Katedrarajawen _Saya paling geregetan, bila membaca atau mendengar ada  yang mengatakan, bos selalu benar.Â
Bos tidak pernah salah, walau mungkin sindiran, tetapi di lapangan memang kerap terjadi seperti itu. Namanya juga bos, enaknya mau menang sendiri.Â
Ada lagi, sering saya temukan juga pernyataan,"Disuruh bos begitu."
Ini juga membuat saya geregetan. Saya selalu katakan,"Walau bos yang suruh, kalau caranya tidak bagus, jangan main mengerjakan."
Yang harus diingat, bos tidak selalu benar dan memahami kondisi di lapangan, untuk itu seharusnya kita perlu memberikan masukan. Itu prinsip saya.Â
Di lapangan, ketika menemukan karyawan yang mengerjakan sesuatu yang saya nilai kurang tepat, biasanya saya memberikan solusinya. Ini caranya.Â
Namun yang selalu saya pesankan adalah lapor dahulu ke atasannya, bahwa ada ide dari saya seperti ini dan itu. Jangan langsung mengerjakan, karena itu bukan wewenang saya. Prosedur itu juga penting.Â
Sebagai anak buah atau bawahan kita memang wajib menghormati atasan atau bos. Namun kita juga wajib mempertahankan prinsip, kalau bos mau menang sendiri dan arogan.Â
Tidak ada salahnya, bila kita melawan ketakbenaran yang dilakukan bos. Tujuannya, supaya menjadi benar.Â
Jangan kita biarkan bos salah dalam kesewenang-wenangannya. Boleh seenaknya sendiri.Â
Jangan biarkan pula bos hidup merasa paling benar, sehingga berhak menganggap anak buahnya yang selalu salah.Â
Jangan biarpun mentang-mentang atasan, sehingga merasa berhak menginjak-injak bawahannya.Â
Bos yang baik pasti tidak akan merasa dirinya selalu benar dan arogan, sehingga mau dan terbuka menerima ide dari bawahannya.Â
Dalam hal bos tidak selalu benar, biar tidak dianggap sekadar omong kosong, izinkan saya untuk sedikit berbagi cerita. Terbukti gara-gara harus memegang prinsip bos tidak selalu benar ini, jadi sering 'berantam' dengan bos.Â
Gara-gara saya ngeyel, bos sampai harus berkata,"Ya, sudah. Kamu yang benar. Saya yang salah!"Â
Setelah itu  seminggu saya tidak diajak bicara atau ditelepon. Saya justru senang dan bersyukur. Bebas. Tidak 'diganggu' bos lagi.Â
Apa masalahnya sampai seheboh itu?Â
Menurut bos, ia sudah memerintahkan saya melalui SMS. Saat itu posisi bos berada di kantor, Jakarta. Saya berada di pabrik, suatu daerah di Jawa Barat.Â
Perintahnya, agar alat berat yang sedang berada di penambangan batu segera diturunkan ke pabrik.Â
Yang jadi masalah tiba-tiba terjadi longsor di sekitar alat berat itu berada, akibatnya alat berat tersebut tidak bisa turun.Â
Bos marah besar. Ia menganggap saya melalaikan perintahnya. Akibatnya alat berat itu jadi menganggur di gunung. Rugi bandar.Â
Masalahnya saya tidak menerima pesan itu. Berulang kali saya cek Hp. Tidak ada pesan masuk  yang bos maksud.Â
Teman kerja yang menurut bos juga ia kirimi pesan, ternyata juga tidak menerima. Tentu saja saya mengatakan yang sebenarnya.Â
Ya sudah. Ternyata belum selesai. Keesokan bos telepon, lagi membahas masalah ini dengan judul marah-marah dan menyalahkan saya. Judul yang saya pakai juga tetap sama, tidak pernah menerima pesan itu.Â
Selama 4 hari berturut-turut bos belum puas juga membahas masalah ini. Masih saja selalu membahas.Â
Kesabaran saya habis juga, akhirnya dengan tegas saya berkata,"Pak, saya ingatkan. Ini bapak sudah empat kali membahas masalah ini. Saya sudah katakan juga tidak pernah menerima pesan yang bapak maksudkan."
Seperti yang sudah saya tulis di atas, bos langsung bereaksi dan jujur mengakui kenyataan.Â
"Ya, sudah. Kamu yang benar. Saya yang salah!" suaranya keras. Tanda dalam amarah.Â
Ya, untung cuma marah besar. Tidak sampai pingsan atau jantungan punya anak buah model saya.Â
@catatanringanÂ
BERSAMBUNGÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H