Dampak dari penerapan paham egoisme ini adalah perusahaan tampak sebagai sebuah institusi yang rakus, eksploitatif, dan secara umum tidak beretika. Dalam bukunya When Corporations Rule the World, David Korten (2015), ekonom yang juga mantan profesor di Harvard Business School, menyatakan bahwa perusahaan dibutakan oleh keinginannya untuk meraih keuntungan finansial jangka pendek.
Seringkali, kerakusan perusahaan ini mengorbankan hal yang penting bagi masyarakat, contohnya lingkungan hidup. Mirisnya, bukannya mengubah model bisnisnya menjadi lebih baik, perusahaan justru menutup-nutupi keburukannya lewat kampanye-kampanye kehumasan serta segala bentuk corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan.Â
Salah satu perusahaan yang pernah menggunakan kampanye kehumasan untuk menutup-nutupi keburukannya adalah Lush (Ethical Unicorn, 2018).
Perusahaan kosmetik yang terkenal karena penggunaan "produk natural" dan kampanye anti kekerasan hewannya ini ternyata menggunakan paraben, sebuah zat yang berpotensi berbahaya untuk kehidupan flora dan fauna laut. Perusahaan lain yang pernah melakukan hal serupa adalah Urban Outfitters (The Occidental, 2019).
Perusahaan fashion asal Amerika Serikat tersebut mentransformasikan teater tua di Los Angeles menjadi salah satu tokonya, lalu mengklaim bahwa hal tersebut berdampak positif pada lingkungan tanpa menjelaskan alasan di baliknya.
Dua perusahaan di atas merupakan contoh kecil dari perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak ramah lingkungan, tetapi mengaku ramah lingkungan.Â
Di Indonesia, penggunaan kampanye kehumasan dan CSR untuk menutup-nutupi keburukan perusahaan juga tidak asing dilakukan. Salah satu contoh dari praktik ini adalah perusahaan rokok yang mensponsori kegiatan-kegiatan olahraga.
Perusahaan ini menampilkan citra sebagai perusahaan yang mendorong gaya hidup sehat melalui kegiatan olahraga, padahal perusahaan itu pula yang merusak kesehatan melalui produk rokok yang mereka jual.
Contoh berikutnya datang dari industri sawit. Majalah Sawit Indonesia menyampaikan bahwa pada 2018, perusahaan-perusahaan sawit menyalurkan dana CSR kepada masyarakat dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, pembangunan sarana prasarana umum termasuk rumah ibadah, pelayanan kesehatan, bantuan korban bencana, dan pelestarian alam (Sawit Indonesia, 2018).
Perusahaan sawit yang praktik bisnisnya merusak alam berusaha untuk menutupi "dosa" mereka dengan menggelontorkan dana yang tidak seberapa untuk pelestarian alam. Bukannya mengganti praktik berdosa mereka dengan praktik yang lebih baik, perusahaan-perusahaan tersebut justru menutupi dosa mereka dengan melakukan sedikit kebaikan.
Sebagai akibat dari praktik egoisme yang dilakukan, persepsi publik pada perusahaan pun menjadi buruk. Edelman, perusahaan public relation dan pemasaran terbesar di dunia, merilis laporan tahunan mengenai kepercayaan publik terhadap empat institusi, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, media, dan institusi bisnis yang dilaporkan setiap tahunnya melalui Edelman Trust Barometer.