Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Jadi Pemilih Cerdas Pilkada di Tengah Pandemi

12 Agustus 2020   10:57 Diperbarui: 12 Agustus 2020   12:46 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pentingnya pendidikan politik terutama saat bukan di tahun-tahun politik sangat beralasan. 

Hal ini dikarenakan mayoritas pemilih di Indonesia cenderung membutuhkan kampanye yang demikian masif untuk benar-benar mengenali kandidat calon pejabat publik. 

Di sisi lain, bangsa Indonesia membutuhkan pemilih-pemilih cerdas karena hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap maju atau tidaknya wilayah bahkan bangsa ini. 

Penyelenggara pemilu/pilkada sampai rela mengadakan seminar pemilih cerdas untuk rakyat ditahun-tahun politik hanya untuk menjadikan masyarakat sebagai pemilih yang cerdas. Logika sederhananya berarti ada indikasi pemilih di Indonesia kebanyakan masih tergolong tidak cerdas. Lalu, apa sebetulnya kriteria pemilih cerdas itu?

Sebelum itu, penulis ingin menyampaikan bahwa bukan hanya sekadar asumsi ketika mengatakan mayoritas pemilih di Indonesia masih perlu masifnya kampanye dan seminar pencerdasan pemilih sebelum betul-betul mengenali kandidat politik yang didukungnya. 

Hal ini sejalan dengan apa yang penulis temukan yang terjadi dibalik kesuksesan pilkada serentak 2018 yang memuat kegagalan ironis. Hal tersebut terjadi karena "suara signifikan yang masih didapatkan sembilan calon pemimpin daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Bahkan, dua di antara mereka bisa memenangi pesta demokrasi itu" (Sumber: Media Indonesia, 2018). Ada 2 hal menarik yang mungkin dapat diambil dari peristiwa tersebut. 

Pertama adalah pandainya kandidat calon politikus sehingga mampu menghipnotis dan meyakinkan masyarakat agar memilih mereka. Kedua adalah mungkin benar mayoritas pemilih atau masyarakat kita cenderung masih belum cerdas khususnya dalam kontestasi politik.

Mengingat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 yang perhelatannya akan terlaksana tidak lama lagi dan bisa jadi terlaksana masih ditengah masa pandemi Covid-19, tentu pilkada serentak tahun ini akan melahirkan tantangan baru. 

Karena jika benar pilkada 2020 akan dilaksanakan ditengah pandemi, ini berarti dalam pelaksanaan kita harus siapkan berbagai solusi persoalan baru ditengah berbagai keterbatasan. 

Belum lagi salah satu persoalan pilkada lain yang menyangkut kembali pada pertanyaan "seperti apa sebetulnya kriteria pemilih cerdas itu?".

Penulis akan mencoba memberikan solusi, melalui 3 Cara Efektif Menjadi Pemilih Cerdas ditengah Pandemi. Tiga hal tersebut terletak pada Media penyelenggara, Media massa, dan Media suara (pemilih itu sendiri).


1.Media Massa

Media massa jelas memberikan dampak yang sangat besar khususnya dalam dunia politik di zaman revolusi industri yang memasuki fase 5.0. 

Media massa dapat menggiring opini publik akan suatu hal, pun baik/buruknya figur seorang politisi. Dalam media massa, media sosial juga menjadi sangat relevan dan pembentukan framing seorang pejabat publik. 

Media sosial juga terkadang tak sedikit menyuguhkan berita bohong dan ujaran kebencian. Maka dari itu pemilih yang cerdas akan sangat selektif dan berhati-hati ketika mengkonsumsi informasi dari media massa ataupun media sosial. 

Pemilih cerdas tak akan mudah menelan bulat-but informasi yang diterimanya dan cenderung lebih berhati-hati menggunakan jempol tangannya.

2. Media Penyelenggara

Seperti halnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) , atau lembaga turunan lain yang relevan dalam konteks penyelenggaraan pemilu. 

Penyelenggara pemilu yang baik tidak akan bergerak momentuman saja, tetapi setiap saat memastikan bahwa suksesi pilkada itu harus dipersiapkan jauh-jauh hari. 

Upaya sosialisasi dari penyelenggara pemilu, bukan hanya untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat tetapi juga harus meningkatkan "kualitas pilih" dari masyatakat itu sendiri. 

Pemilih yang cerdas tentu akan sangat paham bahwa dirinya bukanlah "swing voter" atau suara mengambang yang dapat dengan mudah digiring opininya akan sebuah pilihan yang dia lakukan.

3. Media Suara

Maksud media suara disini adalah pemilih itu sendiri pun dari kandidat calon pejabat publik. Terkadang politik hitam (black campaign) itu ada di beberapa wilayah, semisal menjelek-jelekan citra lawan ataupun menggunakan uang politik (money politics) dalam upayanya menyogok pemilih agar memilih kandidat yang bersangkutan. 

Pemilih yang cerdas takan mudah tergiring opininya ketika memilih. Dalam konteks kandidat yang tersedia buruk semua di mata pemilih cerdas, dia akan cenderung menimbang kandidat mana yang keburukannya lebih sedikit. 

Terkait money politics, dia takan mengambil uang sogokan tersebut karena bagi pemilih cerdas, politik uang dan sembako bukan saja dilarang oleh UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, juga karena mereka menyadari bahwa harga diri dan masa depan bangsa serta masyarakatnya tidak ingin digadaikan hanya dengan sejumlah uang dan sembako. Namun mengakibatkan kerugian dan penderitaan jangka panjang di kemudian hari.

Terkadang "Politik" menjadi sebuah adagium sederhana yang berdampak besar bagi sebagian besar rakyat Indonesia. 

Dimulai dari pemahaman politik bagi masyarakat Indonesia yang cenderung negatif hingga pandangan politik yang syarat akan uang rakyat dan kemudahan kotor untuk memonopolinya. 

Pandangan umum tersebut tidak sepenuhnya salah, namun tak sepenuhnya benar pula. Cara mengetahui paling mudah mengapa pandangan buruk tentang politik selalu hadir dalam aras pikir masyarakat adalah karena gaya hidup dan perilaku politisi itu sendiri. 

Karena calon Dewan Perwakilan Daerah kabupaten/kota sampai calon Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dari bupati/walikota sampai Presiden dan Wakil Presiden, terkesan sangat latah dan kikuk menjelang tahun politik, karena mendadak berperingai ramah dan baik, tetapi mereka menjadi sangat sulit ditemui rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi ketika mereka sudah menjabat. 

Sudah, saat ini jangan lagi berbicara mengenai kualitas calon pejabat publik dengan berbagai gelar dan janji visi misi mereka, karena kita sudah paham betul apa yang akan terjadi nantinya. Mari kita bahas kualitas rakyat sebagai pemilih di negara ini yang akhirnya mau tidak mau menghasilkan pejabat publik bagi mereka sendiri juga.

Berdasarkan apa yang penulis lihat dan rasakan sendiri, pemilih di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori. 

Yang pertama, mereka yang memilih atas dasar kedekatan emosional dan politik dengan calon, biasanya merupakan anggota partai politik ataupun relawan dari sahabat-sahabat calon. 

Kedua pemilih yang tergiring isu politik yang merebak dilingkungan mereka baik di rumah, masyarakat, sekolah/kampus, dan media sosial/televisi, pemilih seperti ini lahir akibat dari "peperangan" calon secara psikologis yang akhirnya melahirkan cebong dan kampret. 

Dan terakhir adalah apa yang dinamakan swing voter, atau pemilih yang tidak mau terlalu pusing memikirkan calon yang tidak mereka kenal, pemilih seperti ini akan berdampak positif pada calon yang sudah populer atau biasanya dari kalangan public figure atau artis yang terjun ke politik karena wajah mereka sudah tak asing bagi rakyat.

Sebagai pemilih cerdas jika kita berada dalam kategori yang pertama yaitu yang memiliki kedekatan emosional dengan calon, maka kita harus mengetahui posisi kita, karena sebagai aparat (TNI/Polri), anggota pers/media, ASN seperti pegawai kelurahan/kecamatan, Mahasiswa, dan berbagai profesi lain yang menyangkut intansi netral, maka kita pun harus bersikap netral secara intansi artinya dengan membebaskan pilihan pribadi masing-masing tetapi tidak membawa instansi. 

Selanjutnya jika kita berada dalam kategori yang kedua yang hasil pilihan kita terbentuk dari isu yang merebak, jangan membuat kecebongan/kekampretan kita merasa yang paling Nasionalis ataupun merasa yang paling Agamis dan malah berakhir dengan menimbulkan perpecahan umat dan bangsa, bersikaplah dewasa baik sebagai cebong/kampret. 

Terakhir semoga kita bukan yang termasuk kedalam golongan swing voter yang tidak peduli siapa yang akan dipilihnya, dan memilih hanya atas dasar pertimbangan terkenal/tidak. Karena artis sekalipun yang terkenal bisa jadi ada yang memang memiliki niatan ikhlas masuk ke politik dan ada juga yang menjadi alat partai politik untuk mendulang suara.

Sebagai akademisi, melihat fenomena pemilih di Indonesia yang menerapkan demokrasi one man one vote, penulis sangat terdorong untuk menegaskan bahwa "penerapan sistem politik yang baik adalah yang mengedepankan kualitas dari pemilih yang cerdas dan mengedepankan integritas calon yang akan dipilih". 

Artinya, dua hal ini harus diperhatikan dengan serius dan berkesinambungan, karena jika kualitas calon yang akan dipilih baik tetapi pemilihnya tidak cerdas maka hasilnya akan buruk, begitu pula sebaliknya.

Para pemilih cerdas juga harus memilih pemimpin daerah yang kredibel, berkualitas dan bisa menangani Covid-19 serta dampak sosial ekonominya.

Di tengah situasi pandemi, jelas sudah bahwa berbagai keterbatasan akan hadir dalam situasi pilkada serentak. 

Selain mempersiapkan pemilih yang cerdas, mematuhi protokol kesehatan adalah yang paling utama. Karena akan sia-sia ketika pemilih yang cerdas akhirnya harus tidak memilih akibat penyakit menular yang sedang mewabah di Indonesia hari ini. 

Semoga tulisan ini membawa manfaat yang besar khususnya dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih di Indonesia, lebih jauh lagi pemilih yang memiliki integritas alias cerdas dan tetap menjaga kesehatan ditengah pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun