Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo Tertawa, Semua Orang Bisa Tertawa

26 Desember 2020   06:33 Diperbarui: 26 Desember 2020   06:42 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katedrarajawen _Nasrudin Hoja sibuk mencari kunci rumahnya yang hilang di halaman rumah. Apa yang dilakukan Nasrudin menarik perhatian beberapa tetangga untuk membantu mencari. 

Sekian lama mencari  tidak menemukan, salah satu di antara mereka bertanya, "Sebenarnya  kunci itu hilang di mana, Hoja? 

"Hilangnya sih di dalam rumah," jawab Nasrudin dengan wajah polos sambil menggaruk kepala. 

Apa pula ini? Jawaban yang membuat kesal para tetangganya yang merasa dikerjai. 

"Kenapa hilang di dalam rumah engkau mencarinya di depan rumah, bodoh kali kau, Hoja," ketus para tetangga serempak. 

Lagi, masih dalam raut wajah polos Nasution menjawab, "Karena kupikir di depan  ini terang hingga lebih mudah menemukan!" 

Kenapa hilang di dalam rumah mencarinya di luar rumah? Karena di luar rumah lebih terang alasannya. Apa hubungannya? 

Ayo dong jangan tegang. Katanya Indonesia butuh ketawa. Sebelum melanjutkan tulisan ini sejenak kita tertawa bersama hahaha. Tertawa atas kebodohan kita selama ini? Bukan. Maksudnya, mari kita tertawa atas kebodohan Nasrudin Hoja. 

Mungkin itulah sebabnya sejak dahulu  Nasrudin  sudah menyindir kita, ternyata kita lebih suka menertawakan kebodohan  orang lain daripada kebodohan  diri sendiri. 

Sejatinya setiap orang bisa tertawa, tetapi belum tentu semua orang mau tertawa. Setiap orang memiliki urat tawa, tetapi ada orang yang lebih suka menarik urat lehernya. 

Sekian tahun sudah, ketegangan demi ketegangan terjadi di negeri ini. Dimulai sejak pemilihan presiden 2014. Entah fenomena apa yang terjadi. Tiba-tiba muncul dua kubu yang terus bersitegang walaupun Pilpres telah usai. 

Apalagi kemudian muncul istilah cebong dan kampret. Cebong untuk pendukung Pak Jokowi dan kampret untuk pendukung Pak Prabowo.

Kedua kelompok ini terus menunjukkan eksistensinya. Saling membela dan menghujat. Tiada hari tanpa ketegangan perang kata menghiasi dunia maya. Tiada lelah dengan semangat luar biasa. Tegang. Tertawa pun terasa kecut atas apa yang terjadi. 

Di.kemudian hari ketika pak Prabowo sudah menjadi menteri dalam pemerintahan yang dipimpin Pak Jokowi ketegangan belum mereda  juga. Mengotot pun harus terus berlanjut. Tiada damai di antara kita. Mungkin itu bahasanya. 

Gambar: postwrap/katedrarajawen
Gambar: postwrap/katedrarajawen
Ketegangan di negeri para suci ini berlanjut dengan adanya demo demi demo oleh kelompok tertentu yang seakan sudah jadi pekerjaan rutin. Berjilid-jilid tiada henti. 

Ada saja momen yang dijadikan sebagai bahan untuk demo. Benar-benar membuat tegang. Apalagi demo sampai menimbulkan kerusakan. 

Ketegangan berlanjut dengan datangnya pandemi. Virus Korona yang menjadi penyebab ketakutan karena begitu cepatnya menyebar. Membuat gerak kita tidak bebas dan harus terus menjaga diri mengikuti protokol kesehatan. 

Kita harus membiasakan diri sering mencuci tangan dan juga memakai masker. Kondisi ini sulit membuat kita tertawa dalam balutan masker. Sulit bernafas pula bagi yang tidak terbiasa seperti saya. 

Jadi, kapan kita bisa tertawa sesama anak bangsa? Terlalu lama kita bersitegang demi sesuatu yang mungkin saja  kita sendiri tidak mengerti. 

Apakah Indonesia sudah darurat tertawa? Apa tawa itu sudah merupakan sesuatu yang langka? Apakah tertawa itu barang yang mahal? 

Mungkin. Buktinya stasiun televisi berani membayar mahal para pelawak untuk membuat kita tertawa, walaupun kadang dengan cara konyol dan saling melecehkan. Yang penting penonton tertawa. Itu kewajiban mereka. 

Sesungguhnya kita tidak harus nongkrong di depan televisi menunggu hadirnya para komedian untuk membuat kita tertawa. 

Dalam hidup setiap waktu begitu banyak momen yang bisa membuat kita tertawa. Minimal mentertawakan diri sendiri ketika melakukan kesalahan. Bukankah kita kerap berbuat salah? 

Kita pun bisa ikut tertawa atas kebahagiaan orang lain. Begitu mudahnya untuk bisa tertawa. Namun kita malah memilih cemberut melihat  keberhasilan orang lain. Makin cepat tua jadinya. Bukankah ini layak kita mentertawakan kebodohan ini? 

Tertawa mulai dari diri sendiri dengan menertawakan diri sering melakukan kesalahan dan kebodohan.  Berbagi tawa di dalam rumah, di tempat kerja, pada tetangga, lalu masyarakat pun ikut tertawa. Tertawa itu menular.  Lebih baik menularkan tawa daripada korona. 

Hidup ini terlalu singkat untuk kita bermuram durja sepanjang waktu. Waktu ini terlalu berharga hanya untuk kita lalui dengan ketegangan sepanjang hari. Mari kita tertawa. Indonesia butuh ketawa kita demi hari depan yang cerah. 

Sebagai penutup mari kita tes. Apakah kisah berikut ini bisa membuat kita ketawa. 

Suatu hari Nasrudin Hoja mendapat hadiah keledai dari Timur Lenk. Tentu Nasrudin dengan senang hati  menerimanya. 

Namun ada syarat dan ketentuannya. Timur Lenk meminta Nasrudin mengajari si keledai membaca. Kalau berhasil maka ia akan menerima hadiah, sebaliknya bila gagal akan mendapat hukuman. 

Nasrudin meminta waktu tiga bulan untuk mengajari si keledai membaca. Walaupun  ini adalah hal yang sulit. 

Tiga bulan kemudian  Nasrudin menghadap Timur Lenk yang sudah menyiapkan buku untuk mengetes si keledai membaca. 

Si keledai dengan tenang membalik lembar demi lembar buku sampai selesai. Mantap. 

"Tuan, keledaiku sudah selesai membaca," kata Nasrudin dengan bangga. 

Timur Lenk penasaran, "Bagaimana engkau bisa mengajari keledaimu membaca, Nasrudin?" 

Secara singkat Nasrudin menjelaskan rahasianya mengajari si keledai membaca. Namanya rahasia, tentu saya tidak akan membongkarnya di sini. Maaf. 

Timur Lenk masih diliputi rasa penasaran, "Walau keledaimu bisa membuka buku, tapi ia tetap tidak mengerti apa yang ada di buku itu, bukan?" 

Nasrudin dengan tenang menjelaskan, "Tuan, demikian cara keledai membaca dengan hanya membalik-balik bukunya tanpa tahu isinya. Bukanlah orang yang hanya membuka-buka buku tanpa paham isinya disebut sebodoh  keledai?" 

Lah, ini malah meledek saya? 

Akhirnya Nasrudin menerima banyak hadiah karena Timur Lenk merasa puas atas jawabannya. Harap pembaca ikut merasa puas. Terima kasih. 

@catatanringan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun