Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Kelam Negeri Para Suci [2]

21 Januari 2011   16:12 Diperbarui: 17 Juli 2020   23:17 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12956268511863203040

Tertawalah sebelum membaca tulisan ini, sehingga selanjutnya Anda lupa untuk membacanya! 

* 

Bagian 1

[caption id="attachment_86589" align="alignleft" width="300" caption="sastrawanamatir.blogspot.com"][/caption] 

* Indonesia, negeri tercinta kita ini adalah negeri yang sangat religius. Terdapat banyak pemuka dan sekolah agamanya. Tercatat paling banyak rumah ibadah dan setiap hari ada saja dibangun yang baru. 

Seharusnya ini bisa membuat kita bangga dan menjadi negeri yang penuh berkat. Namun sayangnya, justru banyak bencana tiada henti menimpa.

Salah satu yang diduga sebagai biang keroknya adalah perbuatan maksiat yang ada didepan mata. Hampir disetiap wilayah ada tempat-tempat untuk bermesum ria.

Kemaksiatan menjamur dan sulit untuk dibendung. Walaupun dianggap salah, tetap saja dilindungi oleh para oknum. Karena semua ini berhubungan dengan lingkaran kemiskinan.

Negera bahkan seperti membiarkan sebagai pilihan daripada menjadi beban dan jadi pengangguran. 

Para pemuka agama yang seharusnya lebih berperan untuk turun membimbing umatnya, lebih asyik memilih berbicara diatas mimbar. Lebih tertarik menerima undangan-undangan berbicara yang ada bayarannya.

Yang lucunya adalah kaum agama sepertinya enggan bersentuhan langsung dengan para pelaku maksiat. 

Bukannya dijadikan kawan namun justru memilih memusuhi. Tak heran semakin banyak yang siap melacurkan diri. Siapa yang peduli?

Yang tak kalah kelam adalah negeri yang penduduknya dikenal lemah lembut dan santun ini kini dikuasai para preman. 

Premanisme juga ada dimana-mana. Dipinggiran jalan sampai di istana. Mereka ini menguasai hampir setiap sendi-sendi kehidupan.

Bahkan preman lebih hebat daripada pejabat. Walaupun mereka bersalah, sulit dijangkau hukuman. Bisa tetap memegang peranan tak tergoyahkan.

Bahkan ada yang jadi status terdakwapun masih bisa tetap mencalonkan menjadi pejabat. Bayangkan, penjahat saja nekad menjadi pejabat. 

Apa jadinya nanti, bila dengan kekuasaan dan uang akhirnya bisa menjadi pejabat?

Namanya negara hukum, tapi entah hukum apa yang berlaku? Hukum hanya berlaku dan adil bila tak ada uang untuk menyogok para penegak hukum. 

Tetapi bila ada uang yang siap ditabokan, maka para penegak hukum tak bisa berdiri tegak lagi. Semua bisa diatur dibelakang layar asal ada uang.

Pasal-pasal hukum hanya dijadikan para pengacara dan penegak hukum untuk dijadikan perdebatan untuk menunjukkan siapa yang lebih pintar. Hanyalah sebuah dagelan saja.

Sungguh aneh memang negeri kini ini kaya raya dengan potensi alamnya, namun rakyatnya masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. 

Kekayaan alamnya yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat, diangkut untuk mempertebal pundi-pundi segelintir pengusaha.

Terkenal dengan nama negeri agraria dengan sawah membentang luas. Negeri subur dengan tanah yang luas, namun harus mengimpor jagung dan beras. Entah siapa yang harus disalahkan?!

Hampir 66 tahun sudah merdeka. Tetapi rakyatnya masih banyak yang belum merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. 

Sebaliknya masih serasa terjajah oleh ketidakmampuannya untuk menikmati kebebasan.

Masih banyak rakyatnya di pelosok yang tidak bisa bebas mendapatkan pendidikan, sehingga terbelakang dan buta huruf. 

Boro-boro memikirkan untuk menyekolahkan anak, untuk memikirkan makan apa hari ini masih susah!

Ini kenyataannya, bukan mengada-ada. Siapa yang hendak membantah? 

BERSAMBUNG 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun