Apakah Anda Stress, kawan? Kemungkinan besar di antara kita pernah mengalami yang namanya stress. Ringan atau berat. Tidak kaya tidak miskin. Tidak orang tua tidak anak-anak bisa stress.
Tekanan hidup atau keadaan ekonomi, masalah pekerjaan atau rumah tangga, ambisi yang berlebih, tidak terpenuhinya keinginan adalah di antaranya yang menjadi sumber stress.
Tidak sombong kalau saya katakan pernah mengalami stress tingkat dewa. Ada kalanya tidak bergairah. Tiba-tiba dipenuhi amarah oleh sebab hal yang kecil. Pokoknya mau marah saja. Tapi bersyukur bisa melalui dan keluar dari kubangan stress dengan 'hanya' menulis.
Stress atau Tidak adalah Pilihan
Kenapa saya katakan pilihan? Sebab apa yang kita jalani sadar atau tidak memang pilihan kita.
Ada teman sudah jadi bos, tapi tetap memilih untuk stress. Pagi-pagi sudah marah-marah. Pulang jalan-jalan dan bersenang-senang dari luar negeri, besok paginya marah-marah. Stres.
Kemarin saya juga menelepon seorang teman menanyakan bisnisnya. Jawabannya cukup mengejutkan,"Saya lagi stres nih, Pak!" Kenapa bisa stres? Alasannya sudah keluar duit banyak tapi belum ada hasilnya.
Padahal kalau kawan ini untuk urusan makan dan keperluan lain saya yakin tidak ada masalah. Belum lagi untuk urusan kebatinan saya yakin juga pasti lebih baik dari saya. Tapi masih stress juga.
Pernah juga mengenal seorang tokoh masyarakat. Hidupnya sudah senang dengan dua istri. Uang banyak. Sudah bisa hidup senang di usianya menjelang tua. Tapi masih ada ambisi jadi bupati. Menyalonkan diri dengan percaya diri. Tak tahunya kalah telak. Uang sudah habis miliaran. Langsung stress berat dan terkena stroke.
Tidak Terpenuhinya Keinginan
Semakin hari keinginan hidup semakin banyak. Kita siang malam sibuk mencari duit sampai mengorbankan waktu dan keluarga yang berharga sebagian besar tak lain hanya untuk memenuhi keinginan kita. Bahkan untuk keinginan yang melebihi kita butuhkan.
Demi uang, kekuasaan, kedudukan, kenamaan, gengsi, ambisi harus berujung pada stress. Bukannya tak boleh ada keinginan. Tapi perlu mengukur diri dan tahu kebutuhan sejati yang perlu dicari.
Ketika keinginan berlebih dan tak bisa terpenuhi, maka stress yang didapati. Ini boleh dibilang penyakit masyarakat terkini.
Jangan heran bila yang masih anak-anak saja bisa stress gara-gara keinginannya punya HP BB tak terpenuhi, sebab anak-anak tetangga kiri-kanan sudah pakai BB semua. Sementara orangtua belum sanggup membelikan.
Jadi ingat diri sendiri kelakuannya dulu, gara-gara HP rusak saja bisa stress berat, jadi uring-uringa karena tak bisa memosting tulisan.
Mau Bahagia Tidak Mau Sedih
Ketika sukses kita bahagia dan pada saat gagal kita stress. Bahagia diterima namun gagal ditolak. Padahal keduanya adalah bagian kehidupan. Tidak adil bukan?
Seandainya, kita dapat bersikap adil, mau menerima sukses dan gagal apa adanya, maka kita tidak akan bermasalah dengan stress yang akan menyusahkan hidup kita.
Menang atau kalah diterima. Sukses dan gagal dirangkul. Tak ada yang perlu ditolak. Dengan memperlakukan semuanya dengan adil, maka stress tidak akan mendapat tempat.
"Berpikir" dengan Hati
Harus diakui stress yang kita alami karena beban pikiran yang begitu berat. Otak terus bekerja, sehingga di ranjang pun tak bisa tidur nyenyak.
Ada teman yang mengatakan, lebih baik capai badan daripada capai pikiran. Kalau capai badan keringatan dan setelah istirahat bisa segar kembali. Kalau capai pikiran? Lama-lama jadi stress.
Selama ini otak kita memang lebih banyak mendominasi hidup kita. Bekerja keras siang dan malam. Ibarat mesin digunakan sampai panas dan nyaris meledak.
Ada baiknya, kita mulai belajar mengalihkan beban-beban yang ada ke hati nurani. Menyerahkan segala pikiran yang ada di kepala kita kepada nurani yang ada di dada. Dengan niatkan saja, maka kita tidak perlu berpikir keras. Sebab cara "berpikirnya" nurani memang tak terjangkau oleh pikiran otak kita.
AFIRMASI:
Tuhan, arahkan kami dalam hidup ini lebih banyak memfungsikan nurani kami yang lebih banyak bekerja, sehingga kami tahu dengan sebenarnya apa yang paling kami butuhkan. Bukan hidup untuk memenuhi ambisi dan keinginan yang tiada habisnya yang seringkali justru tidak kami butuhkan.
@refleksihatimenerangidiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H