Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyelami

19 April 2014   20:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kata-kata memang hanya 'benda' mati. Tetapi setiap kata-kata bijak itu dapat menghidupi jiwa dan menjadi bernilai bagi kehidupan apabila kita memiliki hati untuk menyelaminya.

Kata-kata yang  sebaik apa pun dan dikutip dari kitab suci terbaik sekalipun, bila tak menggunakan hati untuk meyelaminya dan mengolahnya dengan hati, maka tak ada nilai bagi kehidupan kita.

Bila setiap kata hanya menjadi bacaan semata, maka akan lenyap begitu saja seiring berlalunya waktu. Tetapi bila dibaca dengan pemahaman kepintaran, maka sekadar akan menjadi pengetahuan.

Sebab itu, bila pemahaman hanya dengan kepintaran tanpa menyelaminya  dalam-dalam memakai akal budi, maka tak sedikit kata-kata yang baik dan benar bisa menyesatkan.

Hari ini saya ingin belajar menyelami kata-kata Konfusius yang masih saya ingat dan temukan dalam sebuah buku:

Apa perlakuan yang tidak ingin kamu terima dari orang lain, maka jangan lakukan itu....

Kalau tidak mau digigit, jangan menggigit. Kalau tidak mau diusik, jangan mengusik. Seperti itulah kira-kira kata-kata yang sering saya dengar.

Saya mengenal dengan baik seseorang yang suka bercanda dan meledek temannya. Lucunya ketika temannya balik mencandai atau meledeknya, ia malah jadi gampang tersinggung. Lantas marah-marah.

Suka mengkritik sana-sini berkenaan dengan hal yang tidak berkenan dengan hatinya. Herannya, giliran ada yang mengkritik hatinya dongkol setengah mati. Jelasnya tak senang perasaannya.

Kalau naik motor sukanya menyerobot dan menyalip. Ketika berhasil ada senyum kepuasan. Eh, giliran kendaraannya yang disalip, matanya jadi melotot.

Suka menertawakan dan meremehkan orang lain, tapi giliran dirinya yang ditertawakan dan diremehkan malah menganggap orang lain tak berperasaan.

Siapakah seseorang itu? Tentu saja saya mengenal baik seseorang itu, sebab ia adalah orang yang menuliskan hal ini.

Seorang Budiman menuntut dirinya sendiri, seorang rendah budi menuntut orang lain...

Seseorang yang sudah tahu untuk lebih menuntut dirinya menjadi baik, itu namanya sudah mengerti dan tahu akan dirinya sejati.

Namun orang yang hanya tahu menuntut orang lain menjadi baik, ini namanya mau menang sendiri atau tak tahu diri. Tahunya orang lain harus begini-begini, pokoknya harus baik. Kalau dirinya mau brengsek itu urusan sendiri. Orang lain tak boleh komplain.



Tahu siapa orang ini? Yang jelasnya dikatakan orang yang rendah budi. Kali ini saya terpaksa tak mau mengakui kalau jenis orang ini adalah saya. Takut jadi orang sok berbudi.

Karena sifat suka menuntut orang lain ini seringnya tidak sadar terjadi. Seperti contoh, teriak-teriak kalau para pejabat jangan korupsi. Tanpa perlu merasa bersalah bawa pulang beberapa alat tulis dari kantor untuk anak di rumah.

Sebal sama bos atau atasan yang suka marah-marah di tempat pekerjaan, tapi di rumah anak, istri/suami, dan pembantu seringkali jadi sasaran kemarahan sebagai pelampiasan kekesalan dari kantor.

Kita mau pemimpin harus yang baik dan begitu-begini, sementara kita  memimpin diri sendiri atau menjadi pemimpin dalam lingkup kecil yang bernama keluarga saja tak bisa. Duh, sedihnya.

Seorang Budiman dapat menampung ide atau gagasan orang lain meskipun tidak seide dan rukun, sedangkan seorang rendah budi dapat menyamakan idenya tetapi tidak dapat rukun.

Berjiwa besar dan dan menghargai pendapat orang lain itulah sifat berbudi. Tidak memaksakan pendapatnya sebagai yang paling baik dan orang lain harus mendukungnya. Tetapi akan mendukung ide yang baik orang lain demi kebaikan bersama.

Berbeda dengan pengalaman saya dulu saat masih aktif dalam yayasan sosial. Sebagai ketua pemuda, seringkali memimpin rapat dan saya selalu melontarkan ide berkenaan dengan sebuah hal atau kegiatan. Tentu saya merasa ide saya itu yang paling baik.

Namun untuk tidak dianggap otoriter, saya juga meminta masukan dari anggota rapat. Ketika ada ide yang menurut forum lebih baik, tentu saya juga berusaha menyetujui. Tapi diam-diam saya untuk tidak mendukung sepenuhnya dan berbisik dalam hati,"Lihat saja kalau idenya gagal, rasakan akibatnya." Seakan ada harapan ide tersebut akan gagal dalam pelaksaannya.

Sialnya perilaku seperti ini bukan cuma milik saya. Sudah tidak rendah hati, rendah budi lagi. Atau beruntung ya, sehingga tidak perlu malu sendiri?

AFIRMASI:

Tuhan, semoga hari ini kami dapat belajar untuk menyelami setiap kata-kata bijak yang ada, agar kami dapat menjadi insan yang lebih baik dan berbudi, sehingga hidup kami menjadi lebih berarti.

katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun