Apalagi kemudian muncul istilah cebong dan kampret. Cebong untuk pendukung Pak Jokowi dan kampret untuk pendukung Pak Prabowo.
Kedua kelompok ini terus menunjukkan eksistensinya. Saling membela dan menghujat. Tiada hari tanpa ketegangan perang kata menghiasi dunia maya. Tiada lelah dengan semangat luar biasa. Tegang. Tertawa pun terasa kecut atas apa yang terjadi.Â
Di.kemudian hari ketika pak Prabowo sudah menjadi menteri dalam pemerintahan yang dipimpin Pak Jokowi ketegangan belum mereda  juga. Mengotot pun harus terus berlanjut. Tiada damai di antara kita. Mungkin itu bahasanya.Â
Ada saja momen yang dijadikan sebagai bahan untuk demo. Benar-benar membuat tegang. Apalagi demo sampai menimbulkan kerusakan.Â
Ketegangan berlanjut dengan datangnya pandemi. Virus Korona yang menjadi penyebab ketakutan karena begitu cepatnya menyebar. Membuat gerak kita tidak bebas dan harus terus menjaga diri mengikuti protokol kesehatan.Â
Kita harus membiasakan diri sering mencuci tangan dan juga memakai masker. Kondisi ini sulit membuat kita tertawa dalam balutan masker. Sulit bernafas pula bagi yang tidak terbiasa seperti saya.Â
Jadi, kapan kita bisa tertawa sesama anak bangsa? Terlalu lama kita bersitegang demi sesuatu yang mungkin saja  kita sendiri tidak mengerti.Â
Apakah Indonesia sudah darurat tertawa? Apa tawa itu sudah merupakan sesuatu yang langka? Apakah tertawa itu barang yang mahal?Â
Mungkin. Buktinya stasiun televisi berani membayar mahal para pelawak untuk membuat kita tertawa, walaupun kadang dengan cara konyol dan saling melecehkan. Yang penting penonton tertawa. Itu kewajiban mereka.Â
Sesungguhnya kita tidak harus nongkrong di depan televisi menunggu hadirnya para komedian untuk membuat kita tertawa.Â