Banyaknya kelemahan dalam sistem pemilu menggunakan cara konvensional (kertas) tentu harus segera diperbaiki, apalagi saat ini sedang pandemi.Â
Selain akan menimbulkan keramaian, pilkada secara manual srlalu menimbulkan percikan-percikan konflik.Â
Seperti pada pemilu 2019 kemarin, banyak pihak mengkritik karena tidak mengantisipasi beban kerja  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).Â
Walaupun KPPS bekerja secara maksimal tetap akan menghabiskan waktu yang lama. Apalagi pada perhitungan DPRD yang bawahannya banyak.Â
Selain itu, pada sistem manual ini memiliki tingkat kecurangan yang sangat tinggi.Â
Contohnya ketika bapak saya bekerja di Papua, waktu itu 2019 ketika sedang Pilpres. Partisipasi warga disana terhadap pemilihan pemimpin rendah.Â
Ketika beliau datang ke tempat pemilihan, ia melihat di tempat itu sedang ricuh dikarenakan kertas-kertas pemilihan tersebut dicoblos-cobloskan oleh oknum ke salah satu calon.
Di situasi pandemi seperti saat ini, penyelenggaraan pemilihan umum jika dilaksanakan secara langsung seperti dalam asas pemilu di pasal 2 sebelumnya tentu akan sangat beresiko, sebaliknya jika tidak dilaksanakan secara langsung tentu akan melanggar regulasi.Â
Artinya solusi konkret untuk menjembatani kedua hal tersebut agar menjadi sebuah jalan keluar mutlak diperlukan.Â
Kita berandai jika pemilu dibantu oleh teknologi, seperti e-voting di Amerika. Penguatan politik berbasis teknologi secara maksimal tentu dibutuhkan oleh negara Indonesia hari ini.
Amerika sudah memakai teknologi mesin bernama DS-200. Mesin ini dapat dioperasikan oleh para difabel juga.Â