Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI 2021
Kastrat BEM UI 2021 Mohon Tunggu... Mahasiswa - BEM UI 2021

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI 2021 terhadap sebuah isu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

22 Desember 2021   23:00 Diperbarui: 22 Desember 2021   23:10 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ditulis oleh

Putu Ferlyne Grace

A. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT

Pada dasarnya hubungan antar manusia di dalam berkehidupan setiap hari memberikan dampak positif karena manusia adalah makhluk sosial yang saling ketergantungan satu sama lain dalam hal pemenuhan kebutuhan. Akan tetapi di lain sisi relasi itu terkadang menimbulkan konflik antar kepentingan individu yang bermuara pada tindak kejahatan atau kekerasan dari satu pihak ke pihak yang lain. 

Dari pemikitran tersebut, maka diperlukan terciptanya relasi yang harmonis antar satu sama lain, sehingga masing-masing pihak akan menghormati hak pihak lain dan melaksanakan kewajibannya. Hal ini penting diterapkan karena hak hidupnya masyarakat dan kepentingan individualnya harus diselaraskan dengan kepentingan bersama. 

Sebagai negara hukum (rechstaat) dan berakar pada konsepso rule of law, Indonesia menempatkan HAM sebagai salah sat hal penting yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Dalam negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan terhadap penegakan HAM menjadi salasatu ukuran baik atau buruknya suatu pemerintahan tersebut. 

Prinsip pengakuan dan perlindungan HAM tersebut selaras dengan asas legalitas dari hukum pidana, yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu di dalam perundang-undangan, yang dalam bahasa Latin dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale. Asas legalitas ini memiliki tujuan untuk melindungi manusia agar tidak mendapatkan perlakuan semena-mena oleh individu lain. 

Dalam kasus KDRT ini, upaya perlindungan yang berdasarkan pada asa legalitas tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara ini diawali dengan langkah hukum pencegaran terjadinya KDRT dengan cara antisipasi terhadap bentuk-bentuk KDRT dengan berbagai macam upaya. Upaya yang tersebut diantaranya adalah:

1. Meningkatkan pemahaman dan sosialisasi tentang upaya mewujudkan keluarga yang aman dan tentram.

2. Pemberdayaan ekonomi keluarga, karena kita ketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan KDRT adalah permasalahan ekonomi

3. Meningkatkan pemahaman keagamaan dan pendalaman rohani

4. Pemahaman terhadap hak dan kewajiban semua anggota keluarga

5. Membangun komunikasi keluarga yang baik dan benar

Selain melalui upaya-upaya pencegahan, pemerintah tentunya juga sudah mengatur dan membuat beberapa Undang-Undang guna melindungi perempuan korban KDRT.

a. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP

Dalam hukum pidana di Indonesia, ancaman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga ataupun kejahatan lainnya masih tetap berlaku. Beberapa ancaman pidana pelaku kekerasan dalam KUHP sebelum berlakunya UU PKDRT sebagai acuan aparat penegak hukum untuk melindungi kaum perempuan daru kejahatan kekerasan. Tindak pidana KDRT dapat dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 351, Pasal 352 yang mengatur penganiaayaan ringan, Pasal 353 mengatur penganiayaan yang direncanaka, Pasal 354 mengatur penganiayaan berat yang direncanakan dan pasal 356 tentang penganiayaan.

b. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam UU PKDRT

Berbagai pasal yang berkaitan dengan ketentuan perundang-undangan terhadap KDRT sudah menjadi sarana dan upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagai acuan tindakan bagi aparat penegak hukum bagi pelaku KDRT. Menghadapi dan mengatasi tindak pidana KDRT, pemerintah telah menginstrumenkan hukum berupa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kita telaah tujuan daru Undang-Undang tersebut ada dalam pasal 4 yaitu:

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga

2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga

3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga

4. Memelihara keutuhan rumah tanggayang harmonis dan sejahtera

Dalam Undang-Undang PKDRT terdapat beberapa perbuatan kekerasan yang menjadi bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut tercantum dalam rumusan Pasal 5 UU PKDRT tentang pengertian kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi, kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran keluarga. Dalam UU PKDRT diatur pula hak-hak saksi dan korban setelah, sebelum dan selama memberikan kesaksian. Perlindungan atas korban dan saksi dalam UU PKDRT ini bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada korban dan/atau saksi dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan hak-hak seorang saksi dan korban, yaitu:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan

d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

e. Dirahasiakan identitasnya

f. Mendapat identitas baru

g. Mendapat kediaman sementara

h. Mendapat nasihat hukum

i. Mendapat pendampigan

Selain melalui Undang-Undang, terdapat bentuk lain dari upaya perlindungan hukum terhadap perempuan korban KDRT, yaitu:

a. Bantuan hukum

Bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerinah mendorong masyarakat untuk berani mengusut kasus-kasus KDRT di lingkungan. Bantuan hukum ini diampu oleh lembaga-lembaga berbadan hukum yang bertambah jumlah dan keaktifannya dalam memberikan bantuan hukum kepada korban. Selain aktif dalam memberikan bantuan hukum kepada korban, lembaga tersebut juga memberikan sosialisasi dan advokasi kepada penegak hukum untuk menuntut dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku KDRT.

b. Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)

Guna memperluas jangkauan dan layanan di daerag, MABES POLRI membentuk sebuah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah, Kepolisian Wilayah dan Kepolisian Resort. PPA ini dikelola oleh Polisi Wanita untuk memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kejahatan. Dengan adanya unit pelayanan ini diharaphakan memudahkan korban kejahatan untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal.

B. Prospek Penegakan Hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti siklus yang sukar untuk dihentikan. Pelaku bisa menyesal karena perbuatannya, tetapi tak jarang kekerasan yang berbasis gender ini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Keprihatinan datang dari masyarakat terutama relawan dan perempuan melihat banyaknya kasus KDRT. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong untuk dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Lahirnya undang-undang ini tentunya tak lepas dari keinginan yang bersifat menyeluruh dan global mengenai tuntutan diperlukannya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang selama ini dipandang sebagai kaum yang rentan terhadap tindak kekerasan. Dengan resminya UU PKDRT menggambarkan suatu pemikiran yang terarah dan komprehensif dari negara political will guna memperhatikan dan juga memberi perlindungan.

Namun yang menghambat dan menjadi kendala adalah upaya guna mengungkap dan mengusut segala bentuk kekerasan ini bukanlah hal yang mudah. Faktor pertama adalah kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang bentuk-bentuk KDRT belum dipahami dengan sepenuhnya sebagai pelanggaran HAM. Faktor kedua para korban cenderung enggan dan merasa takut untuk melaporkan perkara ini ke pihak berwenang karena mereka merasa dengan melaporkan pelaku akan memperburuk keadaan. Faktor kedua ini menjadi salah satu fokus tertentu mengapa Undang-Undang ini dikeluarkan.

Dalam UU PKDRT, korban dan saksi memiliki hak-hak untuk hal perlindungan dan proteksi diri selama masa kasus kekerasan ini diusut oleh pihak berwenang. Hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Bentuk perlindungan bagi para saksi dan korban ini tidak hanya satu macam tetapi terdapat 10 bentuk hak.

Salah satu hak yang cukup memberikan ketenangan bagi para saksi dan korban adalah Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Dengan adanya hak ini, ketika saksi ataupun korban mendapatkan ancaman dari pihak lain maka dapat meminta perlindungan hukum. Selain itu identitas dari saksi dan korban ini dirahasiakan, sehingga meminimalisir adanya intimidasi dari pihak lain. Upaya-upaya ini dilakukan agar para saksi dan korban tidak takut untuk melaporkan dan tidak merasa keberatan ketika memberi kesaksian.

Dibentuknya undang-undang PKDRT yang didalamnya termuat kriminalisasi kekerasan pada perempuan dan anak sebenarnya merupakan upaya yang dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang aman, nyaman, tentram dan pastinya beba dari segala bentuk kekerasan. Bentuk idealisme ini bukan hal yang berlebihan, karena kita sadari di tengah kehidupan abad ke-21 yang mengalami kemajuan pesat akan banyak kejanggalan apabila lingkungan hidup yang seharusnya menjamin dalam memberikan suasana aman, nyaman dan perasaan termanusiakan jutru menjadi lingkungan yang dipenuhi perilaku barbar dan kekerasan. Dengan demikian, keberhasilan penegak hukum daam implentasi UU PKDRT ini menjadi hal yang di damba dambakan oleh banyak pihak yang mengharapkan kehidupan rumah tangga yang damai

Referensi:

Aroma Elmina, Perempuan, Kekerasan, dan Hukum, cet.3(Yogyakarta:UII Press, 2003), hlm.25.

Indonesia, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 5 Tahun 2004.

Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, cet.1 (Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm.172.  

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, cet.1 (Surabaya:PT. Bina Ilmu, 1987) hlm.21.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, cet.3 (Jakarta:Aksara Baru, 1983), hlm.38.

Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Cet.1 (Bandung:Citra Aditya Bakti,2005), hlm.29.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun