Ketika melakukan hal yang baik kepada orang lain dengan masih berharap akan mendapat imbalan. Apakah ini masih bisa dikatakan menolong? Bukankah yang namanya menolong itu adalah dengan hati yang tulus tanpa adanya pamrih?
Tetapi kita bisa membela diri kalau memang mau menolong, cuma kalau diberi imbalan boleh apa salahnya diterima. Anggap saja rejeki. Yang namanya rejeki jangan ditolak. Bisa jadi ini menjadi semacam pembenaran bagi kita untuk (selalu) berbuat baik tapi tidak segan menerima imbalan.
Atas sebuah pertolongan yang kita lakukan sebuah ucapan terima kasih yang tulus pun sudah tak cukup bila tak disertai sebuah nilai dalam bentuk materi atau benda.
Menolong Tapi ada Tapinya....
Saya pernah melihat beberapa orang berlarian menolong sebuah angkutan umum yang mogok. Dengan semangat mereka mendorong mobil tersebut sampai ke tepi jalan dan kemudian mesinnya bisa hidup lagi. Ketika sopir hanya bisa melambaikan tangan sambil mengucapkan terima kasih, orang-orang ini tampak kurang senang sambil ngedumel. Entah apa yang mereka katakan. Yang jelas ada raut kekecewaan.
Mungkin kehidupan yang tanpa kita sadari telah mengajarkan kita untuk hidup berpamrih. Ketika kita kecil, orangtua menyuruh kita untuk membantu membersihkan rumah. Demi untuk memotivasi _dengan maksud baik sebenarnya, tapi hasilnya bisa tidak baik_ lalu dijanjikan akan diberi hadiah setelah selesai membantu.
Begitulah alam bawah sadar kita mencatat, bahwa untuk apa yang kita lakukan harus ada imbalannya. Kalau tidak ada imbalan malas ah. Buat apa capai-capai membantu orang lain kalau cuma dapat ucapan terima kasih?
Sekali lagi kehidupan di sekitar kita memang tak hentinya untuk mengajarkan kita untuk hidup berpamrih. Seperti belum lama ini saya alami sendiri. Dalam hati sudah niat mau menolong rekan kerja yang katanya sedang mengalami gangguan kesehatan.
Setelah saya pijit-pijit dan tiup-tiup (ha ha ha...kayak dukun ya?), sore harinya ia mengatakan ada perubahan. Ia merasa badannya lebih enak. Ia merasa sudah saya tolong, lalu ia bermaksud membelikan sesuatu buat anak saya sebagai tanda terima kasih. Coba, apa ini bukan godaan?
Menolong Itu Membahagiakan Bila ada Ketulusan
Baru-baru ini saya menonton sebuah acara di DAAI TV tentang para relawan Tzu Chi yang melakukan kegiatan sosial di Sechuan, Cina yang sedang terkena bencana.
Para relawan itu akan membagikan keperluan sehari-hari untuk para penduduk yang sedang terkena musibah. Untuk itu barang-barang bantuan perlu dibungkus dalam satu paket, sehingga diperlukan banyak relawan. Penduduk setempat dikerahkan untuk membantu. Salah satunya ada seorang anak yang datang membantu dari pagi sampai sore. Dari raut wajahnya tidak ada tampak rasa lelah, malah sangat cerah.
Apa sebab? Ia mengatakan bahwa ia tidak merasa lelah setelah seharian membantu. Menurutnya ia justru merasa senang karena bisa ambil bagian untuk menolong orang-orang yang terkena bencana.
Kenapa bisa senang? Yang pasti ia tidak berbeban ketika hendak membantu, sehingga bisa melakukan pekerjaan untuk menolong sesama yang terkena bencana itu dengan lepas. Jadi bisa membantu orang yang sedang kesulitan dengan tulus itulah kebahagiaan.
Kita tidak heran bila melihat para relawan sosial (seperti dari Yayasan Tzu Chi) yang mau bersusah payah menolong sesamanya yang terkena bencana dan bahkan bukan hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tapi juga rela mengeluarkan biaya sendiri. Karena ada kebahagiaan sejati yang dirasakan.
Bagi kita orang awam yang melihat bisa menilai apa yang mereka lakukan adalah hal bodoh. Namun sesungguhnya mereka adalah orang yang cerdas dan bijak. Berbuat baik tanpa pamrih.
Ketika Menolong dengan Berbeban
Lain halnya ketika kita mau memberikan pertolongan tapi di dalam hati ada pengharapan akan mendapat pamrih. Ini bisa menjadi semacam beban. Harap-harap cemas dan berpikir keras akan mendapat berapa imbalannya.
Ketika apa yang diharapkan ternyata tidak ada atau imbalan yang didapat tidak sesuai kehendak. Bisa dibayangkan, akan semacam berbeban yang tampak dari raut wajah yang berkerut dan lelah.
Kalau kita mau menolong dengan berharap pamrih dari manusia, pastinya akan ada kekecewaan di kemudian hari. Walau ada kesenangan ketika mendapat imbalan yang kita harapan. Tapi itu akan semakin menumbuhkan benih-benih keserakahan di dalam diri.
Ketika Menolong hanya Demi Kehendak Nurani
Namun ketika masih ada ketulusan dan mau menolong sesama semata-mata karena panggilan hati tanpa memikirkan pamrih, maka itu akan semakin mengasah ketulusan kita.
Bisa menolong hanya karena mengikuti suara hati itu bisa dikatakan adalah sebagai wujud tanda terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat menolong sesama. Bila itu kita bisa lakukan, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya akan kita dapatkan.
Hidup memang pilihan, mengikuti nurani untuk berbuat baik yang sesungguhnya atau mengikuti keakuan dengan kebaikan yang menipu.
Afirmasi:
Tuhan, semoga kami masih memiliki jiwa penolong sesama kami dengan ketulusan yang ada. Semoga ketika hendak menolong, suara nurani yang menjadi nahkoda.
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H