Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Cinta Dua Agama [16]

10 April 2011   00:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:58 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13023995831628605227

[caption id="attachment_101168" align="alignleft" width="338" caption="Keceriaan Tri Hari Ini//GettyImages"][/caption]

Li, semenjak ditinggalkan Tri, walaupun telah berusaha melupakan kisah kasihnya, memang tak semudah yang diucapkan. Karena bagaimanapun rasa rindunya masih tersisa dan ia merasa kehilangan keceriaan tanpa ada Tri disisinya.

"Tri... Ternyata aku tak mudah melupakanmu walau sekejab. Kamu memang sudah bagaikan belahan jiwaku! Ternyata apa yang mudah kukatakan tak sesuai kenyataannya!" Li tersenyum getir.

Perilaku Li ternyata menjadi perhatian rekan kerjanya di kantor mereka yang bergerak dibidang kontraktor itu. Salah satunya Fera yang menaruh perhatian pada Li selama ini.

"Hey! Pasti sedang memikirkan Tri ya?!" Suara yang tiba-tiba muncul di sampingnya itu benar-benar mengagetkan Li.

"Ah, kamu, Fer! Bentak halus Li atas sikap Fera.

"Kenapa, Li? Kehilangan?"

"Tidak juga! Aku hanya agak bingung sedang memikirkan proyek yang di Surabaya!"

"Tapi kan tidak biasanya kamu bersikap begini?"

Akhirnya Li dan Fera duduk berhadapan di ruang kerja Li. Fera tersenyum penuh arti mengingat sikap Li tadi, karena secara diam-diam tadi ia memperhatikan yang tanpa disadari oleh Li. Dimana Li terhanyut dalam suasana rindu pada Tri sambil menatap wajah Tri di telepon selulernya.

"Bagaimana hubunganmu yang sebenarnya dengan Tri, Li? Sepertinya sedang ada masalah dan jangan-jangan Tri disuruh pulang untuk dijodohkan? Diantara nada seriusnya, Fera tertawa lepas. "Ayolah Li. Kita kan sahabat baik. Tidak ada yang perlu disembunyikan dan aku siap menjadi pendengar yang baik. Aku merasa pasti orangtua Tri tidak merestui hubungan kalian karena beda keyakinan. Benar, kan, Li?!" Fera mencium ada yang tidak beres atas hubungan Li dan Tri.

"Ya, Fer. Memang orangtua Tri tidak merestui hubungan kami. Aku dan Tri harus menerima kenyataan ini. Tapi bagaimanapun aku tidak bisa begitu saja melupakan Tri!" Li akhirnya menyerah juga untuk berterus terang.

"Aduuuuuh, Li. Memang wanita di dunia hanya Tri saja ya?! Bukankah masih ada aku yang selalu setia menunggu!" Fera berkata sambil mendekatkan wajahnya kearah Li tanpa sungkan. Fera memang termasuk tipe cewek yang agresif. Selain cantik, tubuhnya tinggi semampai, dan bergaya modis.

"Iya sih. Tapi, kamu itu bukan cewek tipeku. Kamu terlalu sempurna untukku, Fer!" Tanpa sungkan Li berkata demikian.

Lagi-lagi Fera tertawa lepas mendengar ucapan Li yang entah meledek atau sedang memujinya.

"Li, Li. . . Ternyata kamu itu seleranya Padang banget ya?! Bukan hanya masakannya yang kamu suka, tapi ceweknya juga ha ha ha ....." Fera seakan menyindir Li.

"Apa salahnya? Lagian masakan Padang itu memang enak. Pedasnya itu lho! Kalau soal ceweknya? Ehm..... Rahasia dong! He he he . . . "Li tak mau kalah untuk tertawa juga.

Siang sudah beranjak dan waktunya makan siang tiba. Kemudian Fera mengajak Li makan siang bersama di luar. Bukan seperti biasanya di kantin kantor.

Mereka berjalan beriringan. Li sesekali menatap erat wajah Fera. "Ah, boleh juga dan ternyata Fera adalah wanita yang memang enak diajak bicara. Selama ini aku tidak memperhatikannya!" Batin Li.

Waktu makan siang itu benar-benar terasa menyenangkan bagi Fera dan Li. Suasana keceriaan yang mewarnai membuat Li sejenak bisa melupakan Tri yang sedang tidak berada disisinya. ** Berulangkali dari tadi pagi Mama meminta
Tri menghubungi Ramli, apalagi nanti adalah 
malam minggu.

