Tampak Asti menahan senyum penuh arti.
"Oalah, Mas. Aku ini belum pernah nikah. Mas kira anak-anak itu anakku ya? Bukan, Mas. Mereka itu anak kakakku yang sudah cerai dengan suaminya. Gitu, Mas." penjelasan Asti membuat aku sedikit kaget dan lega.
"Oh, maaf, maaf. Aku kira mereka anak-anakmu. Jadi ceritanya masih jomblo toh?" aku mulai berani menggodanya.
Sejak pertemuan itu. Entah mengapa aku jadi banyak menyisihkan waktu berpikir tentang Asti. Ada sesuatu yang menarik untuk membuatku dekat dengannya.
Aku berusaha mencari waktu untuk bisa berbicara dengannya. Penasaran. Mengapa di usianya yang sudah sangat dewasa masih betah hidup sendirian? Menurut Asti kini usianya sudah 36 tahun.
Dari beberapa kali pembicaraan, kuketahui ternyata Asti memilih menjomblo karena trauma untuk menikah. Hal ini terjadi atas apa yang dialami kakaknya.
Dimana pada penikahan pertama, rumah tangga dipenuhi dengan keributan sampai suaminya pergi dengan wanita lain. Sementara anak-anak masih kecil.
Pada pernikahan yang kedua kali, rupanya kebahagiaan masih jauh menaungi rumah tangga kakaknya.
Melihat realita ini, Asti berkesimpulan bahwa lelaki itu hanya menjadi sumber penderitaan dalam berumah tangga.
"Tapi tidak semua lelaki seperti itu, Mbak!" aku mencoba mengubah persepsinya.
Asti tersenyum dan menanggapi,"Tapi aku merasa nyaman dan bahagia kok walau tidak di dampingi seorang lelaki sampai saat ini. Tidak ada beban sama sekali."