Nah, setelah pemilu selesai mesin ini mampu mengeluarkan tabulasi jumlah pemilih dalam bentuk kertas. Sehingga kecurangan akan sulit untuk dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.Â
Selain Amerika, terdapat banyak negara yang telah mengguanakan teknologi dalam sistem pemilihan calon pemimpin. Contohnya negara Estonia, India, Brazil, Venezuela, dan masih banyak lagi.Â
Meski begitu antisipasi kecurangan harus tetap dilakukan karena bagaimanapun mesin tersebut juga buatan manusia yang memiliki kelemahan.
Untuk itu teknologi yang semakin hari semakin berkembang ini diharapkan mampu membantu warga negara Indonesia untuk memudahkan dalam pemilihan calon pemimpin.Â
Sampai saat ini kepala BPPT, Marzan A Iskandar menyebutkan bahwa teknologi pemilu elektronik telah disimulasikan dijemlah daerah seperti Banda Aceh, Gorontalo, Pasuruan, dan Tangerang Selatan. Semoga saja bisa direalisasikan.Â
Menurut saya untuk persoalan kecurangan semua sistem pasti ada kecurangannya, namun bagaimana pemerintah dapat meminimalisirnya.Â
Idealnya memang kecurangan tidak ada sama sekali. Karena ada ancaman pidana seperti pada pasal 534 setiap orang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000.Â
semoga saja oknum-oknum yang akan melakukan kecurangan takut dengan adanya pasal ini.
Menghadapi era digitalisasi, Indonesia sudah seharusnya siap dalam berbagai sektor. Tak terkecuali sektor politik, yang harus digeser menuju dunia politik berbasis teknologi.
Apalagi sekarang musimnya pandemi,maka bukan lagi keharusan tetapi merupakan kewajiban bagi calon pejabat daerah untuk menempatkan keselamatan masyarakat diatas segalanya.Â
Jangan sampai ada stigma bahwa hanya sektor politik yang secara sah dan legal dibebaskan pelaksanaannya meski dalam kondisi yang terburuk seperti saat ini.