Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stress

14 Februari 2014   15:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda Stress, kawan? Kemungkinan besar di antara kita pernah mengalami yang namanya stress. Ringan atau berat. Tidak kaya tidak miskin. Tidak orang tua tidak anak-anak bisa stress.

Tekanan hidup atau keadaan ekonomi, masalah pekerjaan atau rumah tangga, ambisi yang berlebih, tidak terpenuhinya keinginan adalah di antaranya yang menjadi sumber stress.

Tidak sombong kalau saya katakan pernah mengalami stress tingkat dewa. Ada kalanya tidak bergairah. Tiba-tiba dipenuhi amarah oleh sebab hal yang kecil. Pokoknya mau marah saja. Tapi bersyukur bisa melalui dan keluar dari kubangan stress dengan 'hanya' menulis.

Stress atau Tidak adalah Pilihan

Kenapa saya katakan pilihan? Sebab apa yang kita jalani sadar atau tidak memang pilihan kita.

Ada teman sudah jadi bos, tapi tetap memilih untuk stress. Pagi-pagi sudah marah-marah. Pulang jalan-jalan dan bersenang-senang dari luar negeri, besok paginya marah-marah. Stres.

Kemarin saya juga menelepon seorang teman menanyakan bisnisnya. Jawabannya cukup mengejutkan,"Saya lagi stres nih, Pak!" Kenapa bisa stres? Alasannya sudah keluar duit banyak tapi belum ada hasilnya.

Padahal kalau kawan ini untuk urusan makan dan keperluan lain saya yakin tidak ada masalah. Belum lagi untuk urusan kebatinan saya yakin juga pasti lebih baik dari saya. Tapi masih stress juga.

Pernah juga mengenal seorang tokoh masyarakat. Hidupnya sudah senang dengan dua istri. Uang banyak. Sudah bisa hidup senang di usianya menjelang tua. Tapi masih ada ambisi jadi bupati. Menyalonkan diri dengan percaya diri. Tak tahunya kalah telak. Uang sudah habis miliaran. Langsung stress berat dan terkena stroke.

Tidak Terpenuhinya Keinginan

Semakin hari keinginan hidup semakin banyak. Kita siang malam sibuk mencari duit sampai mengorbankan waktu dan keluarga yang berharga sebagian besar tak lain hanya untuk memenuhi keinginan kita. Bahkan untuk keinginan yang melebihi kita butuhkan.

Demi uang, kekuasaan, kedudukan, kenamaan, gengsi, ambisi harus berujung pada stress. Bukannya tak boleh ada keinginan. Tapi perlu mengukur diri dan tahu kebutuhan sejati yang perlu dicari.

Ketika keinginan berlebih dan tak bisa terpenuhi, maka stress yang didapati. Ini boleh dibilang penyakit masyarakat terkini.

Jangan heran bila yang masih anak-anak saja bisa stress gara-gara keinginannya punya HP BB tak terpenuhi, sebab anak-anak tetangga kiri-kanan sudah pakai BB semua. Sementara orangtua belum sanggup membelikan.

Jadi ingat diri sendiri kelakuannya dulu, gara-gara HP rusak saja bisa stress berat, jadi uring-uringa karena tak bisa memosting tulisan.

Mau Bahagia Tidak Mau Sedih

Ketika sukses kita bahagia dan pada saat gagal kita stress. Bahagia diterima namun gagal ditolak. Padahal keduanya adalah bagian kehidupan. Tidak adil bukan?

Seandainya, kita dapat bersikap adil, mau menerima sukses dan gagal apa adanya, maka kita tidak akan bermasalah dengan stress yang akan menyusahkan hidup kita.

Menang atau kalah diterima. Sukses dan gagal dirangkul. Tak ada yang perlu ditolak. Dengan memperlakukan semuanya dengan adil, maka stress tidak akan mendapat tempat.

"Berpikir" dengan Hati

Harus diakui stress yang kita alami karena beban pikiran yang begitu berat. Otak terus bekerja, sehingga di ranjang pun tak bisa tidur nyenyak.

Ada teman yang mengatakan, lebih baik capai badan daripada capai pikiran. Kalau capai badan keringatan dan setelah istirahat bisa segar kembali. Kalau capai pikiran? Lama-lama jadi stress.

Selama ini otak kita memang lebih banyak mendominasi hidup kita. Bekerja keras siang dan malam. Ibarat mesin digunakan sampai panas dan nyaris meledak.

Ada baiknya, kita mulai belajar mengalihkan beban-beban yang ada ke hati nurani. Menyerahkan segala pikiran yang ada di kepala kita kepada nurani yang ada di dada. Dengan niatkan saja, maka kita tidak perlu berpikir keras. Sebab cara "berpikirnya" nurani memang tak terjangkau oleh pikiran otak kita.

AFIRMASI:
Tuhan, arahkan kami dalam hidup ini lebih banyak memfungsikan nurani kami yang lebih banyak bekerja, sehingga kami tahu dengan sebenarnya apa yang paling kami butuhkan. Bukan hidup untuk memenuhi ambisi dan keinginan yang tiada habisnya yang seringkali justru tidak kami butuhkan.

@refleksihatimenerangidiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun