Terkait konser, barangkali KPU menghadapi kendala regulasi teknis birokrasi. Konser ini mengacu pada PKPU No.10/2020 yang menginduk dengan UU No.6/2020 tentang Pilkada. Dalam undang-undang ini memang konser diperbolehkan, karena dirancang sebelum adanya pandemi. Jika mengubah aturan ini jelas mesti melibatkan proses legislasi, karena UU kedudukannya di atas PKPU.
Sedangkan di era korona, semua sepakat dengan kebijakan yang dirumuskan Satgas Penanganan Covid-19 demi melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan. Ditambah lagi menurut pantauan KPU per 12 September ini, terdapat 63 dari 1.470 paslon yang diketahui terjangkit korona.
Perihal konser, mayoritas tampaknya satu suara mengusulkan untuk ditiadakan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, menegaskan tidak perlu ada konser karena berbahaya memancing kerumunan massa. “Nggak usah pakai konser-konser segala. Lebih baik memanfaatkan medsos. Kalau tetap ingin konser musik bisa dihelat secara virtual,” ujarnya (Media Indonesia, 18/9/2020).
Juru bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito pun senada untuk meminta agar konser musik tidak perlu diadakan. Pasalnya, zona merah korona masih cukup tinggi, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hal demikian sejalan dengan imbauan Mendagri Tito Karnavian, yang meminta paslon kepala daerah memprioritaskan kampanye virtual ketimbang kampanye akbar yang melakukan penggalangan massa. Dalam rapat umum pun sudah ada aturan yang membatasi maksimal 50 orang saja.
Mendagri Tito juga mendorong tim Gakkumdu menertibkan pelanggaran dalam Pilkada, termasuk yang menyentuh protokol keshatan. Apabila terjadi kesalahan berulang kali bukan tidak mungkin paslon akan didiskualifikasi dari pencalonan.
Maka, dibutuhkan terobosan dari KPU untuk menyikapi hal tersebut. Sebab jika PKPU No.10 masih berlaku, lembaga seperti Bawaslu tidak dapat melarang, dan hanya berfokus pada pengawasan protokol kesehatan yang akan mulai dikerjakan pasca diumumkannya paslon kepala daerah.
Karena itu, KPU bisa berkoordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk membuat aturan baru yang meniadakan konser musik, dan tentu tidak melanggar hukum. Sebab sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi, di tengah pandemi dibutuhkan tindakan yang ekstra ordinary atau di luar kebiasaan normal.
Selain itu, ruang bagi kampanye di medsos juga perlu diperluas dengan syarat tertentu. Medsos bisa menjadi media kampanye yang menyediakan kemudahan akses bagi calon pemilih. Paslon pun juga dapat langsung berinteraksi dengan publik secara setara ketimbang kampanye secara konvensional, seperti konser, kampanye akbar, atau door to door mendatangi rumah warga. Medsos pun berbiaya murah, bahkan bebas biaya, mulai dari Facebook, Youtube, Twitter, Instagram atau blog.
Terakhir, publik menanti gebrakan KPU yang mampu memberikan solusi alternatif demi kebaikan bersama. Jika dilihat dari bobot kasusnya, apalagi hanya soal konser musik sepertinya tidak begitu sulit untuk mendudukan persoalan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H