Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menolong

7 Mei 2014   20:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melakukan hal yang baik kepada orang lain dengan masih berharap akan mendapat imbalan. Apakah ini masih bisa dikatakan menolong? Bukankah yang namanya menolong itu adalah dengan hati yang tulus tanpa adanya pamrih?

Tetapi kita bisa membela diri kalau memang mau  menolong, cuma kalau diberi imbalan boleh apa salahnya diterima. Anggap saja rejeki. Yang namanya rejeki jangan ditolak. Bisa jadi ini menjadi semacam pembenaran bagi kita untuk (selalu) berbuat baik tapi tidak segan menerima imbalan.

Atas sebuah pertolongan yang kita lakukan sebuah ucapan terima kasih yang tulus pun sudah tak cukup bila tak disertai sebuah nilai dalam bentuk materi atau benda.

Menolong Tapi ada Tapinya....

Saya pernah  melihat beberapa orang berlarian menolong sebuah angkutan umum yang mogok. Dengan semangat mereka mendorong mobil tersebut sampai ke tepi jalan dan kemudian mesinnya bisa hidup lagi. Ketika sopir hanya bisa melambaikan tangan sambil mengucapkan terima kasih, orang-orang ini tampak kurang senang sambil ngedumel. Entah apa yang mereka katakan. Yang jelas ada raut kekecewaan.

Mungkin kehidupan yang tanpa kita sadari telah mengajarkan kita untuk hidup berpamrih.  Ketika kita kecil, orangtua menyuruh kita untuk membantu membersihkan rumah. Demi untuk memotivasi _dengan maksud baik sebenarnya, tapi hasilnya bisa tidak baik_ lalu dijanjikan akan diberi hadiah setelah selesai membantu.

Begitulah alam bawah sadar kita mencatat, bahwa untuk apa yang kita lakukan harus ada imbalannya. Kalau tidak ada imbalan malas ah. Buat apa capai-capai membantu orang lain kalau cuma dapat ucapan terima kasih?

Sekali lagi kehidupan di sekitar kita memang tak hentinya untuk mengajarkan kita untuk hidup berpamrih. Seperti belum lama ini saya alami sendiri. Dalam hati sudah niat mau menolong rekan kerja yang katanya sedang mengalami gangguan kesehatan.

Setelah saya pijit-pijit dan tiup-tiup (ha ha ha...kayak dukun ya?), sore harinya ia mengatakan ada perubahan. Ia merasa badannya lebih enak. Ia merasa sudah saya tolong, lalu ia bermaksud membelikan sesuatu buat anak saya sebagai tanda terima kasih. Coba, apa ini bukan godaan?

Menolong Itu Membahagiakan Bila ada Ketulusan

Baru-baru ini saya menonton sebuah acara di DAAI TV tentang para relawan Tzu Chi yang melakukan kegiatan sosial di Sechuan, Cina yang sedang terkena bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun