Di sisi lain, pasangan Prabowo-Sandi ingin membangun perekonomian yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi. Kedua paslon memang menelurkan rancangan kebijakan yang populis. Namun, pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang ditelurkan akan lebih sulit diterapkan.Â
Beberapa janji yang ingin diterapkan Joko Widodo sebagai presiden, seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai delapan persen dan Indonesia berswasembada pangan, tidak dapat berjalan. Belum terlaksananya program Presiden Joko Widodo sebenarnya mampu dimanfaatkan oleh paslon Prabowo-Sandi untuk memperoleh suara.Â
Namun, semenjak masa kampanye dibuka pada 23 September 2018, dalam sebuah diskusi publik di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta pada 18 November 2018, Peneliti Hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai kampanye yang dilaksanakan oleh kedua paslon hanya berisikan sensasi tanpa membawakan hal-hal substansial dalam mengonkritkan visi misi.Â
Kondisi demikian juga terjadi saat debat pilpres pertama pada 17 Januari 2019. Dikutip dari Katadata, menurut Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi gagal menjelaskan langkah-langkah dalam mengonkritkan program kerja. Kebijakan-kebijakan populis memang mampu mendorong minat masyarakat agar memilih salah satu paslon.Â
Namun, konstelasi politik Indonesia yang saat ini dipenuhi berbagai isu dan sensasi menimbulkan kejenuhan bagi kalangan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pasangan capres-cawapres 'fiktif' nomor urut sepuluh, Nurhadi-Aldo, dianggap mampu menjadi 'pencair suasana' dalam membangun semangat pesta demokrasi 2019.
Nurhadi-Aldo atau Dildo merupakan paslon capres-cawapres 'fiktif' yang diciptakan melalui internet. Melalui sebutan 'Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik', paslon dengan nomor urut sepuluh ini mampu dikenal masyarakat luas. Tagline #SmackQueenYaQueen juga mendorong popularitas paslon capres-cawapres 'fiktif' ini.Â
Penyebaran konten melalui internet tentunya terbilang efektif dalam menyasar kalangan calon pemilih pada tahun 2019. Pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 142,26 juta jiwa dengan komposisi masyarakat dalam kelompok usia 19-34 tahun sebesar 49,52 persen, kelompok berusia 35-54 tahun sebesar 29,55 persen, kelompok berusia 13-18 tahun sebesar 16,68 persen, dan pengguna berusia di atas 54 tahun sebesar 4,24% (APJII, 2018). Â
Hasilnya, akun simpatisan paslon 'fiktif' Nurhadi-Aldo pada platform twitter memiliki seratus enam ribu pengikut dan pada platform Instagram mencapai angka 468 ribu pengikut. Uniknya, jumlah pengikut pada platform Instagram milik Nurhadi-Aldo lebih banyak ketimbang kedua paslon sebenarnya, yaitu akun resmi tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf sebanyak 306 ribu pengikut dan akun resmi tim pemenangan Prabowo-Sandi sebanyak 283 ribu pengikut.
Penyebaran meme menggunakan internet tentunya semakin memudahkan pembentukan pola pikir banyak orang terhadap suatu ide. Nurhadi-Aldo mampu memberikan guyonan melalui meme sebagai upaya pengkritikan terhadap situasi politik Indonesia, terlepas dari beberapa konten yang kurang sesuai dengan nilai budaya Indonesia.