Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada Berbasis Teknologi Solusi di Kala Pandemi

9 Oktober 2020   17:20 Diperbarui: 9 Oktober 2020   17:27 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara demokrasi merupakan negara yang mementingkan rakyat. Abraham Lincoln menyebut demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. 

Indonesia dianggap sebagai negara yang sukses menjalankan demokrasi. Ukurannya sejak Reformasi, telah berlangsung Pilkada secara langsung dan serentak di ratusan daerah. Pilkada tahun ini adalah Pilkada tahap keempat. 

Selain itu, di Pemilu 2019 yang secara bersamaan menghelat Pilpres dan Pileg secara bersamaan. Dalam Pemilu 2019 tersebut masyarakat mencoblos lima surat suara sekaligus: Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sebagaimana tercantum di UUD 1945. Salah satu ciri negara demokrasi yaitu merdekanya setiap warga negara. Maksudnya warga negara memiliki hak untuk berpendapat, hak memilih, hak berkumpul dan lain lain.

Sebagai negara demokrasi, partisipasi warga negara untuk mengemukakan pendapat ataupun untuk memilih sangat diperlukan. 

Menurut Ramlan Surbakti, "partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala bentuk keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya." 

Intinya partisipasi politik sangat penting untuk mengatur tatanan negara demokrasi. Namun mayoritas partisipasi politik yang didengar oleh pemimpin/pemerintah adalah segolongan elit penguasa saja. Sedangkan masyarakat biasa cenderung tidak didengarkan ketika mengutarakan pendapat berpolitik.

Partisipasi politik di Indonesia selama ini dalam konteks pemilihan pemimpin, memiliki asas Pemilihan Umum yang harus dipedomani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan umum, menegaskan "pemilu didasarkan dengan asas langsung, umum, bebas, jujur, adil. Pemilu di Indonesia masih diadakan secara offline. 

Maksudnya pemilu di Indonesia ketika warga memilih masih dilakukan secara konvensional (berbasis kertas).  

Efektifiitas penggunaan kertas cukup baik meski sudah sering ditemukan berbagai kecurangan, maka lembaga hitung cepat hadir (quick count ) meski terkadang agak sulit dimengerti mengapa akurasinya bisa mendekati tepat. 

Perkara lembaga hitung cepat, juga perlu di cek ulang lembaga mana saja yang berhak melakukan hitung cepat.

Banyaknya kelemahan dalam sistem pemilu menggunakan cara konvensional (kertas) tentu harus segera diperbaiki, apalagi saat ini sedang pandemi. 

Selain akan menimbulkan keramaian, pilkada secara manual srlalu menimbulkan percikan-percikan konflik. 

Seperti pada pemilu 2019 kemarin, banyak pihak mengkritik karena tidak mengantisipasi beban kerja  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). 

Walaupun KPPS bekerja secara maksimal tetap akan menghabiskan waktu yang lama. Apalagi pada perhitungan DPRD yang bawahannya banyak. 

Selain itu, pada sistem manual ini memiliki tingkat kecurangan yang sangat tinggi. 

Contohnya ketika bapak saya bekerja di Papua, waktu itu 2019 ketika sedang Pilpres. Partisipasi warga disana terhadap pemilihan pemimpin rendah. 

Ketika beliau datang ke tempat pemilihan, ia melihat di tempat itu sedang ricuh dikarenakan kertas-kertas pemilihan tersebut dicoblos-cobloskan oleh oknum ke salah satu calon.

Di situasi pandemi seperti saat ini, penyelenggaraan pemilihan umum jika dilaksanakan secara langsung seperti dalam asas pemilu di pasal 2 sebelumnya tentu akan sangat beresiko, sebaliknya jika tidak dilaksanakan secara langsung tentu akan melanggar regulasi. 

Artinya solusi konkret untuk menjembatani kedua hal tersebut agar menjadi sebuah jalan keluar mutlak diperlukan. 

Kita berandai jika pemilu dibantu oleh teknologi, seperti e-voting di Amerika. Penguatan politik berbasis teknologi secara maksimal tentu dibutuhkan oleh negara Indonesia hari ini.

Amerika sudah memakai teknologi mesin bernama DS-200. Mesin ini dapat dioperasikan oleh para difabel juga. 

Nah, setelah pemilu selesai mesin ini mampu mengeluarkan tabulasi jumlah pemilih dalam bentuk kertas. Sehingga kecurangan akan sulit untuk dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab. 

Selain Amerika, terdapat banyak negara yang telah mengguanakan teknologi dalam sistem pemilihan calon pemimpin. Contohnya negara Estonia, India, Brazil, Venezuela, dan masih banyak lagi. 

Meski begitu antisipasi kecurangan harus tetap dilakukan karena bagaimanapun mesin tersebut juga buatan manusia yang memiliki kelemahan.

Untuk itu teknologi yang semakin hari semakin berkembang ini diharapkan mampu membantu warga negara Indonesia untuk memudahkan dalam pemilihan calon pemimpin. 

Sampai saat ini kepala BPPT, Marzan A Iskandar menyebutkan bahwa teknologi pemilu elektronik telah disimulasikan dijemlah daerah seperti Banda Aceh, Gorontalo, Pasuruan, dan Tangerang Selatan. Semoga saja bisa direalisasikan. 

Menurut saya untuk persoalan kecurangan semua sistem pasti ada kecurangannya, namun bagaimana pemerintah dapat meminimalisirnya. 

Idealnya memang kecurangan tidak ada sama sekali. Karena ada ancaman pidana seperti pada pasal 534 setiap orang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000. 

semoga saja oknum-oknum yang akan melakukan kecurangan takut dengan adanya pasal ini.

Menghadapi era digitalisasi, Indonesia sudah seharusnya siap dalam berbagai sektor. Tak terkecuali sektor politik, yang harus digeser menuju dunia politik berbasis teknologi.

Apalagi sekarang musimnya pandemi,maka bukan lagi keharusan tetapi merupakan kewajiban bagi calon pejabat daerah untuk menempatkan keselamatan masyarakat diatas segalanya. 

Jangan sampai ada stigma bahwa hanya sektor politik yang secara sah dan legal dibebaskan pelaksanaannya meski dalam kondisi yang terburuk seperti saat ini.

Penulis akan coba memberikan saran untuk pelaksanaan pilkada tahun ini agar mampu bergerak menuju politik berbasis teknologi. 

Meskipun hari ini Pilkada akan tetap dilaksanakan, bukan tidak mungkin kita tetap mematuhi protokol kesehatan dan meminimalisir rakyat sebagai korban. 

Caranya adalah mengadakan kampanye secara online, kurangi pertemuan-pertemuan deklarasi pemenangan seperti acara dangdut atau hiburan. 

Terakhir pastikan fasilitas penunjang protokol kesehatan disediakan di tempat pemungutan suara. Semoga tulisan ini menjadi solusi untuk menjembatani permasalahan Pilkada di tengah pandemi.

Yang utama, Penyelenggara Pemilu dengan anggaran yang sangat besar harus bisa mensosialisasikan sejumlah aturan baru di Pilkada. Hatta ke masyarakat di daerah terpencil yang terbatas mendapatkan informasi. Membaca berita saja tak pernah karena tidak punya TV atau bahkan HP saja tidak ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun