Katedrarajawen _Menulis adalah salah satu cara berbagi kebaikan. Tentu yang dibagi haruslah yang baik-baiklah. Mengerikan bila yang dibagikan segala hal yang berbau keburukan.Â
Misalnya membagikan tulisan cerita bertengkar dengan istri. Ribut di tempat kerja. Berkelahi dengan atasan. Cerita habis jalan-jalan dengan selingkuhan.Â
Lalu menulis tips punya selingkuhan tapi tidak ketahuan. Cara mudah jadi koruptor. Trik jitu menulis tembus seratus ribu pembaca dengan bantuan tuyul. Seperti tulisan INI. Tentu saja tak elok, bukan?
Sekali lagi. Berbagilah kebaikan bukan keburukan. Berceritalah tentang yang baik-baik saja. Simpan kejelekan orang lain. Tentu dalam hal ini boleh berlaku untuk diri sendiri. Setuju?
Sudah pasti setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara banyak keburukannya. Pasti ada setitik kebaikan.Â
Nah, setitik kebaikan ini yang hendak saya bagikan. Di antara seribu keburukan saya. Dengan harapan menjadi benih motivasi.Â
Siapa tahu ada yang sedang menghadapi pergumulan berhungun dengan prinsip. Berada di persimpangan jalan. Berharap pengalaman ini dapat menguatkan.Â
Ceritanya begini. Langsung saja tidak pakai iklan lagi.Â
Pada suatu masa. Karena sedang mendalami dunia spiritual. Hati tergerak untuk bervegetarian. Bahasa lainnya tidak makan segala yang bernyawa.Â
Termasuk tidak makan orang pastinya. Tujuannya tidak mengikat jodoh buruk lagi dengan makhluk hidup lainnya.Â
Tantangan dan kesulitan itu bukan datang dari masalah tiba-tiba harus berubah menu untuk mengisi perut.Â
Tetapi prosesnya itu. Apalagi di masa itu masih sangat jarang ada rumah makan vegetarian seperti saat ini.Â
Kebetulan saat itu juga kerja tinggal di pabrik. Makan di kantin. Repot juga kalau harus menyediakan satu menu cuma buat saya.Â
Namanya masih belajar paling sebisanya menghindari makanan yang mengandung daging.Â
Soal daging ini ada masalah. Saya pesan ke tukang masak. Pokoknya menu buat saya jangan ada pakai daging. Cukup sayur.Â
Karena was-was takut lupa. Saya selalu bertanya. Apakah ada dagingnya? Dijawab tidak. Sikat.Â
Lagi enak-enak makan. Ada perasaan tidak nyaman. Saya panggil yang masak memastikan menunya benar-benar tidak mengandung unsur daging. Tegas dijawab tidak ada. Serius? Cuma pakai teri. Katanya.Â
Langsung perut mual. Tidak pakai daging. Cuma pakai teri. Ingin nangis jadi tertawa.Â
Tantangan berikutnya. Karena atasan tahu saya vegetarian. Entah apa masalahnya. Sentimen atau mau cari masalah. Setiap kali ada kesalahan yang saya lakukan. Selalu dihubungkan dengan soal vegetarian.Â
Gara-gara vegetarian otak saya jadi tumpul. Bodoh. Cukup diam. Selain itu juga jadi bahan ledekan teman.Â
Yang sering saya dengar mereka mengatakan, daging enak malah makannya rumput. Seperti kambing. Sabar.Â
Sebenarnya tantangan yang paling berat itu datang dari orangtua. Karena ada masalah persepsi.
Ada anggapan orang yang bervegetarian itu sudah memutuskan hubungan dengan duniawi.Â
Tidak boleh menikah lagi. Tidak punya keturunan. Mungkin ini yang ditakutkan ibu saya.Â
Apalagi saya harus minta ijin untuk sepenuhnya bervegetarian selamanya. Sampai keluar kata-kata. Kalau sampai saya lakukan, maka akan putus hubungan keluarga.Â
Bagaimana ini? Ini urusan maha penting. Maju tak gentar. Jalani apa yang diyakini benar. Tetapi tidak juga memberi penjelasan untuk melawan orangtua. Diam. Itulah senjatanya.Â
Dalam keyakinan. Bila yang dilakukan adalah hal yang baik dan benar. Pasti kelak akan ada jalan kemudahan. Itulah yang terjadi kemudian.Â
Singkat cerita. Setelah melalui  segala kesulitan. Bahkan tentangan dari orangtua sekitar dua atau tiga tahun. Perlahan tapi pasti. Datanglah segala kemudahan.Â
Orangtua mulai mau memasak menu khusus kalau saya pulang ke rumah. Omongan yang meledek atau melecehkan tak terdengar lagi.Â
Di tempat kerja yang sekarang, walau ada menyediakan katering. Karena tahu saya vegetarian disediakan tempat untuk masak sendiri.Â
Bila ada acara makan-makan dengan saudara, mereka selalu repot pesan menu khusus buat saya.Â
Habis gelap, terbitlah terang. Seperti yang ditulis RA Kartini. Memang nyata. Bukan omongan kosong.Â
Pembelajaran hidup yang ada. Bahwa segala kesulitan dan rintangan apapun itu akan dapat dilalui. Yang diperlukan keberanian, keyakinan dan sikap bijaksana.Â
Tidak perlu banyak penjelasan. Cukup diam-diam jalani. Semakin banyak penjelasan hanya akan semakin menimbulkan pertentangan. Yang justru semakin menjadi beban.Â
@cerminperistiwaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H