Waktu bergerak dengan cepat dan bagai angin yang menggoreskan titahnya di kulit manusia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta segenap Kabinet Kerja akan mencapai klimaksnya pada Oktober 2019.Â
 Lima tahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2014, Indonesia menggelar pesta demokrasi akbar dalam memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang pantas dan memiliki kapabilitas untuk mengayomi Indonesia hingga tahun 2019. Saat itu, "perang" antara pasangan Jokowi-JK dengan pasangan Prabowo-Hatta dimenangkan oleh Jokowi-JK.Â
Pencalonan Joko Widodo saat itu menimbulkan pro dan kontra karena posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru memerintah selama dua tahun. Apalagi, ia dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diusung oleh partai Gerindra yang dikomandoi oleh Prabowo Subianto.Â
Tahun 2014 menjadi panggung pertandingan antara dua teman lama yang menjadi musuh kursi eksekutif. Lima tahun berselang, keduanya kembali berperang demi dua kursi eksekutif hingga tahun 2024. Persaingan antarkedua pasangan disertai isu-isu panas yang diharapkan masing-masing calon mampu memengaruhi elektabilitas pasangan capres dan cawapres.Â
Pada Agustus 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil kegiatan survei mengenai "Pemetaan Kondisi Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Pertahanan-Keamanan Menjelang Pemilu Serentak 2019: Dalam Rangka Penguatan Demokrasi" yang dilaksanakan dalam kurun April-Juli 2018.Â
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 145 ahli bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan di sebelas provinsi, salah satu yang diperoleh adalah faktor penghambat pada pemilu 2019. Ditilik dari iklim politik Indonesia menjelang pemilu 2019, sebanyak 23,6 persen responden menilai politik identitas atau isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dianggap masih dominan dalam menghambat proses pemilu 2019.Â
Selanjutnya, konflik horizontal antarpendukung paslon (12,3 persen), gangguan keamanan (10,4 persen), penyelenggaraan pemilu yang belum sempurna (6,6 persen), dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu (5,7 persen) turut dianggap menghambat jalannya pemilu 2019 (LIPI, 2018).
Isu SARA yang sering terjadi beberapa tahun terakhir memengaruhi kondisi toleransi di Indonesia. Berdasarkan survei yang sama, LIPI memperoleh data bahwa 62,8 persen responden menilai buruk toleransi di Indonesia. Intoleransi tersebut muncul karena adanya penyelewengan seseorang atau sebuah kelompok terhadap pihak lain.Â
Menurut responden, kasus-kasus penyelewengan terhadap seseorang atau sebuah kelompok yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh: tersebarnya berita hoax (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial ekonomi (75,2 persen), perasaan terancam oleh orang/kelompok lain (71,1 persen), religiusitas (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok suku/agama/ras (67,6 persen) (LIPI, 2018).Â
Seperti yang kita tahu, Indonesia memiliki semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya 'walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu'. Namun, saat ini, banyaknya kasus intoleransi memicu semakin utopisnya semboyan khas Indonesia tersebut.Â
Presiden Soekarno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi, perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri". Mungkin itulah yang terjadi di Indonesia saat ini di berbagai sektor kehidupan. Masyarakat juga mungkin sudah mulai jenuh melihat hal-hal yang memperkeruh persatuan dan kesatuan Indonesia.
Jelang penyelenggaraan pemilu 2019, kedua pasangan capres-cawapres telah merilis visi misi yang diusung apabila menjadi orang nomor satu dan nomor dua di Indonesia selama lima tahun ke depan. Pada sektor ekonomi, pasangan Jokowi-Ma'ruf memiliki misi untuk meningkatkan kualitas SDM, menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing serta pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan.
 Di sisi lain, pasangan Prabowo-Sandi ingin membangun perekonomian yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi. Kedua paslon memang menelurkan rancangan kebijakan yang populis. Namun, pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang ditelurkan akan lebih sulit diterapkan.Â
Beberapa janji yang ingin diterapkan Joko Widodo sebagai presiden, seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai delapan persen dan Indonesia berswasembada pangan, tidak dapat berjalan. Belum terlaksananya program Presiden Joko Widodo sebenarnya mampu dimanfaatkan oleh paslon Prabowo-Sandi untuk memperoleh suara.Â
Namun, semenjak masa kampanye dibuka pada 23 September 2018, dalam sebuah diskusi publik di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta pada 18 November 2018, Peneliti Hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai kampanye yang dilaksanakan oleh kedua paslon hanya berisikan sensasi tanpa membawakan hal-hal substansial dalam mengonkritkan visi misi.Â
Kondisi demikian juga terjadi saat debat pilpres pertama pada 17 Januari 2019. Dikutip dari Katadata, menurut Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi gagal menjelaskan langkah-langkah dalam mengonkritkan program kerja. Kebijakan-kebijakan populis memang mampu mendorong minat masyarakat agar memilih salah satu paslon.Â
Namun, konstelasi politik Indonesia yang saat ini dipenuhi berbagai isu dan sensasi menimbulkan kejenuhan bagi kalangan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pasangan capres-cawapres 'fiktif' nomor urut sepuluh, Nurhadi-Aldo, dianggap mampu menjadi 'pencair suasana' dalam membangun semangat pesta demokrasi 2019.
