Katedrarajawen _
Apakah ada tempat kerja yang selalu nyaman tanpa pernah ada masalah? Omong kosong kalau ada.Â
Hidup adalah samudra masalah. Artinya, tempat kerja di mana pun pasti ada masalah.Â
Selalu Ada Masalah, Walaupun Kita Tidak Menginginkan
Pengalaman saya sendiri membuktikan. Baik dari diri sendiri yang merasa tidak nyaman dengan pekerjaan yang berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Termasuk masalah gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian. Bagaimana bisa betah kalau begini kondisinya?Â
Ada lagi atasan yang setiap hari selalu marah. Masalah apapun solusinya tetap marah. Pagi-pagi belum ngopi sudah marah, tengah malam waktunya mimpi marah juga. Bahkan dengan enteng memarahi di depan orang banyak. Mau melawan, tetapi memang salah. Tidak melawan salah pula. Dipermalukan.Â
Pernah juga menghadapi anak buah yang berlagak preman. Kerja sedikit, lebih banyak nongkrong dan selalu bawa golok. Ngeri-ngeri seram, kan?Â
Menghadapi semua itu, pikiran pertama yang muncul adalah ingin segera berhenti. Namun selalu ada keinginan untuk bertahan. Berpikir ulang bahwa semua ini bisa menjadi tantangan dan pengalaman.Â
Masalahnya Malas dan Tak boleh Ditegur
Yang paling seru tentu adalah pengalaman ketika bekerja di sebuah peternakan di kampung. Di mana rata-rata karyawannya kurang berpendidikan. Lebih mengandalkan otot dan bila  perlu pakai  golok.Â
Baru masuk kerja  sudah langsung jadi wakil kepala bagian. Setelah tiga bulan  jadi kepala bagian. Padahal pengalaman belum ada. Betul sekali, ini ada unsur KKN. Apa boleh buat?Â
Jadi, dalam  hal dunia kerja masih hijau atau anak bawang, tetapi sudah harus menghadapi kerasnya lingkungan kerja toksik. Pasti saya dipandang remeh. Jangan macam-macam atau golok melayang.Â
Pertama tentu saya perlu belajar menyesuaikan diri dengan harus menahan perasaan.Â
Pekerjaan di peternakan memang sedikit santai. Di bagian pemeliharaan anak ayam itu pagi memberikan makan dan minum, setelah itu paling membersihkan lingkungan kerja atau memotong rumput.Â
Di antara sekian karyawan ada dua orang yang badannya paling besar. Satunya berbadan kelar mirip Mike Tyson. Kerjanya paling malas, tetapi orangnya memang agak-agak.Â
Yang satu lagi setelah kegiatan rutin selesai kerjanya keliling sambil bawa golok mencari buah pepaya yang banyak ditanam di lingkungan ternak. Setelah itu akan mengajak anak yang lain kumpul mengobrol.Â
Pernah saya tegur pelan-pelan, malah saya balik diceramahi. Sepertinya mmenag pintar bicara. Sementara saya masih imut-imut.Â
Bagaimana ini? Kalau ada manajer  atau supervisor dia dan teman-temannya  baru pura-pura sibuk. Dasar. Memang saya dianggap tiada?Â
Saya berusaha tidak banyak bicara, yang penting juga pekerjaan utama tidak terbengkalai. Namun saya berpikir  juga tidak boleh begini terus. Mereka keenakan saya yang gondok dan tertekan.Â
Hadapi Secara Empat Mata, Bicara Secara Lembut
Biarpun dalam dunia kerja saya masih hijau, saya tak memilih menegur langsung karyawan yang dianggap kepala geng ini. Karena saya lihat mereka rata-rata malah menurut ke dia. Kalau saya hadapi secara frontal mengikuti perasaan pasti saya yang dapat masalah bukan menyelesaikan masalah.Â
Suatu hari saya suruh seorang karyawan memanggil dia ke kantor. Saat menghadap raut wajahnya sudah menandakan ketaksenangan sambil tangannya membacok-bacokkan golok ke tangan satunya. Mungkin mau memberikan kode "lu jangan macam-macam atau golok ini yang bicara".Â
Jelas saya takut. Bagaimana kalau dibacok? Entah mendapat kekuatan dari mana saya tetap berusaha tenang. Memintanya duduk sambil bercanda.Â
Saya juga berpikir, bila dia benar pemberani tidak mungkin akan membawa golok menghadap saya yang badannya jauh lebih kecil.Â
Saya berusaha bersikap setenang mungkin sambil berdoa dalam hati.Â
"Saya panggil kamu ke sini bukan buat berantem. Kalau berantem pasti saya kalah. Maksud saya cuma mau ngobrol. Jadi, tenang aja."
Kurang lebih seperti itu yang saya katakan padanya. Setelah tenang, saya bicara baik-baik mengambil hatinya. Baru kemudian saya berusaha menasihatinya. Biasanya dia yang pintar bicara, malah banyak diam. Ada perasaan malu. Saya tatap matanya.Â
Nah, itu mungkin bakat dari sana, waktu muda saja sudah genit menasihati orang, padahal sedang  bawa golok, tidak heran sampai saat ini menulis juga ada bau-bau nasihatnya. Jadi jangan menyalahkan saya, ini yang namanya bakat. Barangkali.
Sejak itu, ada perubahan yang signifikan. Yang tadinya mentang-mentang sekarang malah rajin dan menjadi penggerak bagi yang lain. Sejujurnya saya tidak pakai jimat apa-apa untuk meluluhkan hatinya.Â
Andai Saya Karena Kesal dan Menegur Secara LangsungÂ
Setiap manusia punya ego yang harus dijaga. Andaikan karena sudah tak tahan dan kesal, saya waktu  itu langsung menegur karyawan ini di depan teman-temannya. Apa yang akan terjadi?
Saya yakin, spontan ia pasti akan melakukan perlawanan. Egonya pasti  terganggu rasa nyamannya. Mungkin bisa saja saya langsung dibacok. Urusan penjara belakangan. Nanti baru dipikirkan. Umumnya seperti ini yang terjadi, bukan?Â
Jadi, saya memanggilnya dan hanya bicara berdua dengannya tanpa golok yang  harus bicara sehingga terjadi pertumpahan darah. Seram, kan?Â
Ibarat menaklukkan kekerasan dengan kelembutan yang ada hasilnya kedamaian. Bila sama-sama keras yang pasti memunculkan kekacauan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H