehidupan yang terjadi di depan mata, melalui berbagai media kita bisa menyaksikan banyak peristiwa sebagai kitab suci  kehidupan demi pertumbuhan kerohanian.Â
Peristiwa baik yang dialami sendiri maupun orang lain atau dari peristiwa alam. Banyak sekali. Tiada akan habis, sepanjang waktu kita bisa membaca kitab suci kehidupan ini bila mata hati ini selalu terbuka.Â
Seperti yang terjadi belum lama ini, Edy Mulyadi, seorang jurnalis dan mantan caleg partai yang asal bicara soal Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur sebagai tempat jin buang anak. Tak lebih sebagai omong kosong saya kira. Karena di baliknya ada maksud tertentu.Â
Akibat ucapannya itu Edy dianggap menghina orang Kalimantan. Selain itu juga sangat merendahkan bahwa yang mau tinggal di sana  hanya paling kuntilanak dan genderuwo. Yang kemudian ditambahkan lagi "hanya monyet" oleh orang di sebelahnya. Yang sebelumnya tak diketahui siapa. Belakangan baru ketahuan namanya.Â
Apa yang terjadi ini ibarat istilah kena batunya. Senjata makan tuan. Begitulah biasanya orang yang ingin cari gara-gara atau  pongah akan menerima akibatnya sendiri. Syukur kalau sadar bahwa ini sebagai teguran. Nah, kalau merasa tidak bersalah, justru muncul segala pembelaan?Â
Bila kita mencermati apa yang  dilakukan Edy Cs adalah hendak membangun narasi untuk menyerang sebagai bentuk ketaksetujuan kepada pemerintah dalam hal pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur.Â
Karena mereka beranggapan nanti pembangunan ibu kota baru ini akan dikuasai oleh Tiongkok yang kemudian mendatangkan orang-orang dari Tiongkok. Ujung-ujungnya kita pasti sudah tahu narasi apalagi yang hendak  dibangun oleh mereka.Â
Komunis. Ya, nanti Indonesia akan  dikuasai Tiongkok. Tiongkok itu komunis. Bahaya. Inilah mainan yang selalu mereka pakai untuk menyerang pemerintah selama ini. Heran saja.Â
Kalau kita perhatikan juga apa yang dilakukan Edy bersama kelompoknya ketika bicara semacam konferensi pers yang tentu ada  tujuan tertentu di baliknya.Â
Kita bisa menduga ini semacam ada unsur kesengajaan, agar mendapat pemberitaan yang luas. Â Selain pemerintah juga dalam hal ini ada dugaan melecehkan Menteri Pertahanan dengan perkataan mengeong.Â
Kenapa semacam ada unsur kesengajaan untuk memancing kemarahan pemerintah?Â
Seumpama pemerintah menyikapi dengan keras, justru bisa jadi keinginan mereka dengan senjata serangan susulan bahwa pemerintah anti dikritik dan tuduhan mereka benar. Bukannya bisa begitu?Â
Namun, tak diduga dan disangka, bisa jadi memang sudah  kehendak alam, keluar perkataan "tempat jin buang anak"  yang justru dianggap menghina orang Kalimantan.Â
Ketika orang-orang Kalimantan  marah, Edy buru-buru minta maaf, walaupun dengan perasaan tidak bersalah. Terbukti caranya minta maaf sambil ngeles. Bahwa istilah jin buang anak itu artinya  jauh, sehingga permintaan maafnya dianggap tidak sungguh-sungguh. Yang ada makin membuat kesal.Â
Apa yang dialami seorang  Edy Mulyadi sejatinya tidak menjadi bahan ledekan. Apa yang terjadi bisa menjadi cermin bagi kita.Â
Oleh sebab itu Markimin, mari kita bercermin.Â
Berpikir sebelum bicara. Apa yang menyangkut SARA mestinya kita tidak sembarangan berbicara. Jangan asal omong. Berpikir dengan sehat dan cermat sebelum keluar jadi kalimat. Karena akan bisa menerima akibat dengan cepat.Â
Jangan kita berpikir apa yang diomongkan dalam ruang tertutup. Sekarang hampir boleh dikatakan sekecil apapun yang kita lakukan bisa dengan mudah dan cepat tersebar di media sosial.Â
Teguran. Ketika apa yang kita lakukan tanpa sadar dan menyinggung perasaan orang lain, apa yang  menjadi reaksi orang lain semestinya kita jadikan sebagai teguran. Bukannya malah sibuk membela diri dengan berbagai alasan yang justru terlihat tak tulus dan membuat suasana semakin panas.Â
Jangan kita berpikir apa yang kita pikir sama dengan pikiran orang lain. Dalam dalam ini kita juga mesti pandai melihat situasi dan kondisi. Misalnya orang lain serius kita malahan bercanda. Bisa merusak suasana.Â
Jangan kebiasaan di tempat kita dianggap sebagai hal biasa tidak apa-apa lalu kita lakukan di tempat lain hal yang sama. Kalau nanti ada yang tersinggung lantas membela  diri bahwa itu hal biasa di tempat kita. Ini sama saja omong kosong.Â
Soal permintaan maaf. Ketika kita hendak meminta maaf karena sebuah kesalahan lakukan saja dengan apa adanya. Tulus. Tanpa embel-embel.Â
Jangan sampai minta maaf, tetapi dengan seribu pembenaran. Sungguh tidak akan mengundang simpati. Yang ada akan dianggap tidak sungguh-sungguh, sehingga tidak dihargai. Bikin dongkol malah.Â
Meminta maaf itu dengan penuh penyesalan, bukannya minta maaf sambil bercanda dan tertawa. Kalau ini dilakukan bisa dianggap keterlaluan.Â
Sekali lagi, setiap peristiwa kehidupan bisa menjadi cermin bagi kita, agar kerohanian kita semakin bertumbuh dewasa. Bukan untuk menjadi lelucon.Â
Setiap peristiwa juga bisa jadi menjadi teguran atas kesalahan yang kita lakukan. Kehidupan memang punya cara yang sempurna untuk mengingatkan kita. Itu kalau kita sadar.Â
@cermindiri, 28 Januari 2022Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H