Nurhadi-Aldo atau Dildo merupakan paslon capres-cawapres 'fiktif' yang diciptakan melalui internet. Melalui sebutan 'Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik', paslon dengan nomor urut sepuluh ini mampu dikenal masyarakat luas. Tagline #SmackQueenYaQueen juga mendorong popularitas paslon capres-cawapres 'fiktif' ini.Â
Penyebaran konten melalui internet tentunya terbilang efektif dalam menyasar kalangan calon pemilih pada tahun 2019. Pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 142,26 juta jiwa dengan komposisi masyarakat dalam kelompok usia 19-34 tahun sebesar 49,52 persen, kelompok berusia 35-54 tahun sebesar 29,55 persen, kelompok berusia 13-18 tahun sebesar 16,68 persen, dan pengguna berusia di atas 54 tahun sebesar 4,24% (APJII, 2018). Â
Hasilnya, akun simpatisan paslon 'fiktif' Nurhadi-Aldo pada platform twitter memiliki seratus enam ribu pengikut dan pada platform Instagram mencapai angka 468 ribu pengikut. Uniknya, jumlah pengikut pada platform Instagram milik Nurhadi-Aldo lebih banyak ketimbang kedua paslon sebenarnya, yaitu akun resmi tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf sebanyak 306 ribu pengikut dan akun resmi tim pemenangan Prabowo-Sandi sebanyak 283 ribu pengikut.
Penyebaran meme menggunakan internet tentunya semakin memudahkan pembentukan pola pikir banyak orang terhadap suatu ide. Nurhadi-Aldo mampu memberikan guyonan melalui meme sebagai upaya pengkritikan terhadap situasi politik Indonesia, terlepas dari beberapa konten yang kurang sesuai dengan nilai budaya Indonesia.
Antusiasme terhadap munculnya Nurhadi-Aldo dianggap sebagai titik jenuh masyarakat terhadap situasi politik Indonesia saat ini. Terlepas dari konten yang sering mengarah pada hal yang kurang pantas, Nurhadi-Aldo berhasil mengalihkan isu politik.Â
Kejenuhan masyarakat terhadap kondisi politik saat ini dapat disandingkan dengan the law of diminishing marginal utility yang dikemukakan oleh Alfred Marshall. Teori tersebut menjelaskan semakin banyak kita mengonsumsi suatu jenis komoditas, semakin kecil tambahan utilitas yang akan diperoleh, selama variabel di luar model dianggap konstan; meskipun, total utilitas meningkat (Marshall, 1891).Â
Konsumen akan terus menambah konsumsinya hingga tambahan utilitas yang diperoleh akan sama dengan nol atau mencapai tingkat utilitas yang maksimum. Dalam hal ini, beberapa kalangan masyarakat telah mencapai tingkat utilitas yang maksimum atas drama perpolitikan di Indonesia. Artinya, masyarakat sudah jenuh dengan kondisi politik di Indonesia, terutama dalam menyongsong pemilu 2019.
 Melalui kreativitas dan kepekaan kalangan tertentu, paslon 'fiktif' nomor urut sepuluh, Nurhadi-Aldo, dapat diperkenalkan dan diterima berbagai kalangan yang merasa jenuh dengan politik. Kemunculan Nurhadi-Aldo berusaha mengkritik para elite politik dan memberi harapan baru dalam memperbaiki nuansa politik yang telanjur kaku serta saling serang.Â
Namun, kita tidak dapat memungkiri di balik keberadaan Nurhadi-Aldo sebagai paslon 'fiktif', kita tidak dapat memilihnya sebagai paslon dalam pemilu 2019. Keberadaan Nurhadi-Aldo sebagai paslon 'fiktif' dianggap mampu meningkatkan tingkat keapatisan warna negara dalam menentukan pilihan pada 17 April 2019.Â
Sebagai warga negara yang baik, kita harus memilih antara paslon nomor urut satu atau nomor urut dua. Mengenai Nurhadi-Aldo, kita hanya mampu menikmatinya sebagai guyonan dan kritik terhadap elite politik yang dapat mewarnai proses terselenggarakannya pemilu 2019. Jadi, jangan golput, ya!
(Oleh: Jonathan Farez S./KASTRATBEMFEBUGM)
References :
- APJII. (2018). Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017.  (Accessed: 19 January 2019).
- Bayu, D. (2019) 'Minim Substansi, Debat Perdana Dinilai Tak Sumbang Elektabilitas', Katadata, 18 January. Â (Accessed at: 19 January 2019).
- BBC News Indonesia. (2019) 'Nurhadi-Aldo: satir politik dan skeptisme 'yang memuncak' jelang pilpres 2019' BBC News Indonesia, 8 January. Â (Accessed at: 17 January 2019).
- Farisa, F. (2018) 'Capres-Cawapres Dinilai Lebih Banyak Munculkan Sensasi Ketimbang Substansi', Kompas, 12 December. (Accessed at: 19 January 2019).
- Hadian, A. (2018) 'Mengadu Kebijakan Populis dari Program Ekonomi Jokowi dan Prabowo', Katadata, 2 October. Â (Accessed at: 19 January 2019).
- Johnson, D. (2007). Mapping the Meme: A Geographical Approach to Materialist Rhetorical Critism. Communication & Critical/Cultural Studies, 4(1), pp. 27-50
- Marshall, A. (1891). Principles of economics. London: MacMillan.
- P2P LIPI. (2018) Pusat Penelitian Politik LIPI Sosialisasikan Hasil Survei untuk Penguatan Demokrasi [Press Release]. 7 August.  (Accessed: 19 January 2019).
- Shifman, L. (2013). Memes in Digital World: Reconciling with a Conceptual Troublemaker. Journal of Computer-Mediated Communication, 18(3), pp. 362-377
- Tamtomo, A. (2018) 'INFOGRAFIK: Melihat Visi Misi Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga', Kompas, 24 September. Â (Accessed: 20 January 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H