Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jaga Kesehatan Warga dengan Kampanye Virtual

11 Oktober 2020   18:22 Diperbarui: 11 Oktober 2020   18:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Istimewa


Pendaftaran paslon kontestan Pilkada di 270 daerah sudah bergulir, tahapan kampanye praktis menjadi ajang konstestan memverbalkan visi, misi dan program kerjanya untuk memikat nurani masyarakat pemilih. 

Pada momentum kampanye, janji-janji akan mengiringi tiap kali aksi "jualan diri", atau personal brand dalam keilmuan marketing.

Itu artinya, kesempatan emas bagi kontestan untuk melakukan dua aktivitas sekaligus, yaitu menjual janji dan menyapa sudah masuk "pasar" (tempat orang berjualan). 

Bahwa setiap kontestan akan menjual produknya kepada pembeli. Tak ketinggalan, black campaign dan white campaign akan meruncingkan stigma pembeli pada penjual, mulai dari makelar, calo, dan preman ikut serta di sekelilingnya.

Nahasnya, dari dua algortima kampanye itu, aktivitas menyapa (ruang publik) tidak mempunyai ruang banyak, sebab masih tingginya korban pandemi covid-19 di indonesia. 

Tingginya angka yang terjangkit, itu sebagai bukti pandemi ini masih menjadi ancaman serius bagi banyak orang. 

Sehingga untuk menyepelekannya pun orang perlu berpikir seribu kali. Sebab nyawa taruhannya. 

Di sinilah, nyawa menjadi alasan pemerintah tetap concern pada kesehatan, meski harus melangsungkan Pilkada di bulan desember nanti-di samping juga gelombang penundaan Pilkada terus menyeruak di sejumlah pihak.

Tapi biarlah, keseriusan pemerintah perlu di apresiasi, begitupun partisipasi masyarakat atas Pilkada 2020 ini butuh kerjasama yang sinergis antar elemen bangsa. 

Tidak perlu membuat panas situasi, sebab semakin membuat masyarakat ketakutan yang akut, ini akan memperkeruh kondisi sosial. 

Tentu harapan besarnya, Pilkada menjadi batu loncatan bagi kita, bahwa daya kuat ketaatan masyarakat akan dipertontonkan sampai mana ketangguhannya, secara mentalitas dan interdisipinernya di tengah kondisi yang mengharuskan orang menjaga interaksi sosialnya.

Indonesia perlu melihat Korsel dan Amerika Serikat, di mana pemilu di tengah kondisi pandemi, bukan penghambat hajatan rakyat untuk di rem total. 

Sebab, mengerem dalam dunia goes sepeda, ada baik dan ada buruknya di situasi yang belum menentu ini. 

Bisa-bisa mengerem Pilkada bisa berbuntut naas ke jurang ketidakpastian hukum dan politik nasional. 

Praktis urgensinya adalah tetap pelan-pelan dalam mengerem, sebab problem mendasarnya ada pada intraksi sosial dalam kaitan ketaatan menjalani protokol kesehatan atau tidaknya. 

Meminjam istilah kalangan millnial, jangan terlalu "ngegas", ntar bisa celaka. Begitu kira-kira.

Gambaran lain, seperti bunglon, akan berubah kulit mengikuti dimana lingkungannya berada. Maka adaptasi di masa pandemi dalam melangsungkan Pilkada juga butuh adaptasi, terutama dalam bentuk penyelenggaraannya. 

Berhubung masa kampanye pada Pilkada 2020 sudah di tabuh genderangnya, tinggal pengawalannya selama masa ini di jaga ketat oleh penyelenggara. 

KPU berperan memberi atensi berupa rambu-rambu dalam berkampanye, dalam hal ini penggunaan media sosial sebagai alternatif dari pelarangan pengumpulan massa. 

Yang jelas, tuntutan untuk kreatif dalam berkampanye membutuhkan ide-ide brilian mempromosikan lewat akun-akun yang dibuat oleh tim IT setiap kontestan.

Kampanye secara virtual, tergolong bukan barang baru, kerja digital telah membawa arus pergerakan manusia di medan yang bias untuk menggiring psikologi ummat lewat opini publik. 

Menjadikan media sosial sebagai ladang propaganda, sudah menjadi tren selama lebih satu dasawarsa sampai sekarang. 

Bedanya, kali ini aktivitas mempropagandakan personal brand kontestan menemukan moementumnya di himpitan pandemi global. 

Alhasil ruang rimba raya tersebut (dumay) dalam lalu lintas berkampanye dituangkan diatas kertas (aturan). 

Sebagai antisipasi, pedoman kampanye tertuang dalam paraturan KPU nomor 13 tahun 2020. Poin-poin penting dalam aturan mainnya adalah membatasi ruang gerak di ruang publik.

Kampanye virtual, barangkali akan memunculkan hasrat tidak puas bagi sebagian pihak dengan beberapa alasan logis, di samping pihak lain yang setuju. 

Bagaimanapun ini solusi membatasi potensi kerumunan massa dapat terhindari. Walaupun sebenarnya, libido politik kontestan dan timnya sama-sama menginginkan lebih,(dalam berkampanye). 

Paling tidak kedepannya ini cara yang sama-sama diharapkan memutus mata rantai money politik di indonesia dan memangkas biaya politik yang menghiasi varian perpolitikan Indonesia.

Seperti yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa biaya politik di ajang pemilihan kerap tergolong mahal. 

Penggelontoran uang  sebagai mahar, baik pada elit politik, pengusaha, dan pemilih barangkali tidak membuat konstestan berkerut dahi dan bercucur air mata nestapa. 

Bersamaan dengan bantuan-bantuan oleh pemerintah berupa sembako, dan uang tunai di satu pihak. Implikasinya, kepada calon, membuat lega, dan rakyat tidak keciptratan mata duitan. 

Berkahnya, kualitas demokrasi masyarakat tengah disembuhkan dengan andrenalin.

Literasi Politik

Literasi politik, secara sederhana dapat diartikulasikan sebagai upaya memberi pemahaman pada publik, yang bisa diakses banyak kalangan perihal makna dan hakikat politik dan dinamiknya. 

Ini penting, sebab doktrinan di masyarakat pemilih, terutama di ruang sosial kita, masih nampak rayuan-rayuan verbal di ruang publik yang kadang menyusul kemungkinan konflik akut. Tidak main-main biasanya, konflik dengan kekerasan fisik tidak bisa dihindari di beberapa tempat.

Bisa saja, pengetahuan politik yang esensial menjadi penyebab utama kaburnya pemahaman politik dan seabrek dinamikanya kemudian. 

Makanya, pandemi sebenarnya adalah bisa dibilang berkah, bagi umat manusia untuk transformasi sosial di beberapa sektor untuk menyehatkan pemahaman kebijaksanaan. 

Mengubur dalam-dalam kebiasaan tidak baik, dengan menafaatkan lalu lintas digital sebagai adrenalin. 

Tentu, yang lebih penting bagi tim kampanye kontestan dalam kapasitas pemilihan kepala daerah, perlu kiranya akun-akun kontestan memberi konten edukatif perihal politik kebangsaan kita, kerukunan, keberagaman, dan bahaya politik identitas, dan SARA. 

Dengan begitu, masyarakat pemilih akan handai taulan memilah dan memilih mana calon pemimpin menurut hasil pilihan nuraninya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun