Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Wanita, Setan, dan Malaikat

9 November 2011   18:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungguh malam ini begitu kelam. Para penghuni langit enggan menyapa. Suasana langit jadi gelap gulita. Aku duduk di teras berteman lampu yang redup-redup. Suara binatang malam asyik saling bersahutan meramaikan suasana.


Malam terasa dingin. Segelas kopi hangat sedikit membantu menghangatkan badan. Sebelumnya sudah kulalap sepiring nasi goreng boleh ngutang di warung sebelah.


Aku tak kuasa untuk tidak memikirkan Marni. Wanita nan ayu itu. Senyumnya tak lepas dari bola mataku.

Anganku serasa terbang tinggi mengangkasa. Aku senyum-senyum sendiri. Bayangan tubuhnya yang aduhai. Harus membuatku menelan ludah. Gleeek!


"Wanita itu memang cantik, Bro...Tunggu apalagi? Sikat saja!"


"Huss... Emangnya cucian, pakai disikat? Jangan, kawan. Marni itu sudah punya suami!"


"Buat apa dipikir suaminya? Yang kamu mau, kan Marni. Lagipula suaminya itu tidak mencintai Marni. Tidak memberikan perhatian pada Marni. Dia itu mengharapkanmu, Bro... Kejar terus. Jangan sampai kehilangan kesempatan!"


"Wah, benar juga. Peduli apa dengan suaminya. Aku tidak boleh membuat kesempatan." aku tersenyum.


"Halo ... Halooooooo... Sobatku. Bagaimanapun kamu tidak pantas mencintai wanita yang sudah memiliki suami. Anaknya juga sudah dulu. Lupakan Marni. Masih banyak wanita lain. Kamu tinggal pilih."


"Enak saja! Emangnya buah, tinggal pilih? Kamu itu mencintai Marni dan Marni juga mencintaimu. Tunggu apalagi? Singkirkan saja suaminya. Karena selama ini sudah kerap menyiksa Marni. Ini kesempatanmu jadi pahlawan, Bro...!"


"Benar juga sih! Anggap saja aku menyelamatkan Marni dari perlakuan kasar suaminya."


"Tapi itu tidak sesuai kebenaran. Kamu boleh menasehati Marni. Kamu adalah pria yang baik. Tidak boleh memanfaatkan kesempatan. Itu urusan rumah tangga orang lain. Itu kehidupan rumah tangga mereka. Biar mereka yang menjalani. Kalau mau bantu. Nasehati keduanya."


"Huiiiii ... Jangan sok deh bawa-bawa kebenaran. Lihat dong ini jaman apa? Ini jaman abad-21. Modern Bro... Kebenaran sudah tidak berlaku lagi."


"Ini adalah masalah moral etika, Sobatku. Kebenaran itu sejak awal jaman dulu sampai jaman sekarang. Kebenaran tetap kebenaran. Lupakan Marni. Jangan rengut dia dari suaminya."


"Jangan ragu-ragu, Bro... Jadikan Marni milikmu!"

"Ah, sudah, sudah. Aku mau tidur dulu. Aku lelah."


"Jangan di sini, Mas. Kita cari tempat yang tenang ya."


Kendaraan yang dikemudikan sendiri Marni ternyata berhenti di sebuah hotel.


"Sssstt, ini kesempatan baik, Bro... Gunakan sebaik-baiknya."


"Tunggu, tunggu, Sobatku. Ini pasti jebakan.

Terkejut aku mendengar dering telepon selulerku. Ternyata dari Marni. Dengan tangis yang tertahan, Marni bermaksud ingin bertemu aku hari ini.


"Mas, ada yang ingin kubicarakan denganmu." itu yang diutarakan Marni saat bertemu dengannya disebuah restauran.


"Masalah apa ya?" aroma wangi tubuh Marni memberikan sensasi tersendiri. Ditambah pakaian ketat yang dikenakannya membuat Marnis tampak semakin seksi.


"Tapi tidak enak bicara di sini. Kita cari tempat lain ya?!"


Sedan yang dikemudikan Marni, ternyata berhenti disebuah hotel.


"Sssstt, ini peluang emas, Bro... Gunakan sebaik-baiknya. Kapan lagi bisa berduaan?"


"Tunggu. Tunggu. Ini jebakan, sobat. Wanita itu akan membuatmu kehilangan iman saat berduaan."


"Ayo, Mas. Kita masuk ke dalam. Biar bicaranya enak."


"Nah, ini dia, Bro... Nikmati saja suasana romantisnya ha ha ha ........."


"Sobat, ingat, ingat. Kamu tidak boleh tergoda nafsu. Cepat keluar dari kamar itu!"


Tak ada suara. Hanya ada desahan nafas. Lalu kurasakan dekapan hangat tubuh Marni.


"Massss..."


"Selamat, selamat, selamat menikmati Bro..."


"Cilaka, cilaka, cilaka tiga belas, Sobatku."

Dunia serasa gelap dan aku terlelap dalam dekapan. Aku tak bisa apa-apa pasrah pada nafsu. Batin hanya bisa merasakan,"Penyesalan".

Demikianlah terjadi penyesalan demi penyesalan. Sampai suara malaikat semakin lemah. Setan tertawa terbahak-bahak pada akhirnya. Kiamat semakin dekat.


Namun, aku tidak boleh kalah oleh nafsu sebelum kiamat. Aku masih memiliki kesadaran.


"Terlambat Bro..."


"Tidak ada kata terlambat, Sobatku!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun