3.Pemikiran Max Weber dan HLA Hart dalam Masa SekarangÂ
Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart menawarkan pandangan yang mendalam tentang hukum, meskipun dengan fokus yang berbeda. Max Weber melihat hukum dari perspektif sosiologis, menekankan pada konsep rasionalitas dan legitimasi otoritas hukum. Dalam pandangan Weber, hukum modern muncul dari kebutuhan untuk mengorganisir masyarakat secara rasional dan efisien. Ia membedakan antara tiga jenis otoritas: otoritas tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Dalam sistem hukum rasional-legal, hukum tidak lagi bergantung pada individu atau tradisi, tetapi pada seperangkat aturan yang diterima secara umum dan ditegakkan melalui lembaga-lembaga formal. Bagi Weber, birokrasi adalah instrumen utama dalam memastikan kepatuhan terhadap hukum rasional-legal, di mana hukum diperlakukan sebagai instrumen yang bersifat netral dan impersonal, berfokus pada prosedur daripada nilai-nilai moral.
Di masa sekarang, pemikiran Weber masih relevan, terutama dalam konteks negara-negara modern yang sangat bergantung pada sistem hukum rasional-legal untuk mengelola hubungan sosial dan ekonomi. Dalam era digitalisasi dan globalisasi, birokrasi dan aturan hukum menjadi semakin kompleks. Sistem hukum harus beradaptasi dengan teknologi dan perubahan sosial yang cepat, tetapi tetap mempertahankan rasionalitas dan objektivitasnya. Namun, Weber juga mengingatkan tentang potensi "penyihiran" atau dehumanisasi dalam sistem hukum dan birokrasi modern, di mana hukum menjadi terlalu teknis dan jauh dari kebutuhan manusiawi. Ini menjadi tantangan penting dalam hukum kontemporer, di mana sistem hukum harus tetap responsif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa kehilangan sifat rasionalnya.
Sementara itu, H.L.A. Hart memperkenalkan pendekatan yang lebih analitis dalam memandang hukum. Ia menekankan pentingnya peraturan sebagai elemen inti dari sistem hukum dan menolak gagasan bahwa hukum hanya merupakan perintah dari penguasa yang didukung oleh ancaman sanksi, seperti yang diajukan John Austin. Hart membedakan antara peraturan primer, yang mengatur perilaku manusia, dan peraturan sekunder, yang mengatur cara peraturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan. Di era modern, pemikiran Hart sangat relevan dalam konteks negara-negara demokratis dan pluralis, di mana hukum dilihat sebagai sistem yang berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika sosial. Sistem hukum tidak lagi statis, tetapi terus berkembang untuk menyesuaikan dengan perubahan dalam norma-norma sosial, politik, dan ekonomi. Hart juga menekankan bahwa legitimasi hukum terletak pada penerimaan masyarakat terhadap hukum, bukan semata-mata pada kekuasaan yang memaksakannya. Di masa sekarang, ini tercermin dalam konsep-konsep seperti supremasi hukum dan partisipasi publik dalam proses legislasi.
4.Pemikiran Max Weber dan HLA Hart untuk Menganalisis Perkembangan Hukum Di IndonesiaÂ
Perkembangan hukum di Indonesia dapat dianalisis dengan menggunakan pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart untuk memahami kompleksitas serta dinamika hukum yang terjadi sejak kemerdekaan hingga masa kini. Max Weber memandang hukum melalui kacamata sosiologis, di mana hukum adalah produk dari struktur sosial yang ada dan bertujuan untuk mengatur perilaku dalam masyarakat secara rasional. Dalam konteks Indonesia, hukum mengalami transisi dari sistem tradisional dan kolonial menuju sistem hukum modern yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas dan otoritas hukum yang legal. Weber mengidentifikasi bahwa hukum yang modern, seperti yang dianut Indonesia, bersifat rasional-legal, di mana hukum berlaku secara formal dan dipatuhi karena keabsahan otoritas yang menciptakannya, bukan karena tradisi atau kharisma pemimpin.