“Ahh, Mama Tri tak bisa semudah itu.” Tri masih saja memandangi telepon genggamnya, ingin sekali 
mengabarkan tentang dirinya yang
 kebingungan pada Li. Tapi dia tidak sanggup
 melakukannya. 
Tri tidak ingin menghadirkan beban bagi Li.

Tri membayangkan sedang
 apakah Li siang-siang begini? Biasanya setiap jam makan siang mereka akan selalu
 bertemu. Walau hanya sebentar.

“Andai saja sekat jarak ini adalah kaca, maka pasti aku akan senang melihat 
wajahmu Koko. Meskipun berjauhan masih bisa
 saling memandang. Aku tahu apa yang 
sedang kau lakukan saat ini? Ahh, Ko! Apa masih ingat aku ?” Hampir saja airmatanya jatuh, kalau tidak cepat-cepat di tepisnya.

Akhirnya Tri memilih untuk tidur siang saja. 
Tidak butuh waktu lama akhirnya iapun 
terlelap. Mungkin karena kecapaian 
menunggui Mama di rumah sakit beberapa 
hari lalu.

***
Assalamualaikum..! Suara salam seseorang 
dari luar mengagetkan mereka sekeluarga
 yang tengah bercengkerama di ruang
 keluarga. Tri bergegas membukakan pintu, 
ingin tahu siapa yang datang malam itu.

“Uda Ramli? Tri setengah tak percaya saat tahu siapa yang datang.

“Malam, Tri," senyum Ramli hangat sekali malam itu.

“Ayo, silakan masuk Uda.. !” Tri mempersilakan Ramli masuk dan duduk di 
ruang tamu.

“Sebentar ya !” Tri berlalu ke belakang, berbisik kepada orang tuanya “Ramli datang ,Ma!”

“Ya, sudah ambilkan minum !” Ucap Mama, dan tidak beranjak dari
 duduknya.

Sepertinya sengaja, agar 
Tri sendiri yang membuatkan teh hangat untuk Ramli. Lalu
 Tri menemani, duduk di sofa berhadapan Ramli. Tri terlihat
 sedikit kikuk, ia bingung dan tidak tahu 
harus mengatakan apa.

Tri meremas-remas jemarinya, sambil sesekali menatap Ramli 
yang juga terlihat agak canggung. Ramli memang tipe lelaki yang kikuk menghadapi wanita. Apalagi wanita itu secantik Tri.

Dalam hati Tri
 memuji juga ketampanan Ramli. Apalagi 
sekarang, Ramli seorang dosen di sebuah 
Universitas di Padang. Membuatnya semakin 
terlihat berwibawa.

“Tehnya enak, Tri !” Puji Ramli sedikit berbasa-basi. Tri hanya tersenyum, semakin bingung 
saja menghadapi Ramli yang lebih banyak diam sedari tadi.

Begitulah pertemuan malam itu antara Tri dan Ramli yang berlangsung tanpa ada kesan yang istimewa. Namun setidaknya Tri mulai membuka hatinya untuk lelaki lain.

"Sepertinya Ramli memang lelaki yang baik. Sopan dan rendah hati. Tak ada salahnya aku belajar untuk menyukainya." Tri seakan berkata pada dirinya sendiri.

"Yah, aku sudah waktunya harus berani mencintai lelaki lain, selain Koko yang selama ini selalu mengisi relung-relung hatiku!" Tri lebih meyakinkan dirinya lagi. "Seperti kata Koko, sudah waktunya aku harus berani menghadapi kenyataan kehidupan saat ini dan tidak boleh terus-menerus melihat masa lalu, karena hidup adalah saat ini. Yaaaa, aku pasti bisa!!!" Tri kembali menyemangati dirinya saat terbaring sendirian di kamarnya yang sunyi malam itu.

* Keesokan harinya saat pagi, Tri segera menghubungi Li, karena ia tahu, walaupun hari libur, Li selalu bangun pagi-pagi.

"Haloooo... Koko sayanaaaang, selamat pagi! Sudah bangun belum?" Sapa Tri dengan cerianya.

"Selamat pagi juga sayang. Jelas sudah bangun dong. Kalau belum bangun, mana mungkin bisa menerima teleponmu! Loh, ada angin apa nih, begitu ceria di pagi ini? Pasti semalam ketemu arjuna ya?!" Sahut Li dari seberang tak kalah girangnya.

"Iya, Koko. Semalam aku ketemu arjuna! Bagaimana menurut Koko tentang Ramli yang waktu itu bertemu di rumah Tri?!"

"Ramli?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun