Walaupun perjalanan sudah jauh tetapi bila merasa ada yang tidak benar dalam langkah, tidak perlu takut berbalik arah dan kembali meluruskan pandangan lalu memulai langkah dengan pasti...
Proses perjalanan menulis sebenarnya tak berbeda jauh dengan proses perjalanan kehidupan sehari - hari. Bisa menuju ke arah yang lebih baik, semakin buruk atau berjalan di tempat. Semua itu tidak bisa kita pastikan proses perjalanan kita menuju ke arah yang mana. Sebab hidup selalu penuh misteri. Di ujung kematianlah yang menjadi penentu.
Apapun tujuan awal kita menulis tidak menjadi soal. Percayalah pada akhirnya akan terjadi proses yang menentukan ke arah mana tujuan kita.
Pada kesempatan ini ijinkanlah saya sedikit merefleksikan proses perjalanan menulis di blog. Bisa jadi bagi orang lain tidak ada yang istimewa. Bahkan terlalu remeh untuk dijadikan sebuah catatan. Tak mengapa. Tetapi saya juga percaya ada satu atau dua sahabat yang mengalami proses perjalana yang sama, sehingga dapat saling memperkaya perjalanan ini.
Awalnya, Panggilan Hati untuk Memotivasi Diri
Harus saya katakan bahwa motivasi yang paling ajaib yang pernah saya rasakan adalah dengan menulis. Sebab ketika hidup dalam fase hampir putus apa, suara hati berteriak keras, agar saya menulis. Tentunya tulisan yang memotivasi diri. Setelah berbagai cara motivasi dengan membaca atau mendengarkan topik yang membangkitkan diri dari yang terpuruk.
Mengawali menulis dengan bersusah payah hanya untuk membuat sebuah tulisan pendek di buku tulis. Hasilnya penuh dengan coretan. Baru kemudian dipindahkan ke blog yang juga dengan susah payah dibuat.
Setelah proses sekitar tiga bulan menulis gairah hidup mulai tumbuh kembali, sebab itu kemudian menulis menjadi sesuatu hal yang selalu memotivasi.
Kemudian ikut bergabung menulis di Kompasiana saya begitu percaya diri. Mengalir saja tanpa beban. Pokoknya menulis ada yang komentar atau nihil tidak peduli. Padahal waktu itu banyak penulis senior dan jurnalis yang bergabung menulis di Kompasiana. Jadi kemudian saya bersyukur, untung tidak minder waktu itu.
Percaya diri, tanpa beban dan masih lugu sebagai penulis, sehingga selalu fokus menulis itulah sebabnya begitu produktif waktu itu menulis. Coba kalau terlalu banyak berpikir dan membanding - bandingkan diri? Siapalah saya sebagai penulis? Masih bau susu seperti bayi!
Popularitas yang Mulai Menggoda
Tak apalah kalau harus dikatakan sombong atau memamerkan diri, ketika harus menulis kenyataan yang ada. Sekitar tahun 2010 - 2012, nama Katedrarajawen mulai punya nama di Kompasiana. Terkenal karena produktivitasnya dalam menulis. Menjadi penulis paling produktif 2010 adalah sebagai bukti.
Hal ini semakin memacu diri untuk terus menulis dan menulis. Apalagi tulisan - tulisan cukup banyak yang masuk HeadLines HL) dan masuk kolom terpopuler atau belakangan menjadi kolom Trending Article (TA). Sehari malah bisa dua kali. Banyak pujian, Benar - benar semakin membuat hati ini melambung untuk terus menulis.
Embel - embel menulis untuk berbagi selalu menjadi tameng, sehingga lupa waktu untuk terus memacu diri menulis. Telepon genggam di tangan tak pernah lepas untuk dipencet.
Di pinggir jalan, saat antre di bank, di tempat tidur, bahkan di kamar mandi pun aksi menulis jalan terus. Tak heran istri sampai cemburu dengan HP yang selalu saya mesrai. Gawat, kan? Katanya menulis pakai hati tapi sampai tidak punya hati.
Setiap hari selalu berpikir keras untuk menulis yang menarik dan mendatangkan banyak pembaca. Judul - judul menarik dan heboh dipilih sebagai penarik. Hati selalu berharap tulisannya akan masuk HL atau TA tapi dikata - kata menulisnya lain. Ya itu 'menulis cuma untuk berbagi'.
Berbagi untuk siapa? Apa pernah peduli tulisan yang hendak dibagi itu ada yang suka? Tidak masalah, yang penting niatnya baik. Begitu selalu berargumen untuk selalu merasa benar sendiri.
Padahal yang sebenarnya begitu banyak waktu yang digunakan untuk menulis dan otak sepanjang hari bekerja keras untuk mencari ide dan celah demi mengejar nama serta pujian. Lagi - lagi mendapat pembelaan 'Bukankah itu hal yang wajar dan manusiawi?' Sejujurnya semua itu hanya untuk memuaskan nafsu keegoan. Mengejar nama atau popularitas.
Buktinya tidak segan - segan menulis hal yang berbau politik _topik yang hangat_ agar mendapat banyak pembaca walau harus menjelekkan pihak lain. Pejabat atau anggota dewan. Merasa diri yang paling benar saja. Egois, kan?
Sedikit postifnya godaan untuk menjadi populer membuat kita mau berusaha lebih keras dan selalu terpacu untuk terus menulis. Tetapi pada akhirnya akan menemukan titik jenuh. Kalau masih sadar.
Kembali Melihat Diri
Hiruk - pikuk dunia menulis di Kompasiana memang selalu menarik dan penuh kehebohan. Luar biasa, Yang datang dan pergi. Yang populer dan tenggelam silih berganti. Bisa terus bertahan sekian tahun merupakan prestasi tersendiri.
Sampai pada waktunya. Bila menulis hanya untuk memuaskan ego, maka pasti tidak akan pernah puas. Popularitas semakin dikejar akan semakin melelahkan. Ada kecewa yang pasti. Ujung - ujungnya bisa sakit hati. Menyedihkan.
Bisa jadi merupakan langkah kecil untuk mengubah haluan dalam menulis ketika meyakinkan diri hanya untuk menulis tulisan yang kurang diminati karena berisi refleksi dan menggurui. Menakutkan. Ditambah lagi dengan judul yang tidak menarik sama sekali. Membosankan.
Tidak apa, karena saya meyakinkan diri apa yang ditulis lebih banyak untuk menggurui diri sendiri menerangi diri. Berupaya lebih banyak untuk melihat kesalahan sendiri daripada kesalahan orang lain. Sesuatu hal yang berat sebenarnya.
Selain itu dalam menulis lebih santai dan menikmati. Tidak ada beban dengan segala macam target yang harus dicapai atau menulis kejar posting layaknya sinetron kejar tayang gitu.
Sekali lagi, ini hanyalah langkah kecil menjadikan menulis sebagai cara untuk merefleksi diri sendiri setelah awalnya sudah sukses secara pribadi dengan menulis untuk memotivasi diri.
Hidup selalu penuh misteri, ke arah mana perjalanan selanjutnya saya sendiri tidak bisa memastikan. Pada saat ini hanya bisa berusaha dengan apa yang menjadi pilihan. Berharap dengan menulis benar - benar bisa menerangi diri dengan refleksi hati. Walau masih jauh dari sempurna dan perjalanan masih panjang untuk dilalui.
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H