Di Indonesia, ini tercermin dalam kodifikasi hukum seperti Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan undang-undang sektoral yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Namun, tantangan yang dihadapi oleh hukum di Indonesia adalah adanya dualisme antara hukum formal (positif) dan hukum adat (tradisional), yang masih berlaku di berbagai komunitas. Weber menekankan bahwa hukum yang rasional harus mampu mengakomodasi perubahan sosial, tetapi di Indonesia, penerapan hukum formal seringkali berhadapan dengan nilai-nilai tradisional yang masih kuat di berbagai daerah. Contohnya adalah dalam kasus-kasus agraria, di mana hak ulayat dan kepemilikan tanah adat masih diakui, namun sering berbenturan dengan sistem hukum formal. Pendekatan rasional Weber dapat memberikan kerangka untuk memahami pentingnya harmonisasi antara hukum formal dan hukum adat, agar sistem hukum di Indonesia lebih efektif dalam mencerminkan realitas sosial.
Sementara itu, H.L.A. Hart menawarkan perspektif yang lebih analitis dalam melihat perkembangan hukum di Indonesia. Hart menekankan pentingnya peraturan primer dan sekunder dalam sistem hukum. Dalam konteks Indonesia, peraturan primer meliputi hukum substantif yang mengatur hak dan kewajiban warga negara, seperti KUHP, undang-undang ketenagakerjaan, dan undang-undang hak asasi manusia. Namun, peraturan sekunder yang mengatur mekanisme bagaimana hukum dibuat, diubah, dan ditegakkan menjadi krusial untuk menjaga keadilan dan keteraturan dalam proses hukum. Di Indonesia, peraturan sekunder ini dapat dilihat pada peran Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan lembaga-lembaga legislatif yang menentukan validitas dan keberlanjutan peraturan-peraturan yang ada.
Namun, tantangan yang diidentifikasi oleh Hart dalam hukum modern adalah bagaimana hukum dapat menjaga konsistensi dan legitimasi dalam konteks yang terus berubah. Indonesia, sebagai negara demokratis yang terus berkembang, menghadapi tantangan dalam memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat kekuasaan atau alat kontrol politik, tetapi juga mencerminkan keadilan substantif yang diakui oleh masyarakat. Hart menekankan bahwa legitimasi hukum tidak hanya bergantung pada ancaman sanksi atau kekuatan penguasa, tetapi pada penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum itu sendiri. Di Indonesia, ini tercermin dalam pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan undang-undang dan peran media dalam mengawasi pelaksanaan hukum. Misalnya, ketika undang-undang atau kebijakan kontroversial seperti UU Cipta Kerja atau revisi KUHP mendapat penolakan dari masyarakat, ini menunjukkan bahwa hukum hanya akan efektif jika diterima oleh mereka yang diaturnya.
Lebih lanjut, perkembangan hukum di Indonesia juga bisa dianalisis melalui teori Hart tentang hukum sebagai sistem peraturan. Indonesia, sebagai negara hukum yang diatur oleh konstitusi, telah menciptakan seperangkat peraturan primer dan sekunder yang saling mendukung. Namun, masih ada kelemahan dalam penegakan hukum, khususnya terkait kepastian hukum, integritas institusi penegak hukum, dan korupsi yang merusak legitimasi hukum itu sendiri. Hart akan melihat ini sebagai kegagalan dalam mekanisme peraturan sekunder yang seharusnya memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan konsisten. Oleh karena itu, salah satu tantangan terbesar hukum di Indonesia adalah memperkuat institusi penegak hukum agar lebih transparan dan akuntabel, serta memastikan bahwa hukum tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi juga diterapkan secara efektif di lapangan.
Pemikiran Weber dan Hart, ketika diterapkan pada konteks hukum Indonesia, menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah membangun sistem hukum yang modern dan rasional, masih ada tantangan besar dalam mengintegrasikan nilai-nilai tradisional, memastikan keadilan substantif, serta meningkatkan legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Keduanya menggarisbawahi bahwa hukum harus terus berkembang dan beradaptasi dengan realitas sosial untuk tetap relevan dan efektif dalam mengatur masyarakat yang dinamis seperti Indonesia.