"When morality comes up against profit, it is seldom that profit loses." -Shirley Chisholm
Sepanjang sejarah umat manusia, tidak ada ciptaan manusia yang memiliki dampak positif lebih besar dari kapitalisme pasar bebas (Mackey & Sisodia, 2013). Pendapat ini dikemukakan oleh John Mackey dan Raj Sisodia dalam bukunya yang berjudul Conscious Capitalism: Liberating the Heroic Spirit of Business.Â
Menurut mereka, kapitalisme merupakan sistem terbaik untuk mendorong inovasi. Dengan kapitalisme, miliaran orang berhasil mendapatkan kesempatan untuk menciptakan value bagi satu sama lain. Kapitalisme juga berhasil mentransformasikan wajah planet bumi dan corak kehidupan masyarakat secara signifikan hanya dalam waktu dua ratus tahun.Â
Sejak dimulainya era kapitalisme pasar bebas dua abad yang lalu, jumlah masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem berkurang dari 84% menjadi sekitar 8,4% pada 2018 (Our World in Data, 2019).
Selain itu, angka harapan hidup rata-rata penduduk dunia juga mengalami perubahan signifikan. Pada tahun 1800, angka harapan hidup penduduk dunia tidak sampai 30 tahun, tetapi angka tersebut meningkat drastis menjadi 72,6 tahun pada 2019 (Our World in Data, 2019).
Tak hanya itu saja, rata-rata pendapatan per kapita global juga meningkat 1000% dibandingkan tahun 1800 (Maddison, 2010). Menurut Mackey dan Sisodia, peningkatan-peningkatan ini merupakan dampak dari dipraktikkannya kapitalisme pasar bebas.Â
Melihat dampak positifnya yang sangat besar, seharusnya kapitalisme dipandang baik oleh masyarakat, tetapi kini tidak sedikit orang yang memandang kapitalisme secara negatif. Pertanyaannya, mengapa demikian?
Egoisme Perusahaan Tradisional
Egoisme merupakan sebuah paham yang menyatakan bahwa seseorang seharusnya melakukan tindakan jika dan hanya jika tindakan tersebut menguntungkan dirinya sendiri (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2019).
Dalam konteks perusahaan, paham egoisme membuat perusahaan hanya akan melakukan tindakan yang mendatangkan profit bagi perusahaan itu sendiri. Tentu, pihak yang paling diuntungkan adalah shareholders atau para pemodal dan para pemegang saham.Â
Dampak dari penerapan paham egoisme ini adalah perusahaan tampak sebagai sebuah institusi yang rakus, eksploitatif, dan secara umum tidak beretika. Dalam bukunya When Corporations Rule the World, David Korten (2015), ekonom yang juga mantan profesor di Harvard Business School, menyatakan bahwa perusahaan dibutakan oleh keinginannya untuk meraih keuntungan finansial jangka pendek.
Seringkali, kerakusan perusahaan ini mengorbankan hal yang penting bagi masyarakat, contohnya lingkungan hidup. Mirisnya, bukannya mengubah model bisnisnya menjadi lebih baik, perusahaan justru menutup-nutupi keburukannya lewat kampanye-kampanye kehumasan serta segala bentuk corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan.Â
Salah satu perusahaan yang pernah menggunakan kampanye kehumasan untuk menutup-nutupi keburukannya adalah Lush (Ethical Unicorn, 2018).
Perusahaan kosmetik yang terkenal karena penggunaan "produk natural" dan kampanye anti kekerasan hewannya ini ternyata menggunakan paraben, sebuah zat yang berpotensi berbahaya untuk kehidupan flora dan fauna laut. Perusahaan lain yang pernah melakukan hal serupa adalah Urban Outfitters (The Occidental, 2019).
Perusahaan fashion asal Amerika Serikat tersebut mentransformasikan teater tua di Los Angeles menjadi salah satu tokonya, lalu mengklaim bahwa hal tersebut berdampak positif pada lingkungan tanpa menjelaskan alasan di baliknya.
Dua perusahaan di atas merupakan contoh kecil dari perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak ramah lingkungan, tetapi mengaku ramah lingkungan.Â
Di Indonesia, penggunaan kampanye kehumasan dan CSR untuk menutup-nutupi keburukan perusahaan juga tidak asing dilakukan. Salah satu contoh dari praktik ini adalah perusahaan rokok yang mensponsori kegiatan-kegiatan olahraga.
Perusahaan ini menampilkan citra sebagai perusahaan yang mendorong gaya hidup sehat melalui kegiatan olahraga, padahal perusahaan itu pula yang merusak kesehatan melalui produk rokok yang mereka jual.
Contoh berikutnya datang dari industri sawit. Majalah Sawit Indonesia menyampaikan bahwa pada 2018, perusahaan-perusahaan sawit menyalurkan dana CSR kepada masyarakat dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, pembangunan sarana prasarana umum termasuk rumah ibadah, pelayanan kesehatan, bantuan korban bencana, dan pelestarian alam (Sawit Indonesia, 2018).
Perusahaan sawit yang praktik bisnisnya merusak alam berusaha untuk menutupi "dosa" mereka dengan menggelontorkan dana yang tidak seberapa untuk pelestarian alam. Bukannya mengganti praktik berdosa mereka dengan praktik yang lebih baik, perusahaan-perusahaan tersebut justru menutupi dosa mereka dengan melakukan sedikit kebaikan.
Sebagai akibat dari praktik egoisme yang dilakukan, persepsi publik pada perusahaan pun menjadi buruk. Edelman, perusahaan public relation dan pemasaran terbesar di dunia, merilis laporan tahunan mengenai kepercayaan publik terhadap empat institusi, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, media, dan institusi bisnis yang dilaporkan setiap tahunnya melalui Edelman Trust Barometer.
Edelman Trust Barometer 2020 disusun setelah melakukan survei terhadap lebih dari 34.000 orang di 28 negara di dunia, salah satunya Indonesia.Â
Hasil survei yang dilakukan oleh Edelman menunjukkan bahwa 56% orang menganggap bahwa kapitalisme memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding dampak positif. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap para CEO hanya sebesar 51%.
Hasil yang lebih buruk ditunjukkan oleh kepercayaan publik kepada orang-orang terkaya di dunia yang hanya sebesar 36%, sangat jauh jika dibandingkan dengan kepercayaan publik kepada saintis yang berada di angka 80%.
Dalam skala -35 sampai 35, etika pelaku bisnis berada di angka -2, berbeda 14 poin dari etika LSM yang berada di angka 12. Penyebab utama seseorang tidak percaya dengan pelaku bisnis adalah ketidakadilan. 54% orang menilai bahwa pelaku bisnis hanya mementingkan kepentingan segelintir orang.
Padahal, publik menilai bahwa kesuksesan jangka panjang suatu perusahaan dinilai dari mampu tidaknya perusahaan memenuhi kepentingan seluruh stakeholders, bukan hanya shareholders atau para pemegang saham dan pemodal.
Altruisme: Ujung Spektrum yang Berlawanan
Dalam bagian sebelumnya, telah terbukti bahwa egoisme dan praktik cuci tangan yang dilakukan oleh perusahaan membuat persepsi publik terhadap kapitalisme menjadi buruk. Jika diibaratkan sebuah spektrum berbentuk garis lurus, egoisme perusahaan tradisional merupakan salah satu ujung dari spektrum tersebut.
Ujung yang berlawanan dari spektrum yang sama ditempati oleh sebuah konsep bernama altruisme. Altruisme dapat didefinisikan sebagai bentuk perhatian atau tindakan yang didorong oleh keinginan untuk menolong orang lain tanpa memperhatikan kepentingan pribadi, atau dalam kasus ekstrim, mengorbankan kepentingan pribadi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2020).
Pertanyaannya, apakah seluruh perusahaan yang egoistik harus berubah menjadi lembaga altruistik demi menciptakan dunia yang lebih baik?
Dalam konteks kelembagaan, lembaga yang altruistik berarti lembaga tersebut hanya berfokus pada keinginan untuk membantu orang lain. Contoh lembaga seperti ini adalah lembaga amal.
Biasanya, organisasi seperti ini hanya mengandalkan donasi dari orang lain untuk menopang kegiatannya. Masalah yang kemudian muncul adalah mampu tidaknya organisasi seperti ini untuk tetap beroperasi jika mereka berhenti mendapatkan donasi.
Dalam kelas onlinenya yang berjudul Becoming a changemaker: Introduction to Social Innovation, Franois Bonnici, profesor di University of Cape Town, menyatakan bahwa lembaga yang murni altruistik tidak akan mampu untuk bertahan karena mereka tidak mampu untuk menunjang kegiatan mereka sendiri. Maka dari itu, diperlukan suatu ekuilibrium antara egoisme dan altruisme.Â
Conscious Capitalism: Ekuilibrium antara Egoisme dan Altruisme
Dalam dua bagian sebelumnya, telah dipaparkan mengenai dua spektrum yang berbeda dalam penentuan tujuan suatu perusahaan atau lembaga, yaitu egoisme yang berorientasi pada profit dan altruisme yang tidak berkesinambungan. Karena keterbatasan kedua konsep tersebut, diperlukan konsep baru yang mampu menyintesiskan nilai positif dari keduanya.
Maka dari itu, John Mackey dan Raj Sisodia menawarkan sebuah konsep bernama conscious capitalism. Conscious capitalism adalah sebuah filosofi yang didasarkan pada sebuah ide sederhana bahwa perusahaan harus memiliki tujuan yang lebih dari sekedar mengeruk keuntungan, yaitu demi kebaikan umat manusia (Mackey & Sisodia, 2013).Â
Hal yang membedakan conscious capitalism dengan egoisme adalah cara kedua paham tersebut memandang profit. Egoisme berpandangan bahwa perusahaan harus mencari profit demi mendapat profit, sedangkan conscious capitalism berpandangan bahwa profit harus didapatkan dengan tujuan untuk memberikan nilai tambah bagi seluruh stakeholders dan demi kebaikan umat manusia.
Conscious capitalism juga berbeda dengan altruisme. Altruisme yang ekstrem berpandangan bahwa perusahaan harus mengorbankan diri sendiri demi kepentingan orang lain, sedangkan conscious capitalism berpandangan bahwa perusahaan harus mengakomodasi seluruh kepentingan, termasuk kepentingan perusahaan itu sendiri.Â
Conscious capitalism memiliki empat prinsip dasar. Prinsip pertama adalah higher purpose atau tujuan mulia. Perusahaan harus memiliki tujuan yang lebih mulia dibanding sekedar mendapatkan profit untuk para pemodalnya.
Tujuan mulia di sini berarti perusahaan harus mampu untuk berkontribusi dalam memajukan umat manusia. Keberadaan tujuan ini sangatlah penting karena jika tujuan ini tidak ada, maka perusahaan tidak akan memiliki kompas yang dapat dijadikan acuan untuk menjalankan praktiknya.Â
Selain itu, adanya tujuan mulia ini juga dapat mengubah pandangan perusahaan terhadap profit. Profit akan dinilai sebagai langkah untuk mencapai tujuan mulia tersebut, bukan sebagai tujuan itu sendiri.Â
Prinsip kedua adalah stakeholders integration dan stakeholders orientation. Stakeholders integration berarti perusahaan memahami interdependensi antara seluruh stakeholders-nya, maka dari itu seluruh stakeholders harus dilibatkan dalam praktik usaha yang dijalankan.Â
Berikutnya, perusahaan juga harus menanamkan dan mempraktikkan prinsip stakeholders orientation. Prinsip ini berarti perusahaan harus mengedepankan peningkatan nilai tambah bagi seluruh stakeholders, bukan hanya para pemodal dan para pemegang saham.
