Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo Tertawa, Semua Orang Bisa Tertawa

26 Desember 2020   06:33 Diperbarui: 26 Desember 2020   06:42 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalagi kemudian muncul istilah cebong dan kampret. Cebong untuk pendukung Pak Jokowi dan kampret untuk pendukung Pak Prabowo.

Kedua kelompok ini terus menunjukkan eksistensinya. Saling membela dan menghujat. Tiada hari tanpa ketegangan perang kata menghiasi dunia maya. Tiada lelah dengan semangat luar biasa. Tegang. Tertawa pun terasa kecut atas apa yang terjadi. 

Di.kemudian hari ketika pak Prabowo sudah menjadi menteri dalam pemerintahan yang dipimpin Pak Jokowi ketegangan belum mereda  juga. Mengotot pun harus terus berlanjut. Tiada damai di antara kita. Mungkin itu bahasanya. 

Gambar: postwrap/katedrarajawen
Gambar: postwrap/katedrarajawen
Ketegangan di negeri para suci ini berlanjut dengan adanya demo demi demo oleh kelompok tertentu yang seakan sudah jadi pekerjaan rutin. Berjilid-jilid tiada henti. 

Ada saja momen yang dijadikan sebagai bahan untuk demo. Benar-benar membuat tegang. Apalagi demo sampai menimbulkan kerusakan. 

Ketegangan berlanjut dengan datangnya pandemi. Virus Korona yang menjadi penyebab ketakutan karena begitu cepatnya menyebar. Membuat gerak kita tidak bebas dan harus terus menjaga diri mengikuti protokol kesehatan. 

Kita harus membiasakan diri sering mencuci tangan dan juga memakai masker. Kondisi ini sulit membuat kita tertawa dalam balutan masker. Sulit bernafas pula bagi yang tidak terbiasa seperti saya. 

Jadi, kapan kita bisa tertawa sesama anak bangsa? Terlalu lama kita bersitegang demi sesuatu yang mungkin saja  kita sendiri tidak mengerti. 

Apakah Indonesia sudah darurat tertawa? Apa tawa itu sudah merupakan sesuatu yang langka? Apakah tertawa itu barang yang mahal? 

Mungkin. Buktinya stasiun televisi berani membayar mahal para pelawak untuk membuat kita tertawa, walaupun kadang dengan cara konyol dan saling melecehkan. Yang penting penonton tertawa. Itu kewajiban mereka. 

Sesungguhnya kita tidak harus nongkrong di depan televisi menunggu hadirnya para komedian untuk membuat kita tertawa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun