Yang satu lagi setelah kegiatan rutin selesai kerjanya keliling sambil bawa golok mencari buah pepaya yang banyak ditanam di lingkungan ternak. Setelah itu akan mengajak anak yang lain kumpul mengobrol.Â
Pernah saya tegur pelan-pelan, malah saya balik diceramahi. Sepertinya mmenag pintar bicara. Sementara saya masih imut-imut.Â
Bagaimana ini? Kalau ada manajer  atau supervisor dia dan teman-temannya  baru pura-pura sibuk. Dasar. Memang saya dianggap tiada?Â
Saya berusaha tidak banyak bicara, yang penting juga pekerjaan utama tidak terbengkalai. Namun saya berpikir  juga tidak boleh begini terus. Mereka keenakan saya yang gondok dan tertekan.Â
Hadapi Secara Empat Mata, Bicara Secara Lembut
Biarpun dalam dunia kerja saya masih hijau, saya tak memilih menegur langsung karyawan yang dianggap kepala geng ini. Karena saya lihat mereka rata-rata malah menurut ke dia. Kalau saya hadapi secara frontal mengikuti perasaan pasti saya yang dapat masalah bukan menyelesaikan masalah.Â
Suatu hari saya suruh seorang karyawan memanggil dia ke kantor. Saat menghadap raut wajahnya sudah menandakan ketaksenangan sambil tangannya membacok-bacokkan golok ke tangan satunya. Mungkin mau memberikan kode "lu jangan macam-macam atau golok ini yang bicara".Â
Jelas saya takut. Bagaimana kalau dibacok? Entah mendapat kekuatan dari mana saya tetap berusaha tenang. Memintanya duduk sambil bercanda.Â
Saya juga berpikir, bila dia benar pemberani tidak mungkin akan membawa golok menghadap saya yang badannya jauh lebih kecil.Â
Saya berusaha bersikap setenang mungkin sambil berdoa dalam hati.Â
"Saya panggil kamu ke sini bukan buat berantem. Kalau berantem pasti saya kalah. Maksud saya cuma mau ngobrol. Jadi, tenang aja."
Kurang lebih seperti itu yang saya katakan padanya. Setelah tenang, saya bicara baik-baik mengambil hatinya. Baru kemudian saya berusaha menasihatinya. Biasanya dia yang pintar bicara, malah banyak diam. Ada perasaan malu. Saya tatap matanya.Â