Kondisi kelembagaan ini dapat menghambat investor yang bersih untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena regulasi yang lemah dan kepastian hukum yang rendah. Dengan demikian, selama aspek institusional belum terselesaikan dan tidak diatur dengan jelas, selengkap apapun omnibus law tidak akan memberikan efek maksimal pada investasi.
Jika tidak ada pasal di RUU Cipta Kerja yang mencakup masalah ini, akankah Omnibus Law dapat menarik investasi yang dikejar pemerintah?
Sektor Ketenagakerjaan yang Harus Dipikirkan Lebih Dalam
Pada dasarnya, aspek ketenagakerjaan tidak luput sebagai faktor penilaian para investor. Kualitas tenaga kerja Indonesia nampaknya masih belum memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan oleh industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jenjang sekolah menengah atas (SMA) menyumbang jumlah pengangguran tertinggi setiap tahunnya.
Pendidikan vokasional di ranah sekolah menengah kejuruan (SMK) pun juga demikian. Angka pengangguran lulusan SMK berkontribusi rata-rata 17% sejak 2010 terhadap keseluruhan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya gap permintaan dan penawaran tenaga kerja akibat ketidakcocokan antara kompetensi yang diberikan oleh sekolah dengan permintaan sektor industri.
Faktanya, satu dari dua pekerja di Indonesia termasuk dalam under skilled labor (Allen 2016). Kondisi tenaga kerja yang under skilled ini menyebabkan produktivitas Indonesia tidak mencapai angka yang memuaskan. Di samping itu, pertumbuhan upah rata-rata Indonesia meningkat cukup tinggi, tetapi tidak sebanding dengan pertumbuhan produktivitas yang cenderung stagnan di periode 2000-2014 (Aswicahyono dan Rafitrandi, 2018).
RUU Cipta Kerja telah menjadi sorotan media karena banyaknya kontroversi dalam aspek ketenagakerjaan. Pada Pasal 88 RUU Cipta Kerja, perubahan dalam aspek-aspek ketenagakerjaan dilakukan dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja.
Akan tetapi, substansi dari perubahan tersebut justru mengesampingkan hak para pekerja dan tidak menyumbang peningkatan daya saing dan kompetensi terhadap pekerja.
Di dalam analisis ini, perubahan aspek ketenagakerjaan akan fokus terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu masalah dari aspek ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja adalah penghapusan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam hal ini, Pasal 89 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, ketentuan upah minimum juga dipermasalahkan oleh pekerja. Dalam Pasal 89 RUU Cipta Kerja, terdapat perubahan pada Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, serta adanya 7 pasal baru yang disisipkan. Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 88C yang menyatakan bahwa upah minimum akan ditetapkan oleh gubernur dan merupakan upah minimum provinsi (UMP).
Hal ini menjadi masalah bagi kalangan pekerja karena upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMS) akan dihilangkan. Padahal, UMK dan UMS diadakan agar ada upah minimum yang lebih tinggi dari UMP. Dengan dihilangkannya kedua upah minimum tersebut, kesejahteraan masyarakat yang seharusnya dilindungi justru tidak dipertahankan.
Selain itu, terdapat permasalahan dalam pemberian upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam pemberian upah, Pasal 88 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 93 UU Ketenagakerjaan. Persoalan yang terjadi adalah ambiguitas dari perubahan tersebut.