Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tjiptadinata Effendi dan Halimah

8 Januari 2015   17:23 Diperbarui: 8 Januari 2021   16:17 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah kita berpikir bahwa semua hal harus mengukurnya dengan uang? Sebuah keikhlasan tidak membutuhkan uang berapa pun sebagai penggantinya!

Entah sudah berapa lama hati ini tak tersentuh atau terharu oleh sebuah bacaan. Entah karena hati ini sudah mati rasa atau tulisan yang dibaca tak mempunyai rasa lagi. 

Namun hari ini, pagi-pagi saat membuka buku 'Beranda Rasa' karya Pak Tjiptadinata Effendi [Seorang Grand Master Reiki dan Kompasianer of the Year 2014] ada sebuah kisah tentang seorang Ibu bernama Halimah yang sungguh menggetarkan jiwa dan membuka kran air mata untuk mengalir.

Sebuah kisah yang terjadi saat Pak Tjipta menempuh perjalanan naik bus dari Medan menuju Padang untuk berdagang dalam keadaan sakit.  Yang mana saat itu beliau bertemu Ibu Halimah, seorang wanita tua yang sederhana dengan hati yang sederhana pula.

Ini sedikit cuplikannya;

"Nak, tadi waktu berhenti, Ibu sempat beli 2 potong ubi rebus di rumah penduduk, karena di sekitar sini tidak ada warung. Masih hangat, nih. Dimakan ya."

Dua potong ubi yang sangat nikmat bagi Pak Tjipta yang sedang dalam keadaan lapar. Tetapi mengingat Ibu Halimah yang sederhana dan mungkin juga sangat membutuhkan uang, maka Pak Tjipta berniat untuk mengganti uang yang dipakai untuk membeli ubi.

"Maaf Bu, ini sekadar uang untuk pengganti beli ubi tadi."

Namun apa tanggapan Bu Halimah? Sebuah jawaban yang membuat mata Pak Tjipta berkaca-kaca dan menahan haru.

"Nak, Ibu memang cuma bawa uang jajan terbatas dan hanya bisa beli 2 potong ubi. Ibu berbagi pada anak dengan ikhlas, tidak semuanya harus dihitung dengan uang, Nak."

Tidak Semua Hal Bisa Dinilai dengan Uang

Kebenaran hidup saat ini adalah bahwa semua orang normal memang membutuhkan uang dalam hidupnya. Seakan tak bisa hidup tanpa uang. 

Itulah sebabnya dengan berbagai cara kita berusaha untuk mendapatkannya. Tidak peduli dengan cara yang benar atau menyalahi ajaran agama sekali pun. Selalu ada pembenaran untuk itu.

Kita sampai-sampai lupa bahwa dalam hidup ini  tidak semua hal bisa menukarnya  dengan uang. Dalam  sebuah ketulusan, uang adalah tiada nilainya. Bahwa uang bisa membeli segalanya adalah pandangan yang salah. Uang tidak bisa membeli sebuah keikhlasan.

Tanpa kita sadari dalam kekinian hidup kita mencoba menilai segalanya dengan uang. Ketika hendak menolong, ada muncul persepsi pertolongan tersebut akan berganti dengan sejumlah uang. Tak heran uang telang memperbudak hidup kita.

Satu Keikhlasan yang  Lebih Berharga daripada Ribuan Kata Kebenaran di Atas Mimbar

Ratusan khotbah tak pernah bisa mencerahkan Pak Tjipta, tetapi seorang Ibu sederhana mampu menggetarkan dan mendatangkan pencerahan.bagi beliau akan kebenaran hidup untuk saling berbagi tanpa membedakan suku agama dan golongan.

Dua potong ubi rebus lebih bernilai dari ribuan kata-kata kebenaran di atas mimbar yang pernah singgah di hati Pak Tjipta. Sebab ribuan kata kebenaran itu tak pernah menggetarkan jiwa dan hanya singgah sebentar.

Namun dengan dua potong ubi rebus dari Bu Halimah masih dapat bertahan dalam hati selama 40 tahun lebih. Dua potong ubi rebus telah menembus relung hati seorang anak manusia melebihi nilai dua potong berlian berkilauan.

Sebab di dalam dua potong ubi rebus ada keikhlasan yang tak ternilai. Sekarang semakin menjadi bernilai karena tidak semua dari kita masih memilikinya. Entah terjual atau masih tersimpan di pegadaian. Milik saya malah sudah lupa menyimpannya di mana.

Hati yang Sederhana yang Menggetarkan

Membaca kisah ini dan membayangkan sosok Bu Halimah, membuat jiwa saya bergetar. Ketulusannya tak sanggup untuk menahan air mata ini mengalir. Menginspirasi untuk bisa lebih berbagi dalam segala kekurangan.

Apa yang dilakukan adalah hal yang paling benar yang belum tentu bisa dilakukan orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki ilmu agama.

Bu Halimah dengan hati yang sederhana mau membantu dan memerhatikan Pak Tjipta yang dalam keadaan sakit tanpa melihat perbedaan suku dan agama di antar mereka.

Melihat kondisi Pak Tjipta dalam perjalanan itu yang tidak nyaman, Bu Halimah mencoba menenangkan dengan penuh perhatian,"Nak, cobalah tidur. Jangan kuatir, ada Ibu di sini...". 

Sebuah perkataan yang membuat Pak Tjipta merasa Ibunya sendiri yang hadir saat itu. Sungguh hati seorang Ibu yang sederhana dengan hatinya yang  sederhana tetapi yang sesungguhnya juga tidak sederhana.

Sementara saya? Sudah hati kacau, masih pula dipenuhi dengan pikiran untung dan rugi dalam berbuat kebaikan. Bagaimana ada keikhlasan bila demikian?

@cerminperistiwa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun