Kita selalu ingin melakukan yang terbaik untuk orangtua. Apakah hasilnya akan selalu yang terbaik?Â
Malam itu Papa masih berada dalam perawatan di ruang IGD karena kamar yang ada di rumah sakit semua kelas penuh. Betapa bingung dan gelisah saya. Dalam lelah badan dan pikiran  tak tahu harus berbuat apa. Karena melihat kondisi Papa yang semakin lemah.Â
Hal ini yang menyebabkan rencana operasi kaki terus tertunda. Karena hemoglobin rendah, sebaliknya tekanan darah tinggi dan kondisi gula darah yang turun terus sampai di bawah 70 mg/dl.Â
Hati terasa menahan kesedihan mendalam melihat usaha perawat menemukan pembuluh darah yang pas  untuk memasukkan jarum infus mengalami kendala.Â
Akhirnya perawat itu sampai menyerah. Pembuluh darah sudah menyempit, katanya. Kemudian  harus menunggu perawat lainnya yang lebih berpengalaman.Â
Sementara papa menahan sakit yang luar biasa. Tampak dari raut wajahnya. Saya pun ikut menahan sakit. Menahan air mata juga.Â
Apa yang bisa saya perbuat?
Bingung sejenak dan ingin berteriak atau menangis rasanya saat itu.Â
Namun, segera menenangkan  diri. Tarik napas dalam-dalam  melihat ke dalam dan menyadarkan  diri. Pasti ada jalan. Percaya saja.
Dalam kondisi ini hanya doa yang menjadi harapan dan berserah kepada Yang Mahakuasa agar dokter bisa melakukan yang terbaik. Karena sebagai manusia tentu punya keterbatasan.
Pada batas ini saya tidak tahu ini yang dinamakan ketaatan dalam keyakinan atau kekurangajaran. Karena hanya bisa lepas tangan dan sepenuhnya berserah pada-Nya.Â
Saya hanya terus meyakinkan diri bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik. Apa pun itu.Â
Mau melakukan usaha apalagi?
Sempat berpikir untuk memindahkan ke rumah sakit lain dengan risiko menanggung biaya lebih besar. Belum lagi proses pengobatan kemungkinan akan mulai dari awal lagi. Bingung.Â
Namun, saya masih mencoba berpikir dengan waras. Saya hitung dan menimbang berkali-kali mengenai risiko dan biaya bila memindahkan ke rumah sakit lain.Â
Untuk itu saya  berdiskusi juga dengan saudara yang lain mengenai masalah ini. Karena setiap keputusan memiliki risiko tersendiri. Salah langkah malah jadi masalah.Â
Apa boleh buat setelah mempertimbangkan saya membulatkan tekad mempercayakan sepenuhnya penanganan pada dokter yang ada saat ini. Tentu dengan segala risiko yang ada.Â
Bersyukur, pada akhirnya dapat melalui masa krisis sehingga dokter memutuskan segera melakukan operasi. Sesuai dengan harapan semuanya berjalan dengan lancar. Puji Tuhan.Â
Kali ini air mata yang mengalir adalah rasa syukur dan bahagia.Â
Apakah artinya saya sudah melakukan  yang terbaik untuk kesembuhan orangtua? Entahlah.Â
Dalam hal memberikan perawatan terbaik pada orangtua  tentu menjadi setiap keinginan anak. Apalagi dalam kondisi sedang sakit. Walaupun terbentur dalam keterbatasan dan keadaan.Â
Apabila mampu pasti akan melakukan apapun itu. Saya jadi mengingat apa yang dialami seorang teman. Ketika orangtuanya mengalami satu penyakit. Ia membawa orangtuanya di rumah sakit terbaik di kota kami.Â
Ketika dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi ia langsung menyetujui. Karena menurut dokter kalau tidak dilakukan operasi umur orangtuanya paling lama bisa bertahan setahun.Â
Tentu saja ia tidak ingin hal ini terjadi. Walaupun untuk operasi harus menghabiskan uang ratusan juta ia tidak keberatan. Yang terpenting orangtuanya bisa hidup lebih lama lagi setelah operasi. Sebuah harapan indah sebagai anak yang berbakti.Â
Namun, apa yang terjadi? Setelah operasi orangtuanya justru meninggal. Berpikir sudah memberikan perawatan yang terbaik, justru berakhir kematian. Ia begitu menyesal dan mengatakan apabila tahu hasilnya seperti ini lebih baik tidak usah operasi. Waktu kebersamaan masih bisa setahun.Â
Demikian apa yang kita pikir sebagai yang terbaik ternyata hasilnya bisa omong kosong belaka.Â
Apapun itu tidak perlu menjadi penyesalan. Karena terbaik menurut kita belum tentu terbaik bagi Sang Pemberi Kehidupan.Â
Dalam kehidupan kita hanya bisa melakukan yang terbaik sesuai kapasitas, hasilnya akhirnya bukan kekuasaan kita lagi.Â
Apa yang harus disesalkan atas apa yang sudah terjadi? Penyesalan justru semakin menambah penderitaan.Â
@cermin peristiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H