Stakeholders yang dimaksud di sini di antaranya perusahaan itu sendiri, pekerja di perusahaan tersebut, masyarakat di lokasi tempat perusahaan beroperasi, lingkungan, serta seluruh pihak yang terdampak oleh aktivitas perusahaan.Â
Prinsip ketiga adalah conscious leadership. Prinsip ini berarti para pemimpin perusahaan harus fokus pada "kita", bukan pada "aku". Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa conscious capitalism berorientasi pada seluruh stakeholders, bukan hanya shareholders.
Prinsip terakhir dari conscious capitalism adalah conscious culture. Prinsip ini berarti conscious capitalism harus dibumikan dan dijadikan sebagai sesuatu yang membudaya, bukan hanya sebagai sebuah teori yang manis dibaca, tetapi realisasinya nihil adanya.Â
Kesimpulan
Sejak pertama kali dicetuskan, kapitalisme berhasil mengelevasi kehidupan manusia ke taraf yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Tetapi, publik kini memandang kapitalisme sebagai suatu praktik yang memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding dampak positif.
Buruknya persepsi publik ini salah satunya disebabkan oleh egoisme kapitalisme tradisional yang hanya mengutamakan keuntungan bagi para pemodal dan pemegang saham. Maka dari itu, diperlukan bentuk kapitalisme baru yang mampu mengubah nilai-nilai kapitalisme tradisional.Â
Bentuk kapitalisme baru itu adalah conscious capitalism. Dengan menerapkan conscious capitalism, perusahaan akan memiliki tujuan yang lebih mulia dibanding sekedar meraup keuntungan.
Di saat yang sama, perusahaan tetap dapat beroperasi secara berkelanjutan. Dengan kata lain, perusahaan mampu untuk menemukan ekuilibrium antara egoisme dan altruisme.Â
Referensi
Bonnici, F., Nilsson, W., Parker, M. 2016. Becoming a changemaker: Introduction to Social Innovation [MOOC]. https://www.coursera.org/learn/social-innovation?
Edelman. (2020). Edelman Trust Barometer 2020. https://www.edelman.com/trustbarometer
Korten, David. (2015). When Corporations Rule the World. Oakland: Berrett-Koehler Publishers, Inc.Â
Kraut, Richard. (2020, Agustus 31). Altruism. https://plato.stanford.edu/entries/altruism/
Mackey, J., & Sisodia, R. (2013). Conscious Capitalism: Liberating the Heroic Spirit of Business. Boston: Harvard Business Press.
Maddison, Angus. (2010). Statistics on World Population, GDP and Per Capita GDP, 1--2008 AD. http://www.ggdc.net/MADDISON/oriindex.htm
Milliken, Oona. (2019, Oktober 1). Companies are not as green as their marketing seems. https://www.theoccidentalnews.com/opinions/2019/10/01/companies-are-not-as-green-as-their-marketing-seems/2898595
Redaksi Sawit Indonesia. (2018, Februari 2). Penyaluran Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Perkebunan Kelapa Sawit Tepat Sasaran. https://sawitindonesia.com/penyaluran-dana-corporate-social-responsibility-csr-perkebunan-kelapa-sawit-tepat-sasaran/
Roser, M., & Ortiz-Ospina, E. (2019). Global Extreme Poverty. https://ourworldindata.org/extreme-poverty
Roser, M., Ortiz-Ospina, E., & Ritchie, H. (2019, Oktober). Life Expectancy. https://ourworldindata.org/life-expectancy
Shaver, Robert. (2019, Januari 15). Egoism. https://plato.stanford.edu/entries/egoism/
Willow, Francesca. (2018, Maret 28). How Ethical Is Lush Cosmetics? Holly Rose Investigates.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H