Indonesia perlu melihat Korsel dan Amerika Serikat, di mana pemilu di tengah kondisi pandemi, bukan penghambat hajatan rakyat untuk di rem total.Â
Sebab, mengerem dalam dunia goes sepeda, ada baik dan ada buruknya di situasi yang belum menentu ini.Â
Bisa-bisa mengerem Pilkada bisa berbuntut naas ke jurang ketidakpastian hukum dan politik nasional.Â
Praktis urgensinya adalah tetap pelan-pelan dalam mengerem, sebab problem mendasarnya ada pada intraksi sosial dalam kaitan ketaatan menjalani protokol kesehatan atau tidaknya.Â
Meminjam istilah kalangan millnial, jangan terlalu "ngegas", ntar bisa celaka. Begitu kira-kira.
Gambaran lain, seperti bunglon, akan berubah kulit mengikuti dimana lingkungannya berada. Maka adaptasi di masa pandemi dalam melangsungkan Pilkada juga butuh adaptasi, terutama dalam bentuk penyelenggaraannya.Â
Berhubung masa kampanye pada Pilkada 2020 sudah di tabuh genderangnya, tinggal pengawalannya selama masa ini di jaga ketat oleh penyelenggara.Â
KPU berperan memberi atensi berupa rambu-rambu dalam berkampanye, dalam hal ini penggunaan media sosial sebagai alternatif dari pelarangan pengumpulan massa.Â
Yang jelas, tuntutan untuk kreatif dalam berkampanye membutuhkan ide-ide brilian mempromosikan lewat akun-akun yang dibuat oleh tim IT setiap kontestan.
Kampanye secara virtual, tergolong bukan barang baru, kerja digital telah membawa arus pergerakan manusia di medan yang bias untuk menggiring psikologi ummat lewat opini publik.Â
Menjadikan media sosial sebagai ladang propaganda, sudah menjadi tren selama lebih satu dasawarsa sampai sekarang.Â