Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[BF] Indahnya Hidup Menjomblo

15 Februari 2013   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:16 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Katedrarajawen No 61 | Melihat gerak-geriknya, wanita itu tampak dewasa sekali. Wajahnya yang ayu hampir tanpa polesan. Alamiah sekali. Bentuk tubuhnya padat berisi dengan gerak yang lincah. Ketika berpapasan dengannya, ramah ia menyapa dengan senyuman yang terasa menyejukan hati.

Wanita itu adalah tetangga baruku di komplek perumahan sederhana di pinggir kota. Diam-diam aku sering memperhatikan aktivitas rutinnya.

Setiap pagi sering terlihat tergopoh-gopoh keluar rumah dengan sepeda motornya. Ketika pulang sudah menjelang malam. Tapi tak tampak kelelahan di wajahnya.

Yang aku tahu, serumah itu selain wanita yang belum kuketahui namanya itu. Ada sepasang anak. Seorang lelaki yang dari seragam yang dikenakannya adalah pelajar SMA. Seorang lagi adalah wanita yang masih duduk di bangku sMP. Selain itu ada seorang ibu. Aku kira itu ibunya si wanita.

Jadi penasaran, suaminya mana? Atau...ehm ia seorang janda? Wah, kesempatan nih, pikirku. Bukankah aku seorang duda yang masih membutuhkan kehangatan wanita? Cocok. Pikiran nakalku berkeliaran.

Apalagi setelah kulirik-lirik dan amati gerak-geriknya ada kesamaan dengan istri yang sudah meninggalkanku selamanya lima tahun yang lalu karena kecelakaan.

Sampai pada waktunya. Aku mendapat kesempatan untuk berbicara banyak dengan wanita tetanggaku itu. Akhirnya aku tahu namanya, Asti. Selama ini kami hanya saling melepas senyum atau sekadar bertegur.

Setelah berbasa-basi di teras rumahnya, aku memancing dengan pertanyaan,"Gak pernah lihat bapaknya anak-anak, Mbak? Kerja di luar kota?"

"Udah gak ada. Tau ke mana?!" sahut Asti cuek.

Loh, loh. Apa maksudnya?

"Maaf, maksudnya Mbak udah pisah dengan bapaknya anak-anak?" tanyaku berhati-hati.

Tampak Asti menahan senyum penuh arti.

"Oalah, Mas. Aku ini belum pernah nikah. Mas kira anak-anak itu anakku ya? Bukan, Mas. Mereka itu anak kakakku yang sudah cerai dengan suaminya. Gitu, Mas." penjelasan Asti membuat aku sedikit kaget dan lega.

"Oh, maaf, maaf. Aku kira mereka anak-anakmu. Jadi ceritanya masih jomblo toh?" aku mulai berani menggodanya.

Sejak pertemuan itu. Entah mengapa aku jadi banyak menyisihkan waktu berpikir tentang Asti. Ada sesuatu yang menarik untuk membuatku dekat dengannya.

Aku berusaha mencari waktu untuk bisa berbicara dengannya. Penasaran. Mengapa di usianya yang sudah sangat dewasa masih betah hidup sendirian? Menurut Asti kini usianya sudah 36 tahun.

Dari beberapa kali pembicaraan, kuketahui ternyata Asti memilih menjomblo karena trauma untuk menikah. Hal ini terjadi atas apa yang dialami kakaknya.

Dimana pada penikahan pertama, rumah tangga dipenuhi dengan keributan sampai suaminya pergi dengan wanita lain. Sementara anak-anak masih kecil.

Pada pernikahan yang kedua kali, rupanya kebahagiaan masih jauh menaungi rumah tangga kakaknya.

Melihat realita ini, Asti berkesimpulan bahwa lelaki itu hanya menjadi sumber penderitaan dalam berumah tangga.

"Tapi tidak semua lelaki seperti itu, Mbak!" aku mencoba mengubah persepsinya.

Asti tersenyum dan menanggapi,"Tapi aku merasa nyaman dan bahagia kok walau tidak di dampingi seorang lelaki sampai saat ini. Tidak ada beban sama sekali."

Aku berusaha mencari celah. "Tapi bukankah menikah itu ibadah, Mbak? Jadi setiap manusia itu kan diciptakan sepasang-sepasang."

"Mas, kalau menikah itu memang dianggap ibadah, aku pikir tidak ada yang namanya perceraian. Yang namanya ibadah harusnya siap menerima kelebihan dan kekurangan pasangan. Siap hidup dalam suka dan duka."

Berhenti sejenak sambil melihat reaksiku. Aku merasa pembicaraan kami semakin menarik di hari Minggu itu.

"Tapi Mas bisa melihat kenyataannya. Mereka yang katanya menikah atas nama ibadah demikian mudahnya mengingkari dengan penceraian.

"Jadi bawa-bawa sebagai ibadah itu cuma omongan kosong. Nyatanya kebanyakan menikah lebih karena untuk melampiaskan nafsu seks aja."

Semangat sekali bicaranya Asti. Aku sampai tidak berkutik untuk menjawab.

"Aku bahagia kok dengan status jombloku saat ini. Tidak ada beban apapun. Aku tidak harus peduli dengan tanggapan sinis orang-orang. Karena ini jalan hidupku. Aku yang merasakan. Jadi soal menikah, belum ada rencana tuh."

Mendadak aku mati gaya. Hari yang ingin kujadikan indah bersama Asti terasa menyesakkan. Aku kehilangan harapan.

#
Untuk melihat karya BF rekan-rekan yang lain, klik
di sini!
Jangan lupa juga, join dengan kita di grup Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun