Pernahkah Anda mengenal istilah "ekosida"? Kata ini mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia. Salah satu alasannya bisa jadi karena belum ada instrumen hukum yang mengatur tentang terminologi 'ekosida' ini. Sebagaimana Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang tertulis bahwa:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Menurut pasal tersebut, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi manusia yang ditegaskan secara konstitusional.Â
Hal tersebut juga tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39. Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Hak manusia atas lingkungan secara prinsip dikategorikan sebagai fundamental rights. Teori ini diargumentasikan oleh seorang ahli hukum yang bernama Robert Alexy yang berbunyi (Sari, 2007):
Human rights are institutionalized by means of their transformation into positive law. If this takes place at level in the hierarchy of the legal system than can be called constitutional, human rights become fundamental rights.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU LH), apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.Â
Lingkungan hidup ini memiliki hubungan ketergantungan dan keterkaitan yang erat dengan manusia. Hal ini disebabkan karena manusia dalam melangsungkan kehidupan dan segala interaksinya akan selalu berada dalam suatu wadah yang bernama lingkungan hidup ini.Â
Kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dimulai pada tahun 1933 dengan ditandatanganinya The 1933 London Convention Relative to the Preservation of Fauna and Flora in their Natural State (ECOLEX, 2003). Meskipun perjanjian ini hanya berlaku di Afrika, namun perjanjian ini memicu negara-negara lain untuk turut serta dalam meningkatkan kepedulian dan melindungi lingkungan hidup.Â
Setelah munculnya beragam perjanjian, konvensi, maupun deklarasi di berbagai negara, akhirnya pada tahun 1970 munculah perjanjian internasional yang menaungi kejahatan lingkungan hidup bernama Statuta Roma (ECOSOC, 1995).Â
Dalam Statuta Roma, disebutkan bahwa  terdapat lima kejahatan internasional yaitu kejahatan ekosida, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (Open Society Foundation, n.d.)
Dengan adanya Statuta Roma yang mengatur tentang kejahatan lingkungan, maka dikenal istilah ecoside atau ekosida. Bila genosida berasal dari kata "geno" yang berarti suku/ras dan "cide" yang berarti pembantaian, maka ekosida dari kata "eco" dan "cide" memiliki makna yang serupa yaitu pembantaian ekologi secara besar-besaran (Gray, 1995). Apa yang dimaksud ekosida dalam Statuta Roma ialah "Kejahatan lingkungan yang disengaja dan parah" (United Nations, 1991).Â
Menurut Environmental Modification Convention, suatu kejahatan lingkungan dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekosida apabila mengakibatkan kerusakan yang parah, meluas, atau berkepanjangan terhadap lingkungan hidup (ENMOD, 1997). Kata ekosida ini pertama kali dikenalkan oleh Arthur Galston pada Conference on War and National Responsibility di Washington pada tahun 1970 (Brady, 2014).Â
Arthur Galston yang merupakan ahli biologis AS mengatakan bahwa kerusakan ekologi besar-besaran dan terdapat kerusakan hutan secara permanen yang diakibatkan oleh perang Vietnam pada tahun 1968 merupakan salah satu bentuk kejahatan lingkungan atau yang telah dikenal dengan istilah ekosida.Â
Meskipun sudah ada istilah yang diakui secara internasional, tetapi Indonesia belum menyerap kata ekosida ini ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga mungkin masih banyak masyarakat Indonesia yang merasa asing dengan kata ekosida ini.
Keberadaan ekosida dalam Statuta Roma ternyata hanya bertahan selama 26 tahun. Tidak sedikit pihak yang beranggapan bahwa kejahatan lingkungan ini bukan merupakan kejahatan serius.Â
Lalu pada tahun 1996, kejahatan ekosida dihapuskan dari Statuta Roma karena dianggap tidak bisa diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional dan hanya disisipkan pada Pasal 8 ayat (2) huruf (b) yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang (ECOSOC, 1995). Kurangnya kesadaran akan pentingnya hak atas lingkungan dapat diperlihatkan pada proyek yang sedang terjadi di Alberta, Kanada.Â
Diketahui Kanada memiliki jenis energi fosil yang dapat dimanfaatkan menjadi minyak berjenis oil sand bernama Tar Sand. Saat ini sebanyak 10% cadangan minyak dunia berada pada porsi Tar Sand yang berada di Kanada. Sebagai perbandingan, Kanada memiliki hampir 2 triliun barel minyak, sedangkan Indonesia hanya memiliki 3,65 miliar dan diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 12 tahun kedepan (Andika, 2019).
Keberlanjutan dari eksploitasi ini diketahui menghasilkan 127 hingga 140 juta ton emisi pada tahun 2020. Jika eksploitasi ini dilanjutkan maka akan mengakibatkan hilangnya hutan hingga seluas negara Inggris (Tregaskis, 2010). Contoh kejahatan lingkungan yang terjadi di Alberta hanyalah satu dari sekian contoh ekosida yang memiliki dampak luar biasa bagi lingkungan maupun bagi manusia itu sendiri. Selain itu, masih ada penebangan hutan besar-besaran yang terjadi di Hutan Hujan Amazon serta sebelah barat Virgina hingga menumpuknya sampah luar angkasa (Tregaskis, 2010).
Walaupun istilah ekosida masih terdengar asing di Indonesia, namun ternyata pada tahun 1982 Indonesia atau lebih tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur telah terjadi kebakaran hutan seluas 3,5 juta hektar yang merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah Brazil (Soeriaatmadja, 1997). Masih di Pulau Kalimantan, di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 1 juta hektar setelah pembukaan lahan akibat adanya Proyek di Lahan Gambut (PLG) (Yulianti, 2018).
Kebakaran hutan pada tahun 1997 menimbulkan berbagai dampak. Mulai hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya ozon dan ekosistem, hingga perkiraan kerugian sebesar 1,4 miliar dollar yang ditanggung oleh tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura (Rasyid, 2014).Â
Selain itu, terdapat 12.360.000 orang yang terkena dampak Kebakaran Hutan dan Lahan, mulai dari hilangnya komoditas hasil perkebunan dan tanaman pangan hingga meningkatnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) hingga adanya korban jiwa akibat adanya 1 giga ton karbon terlepas di udara (Khatarina, 2020).
Sejak tahun 1997, kebakaran hutan dan lahan gambut yang terdapat di Kalimantan Tengah terjadi berkala hingga tahun 2015 yang menyebabkan setengah hektar lahan terbakar. Dalam kasus kebakaran hutan ini, tercatat terdapat 71 perkara akibat pelanggaran UU LH dan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (WALHI, 2019).
Selain UU LH, Indonesia telah memiliki produk hukum yang menyebutkan secara tegas bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan sebuah hak asasi seperti yang telah dijelaskan di awal paragraf, yaitu Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 dan juga Pasal 5 Ayat (3) UU HAM. Namun, pelanggaran terhadap lingkungan yang merupakan hak asasi atau yang dikenal dengan ekosida ini belum tertuang sebagai pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).Â
Dengan tidak adanya adanya ekosida dalam UU Pengadilan HAM, dampak dari kebakaran hutan dan lahan berupa dampak ekologi bahkan merenggangnya nyawa seseorang dirasa belum cukup menjadikan ekosida sebagai pelanggaran HAM berskala berat. Selain itu, manusia juga dapat semena-mena dengan alam akibat tidak adanya penanganan hukum yang tegas ketika mereka merusak alam.Â
Padahal, asap dari kebakaran ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat serius bahkan bukan hanya untuk masa sekarang namun juga untuk masa yang akan datang. Menurut data yang diperoleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terdapat 5 perusahaan dan 69 orang yang menjadi tersangka dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 (WALHI, 2019).
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyebutkan bahwa sebanyak 99% penyebab adanya kebakaran hutan dan lahan ialah akibat dari ulah manusia (Taher, 2020). Sebagai manusia seyogyanya kita menjaga lingkungan yang sedang kita singgahi saat ini sehingga dapat terus ditempati hingga di masa yang akan datang.Â
Kewajiban manusia sebagai makhluk yang tinggal di bumi untuk menjaga bumi dan segala isinya ialah salah satu bentuk prinsip keadilan antar generasi yang merupakan salah satu dari tiga elemen pembangunan berkelanjutan (Sands, 1995). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengganggu generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Beder, 2006).
Keadilan antargenerasi (Intergenerational equity) ini memiliki tiga prinsip, yaitu perlindungan atas opsi (Conservation of options), perlindungan atas kualitas (Conservation of quality), dan perlindungan atas akses (Conversation of access) (Weiss, 1996). Perlindungan atas opsi ialah menjamin keberagaman pilihan atas sumber daya alam di generasi yang akan datang setidaknya tidak akan lebih buruk dari keberagaman pilihan generasi yang sekarang.Â
Lalu perlindungan atas kualitas berarti generasi sekarang harus memastikan bahwa kualitas lingkungan di generasi yang akan datang tidak lebih buruk dari generasi yang sekarang. Dan yang terakhir yaitu perlindungan atas akses berarti generasi sekarang menjamin bahwa tindakan yang dilakukannya tidak akan mengurangi akses pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam generasi yang akan datang (Sohn & Weiss, 1987).
Secara etis, setiap generasi memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan agar kesehatan dan kebaikan lingkungan dapat berlanjut hingga ke generasi yang akan datang. Dalam perspektif keadilan lingkungan antar generasi, kita sebagai manusia diajarkan untuk tidak egois dalam artian tidak menggunakan lingkungan bahkan sampai merusak lingkungan hanya untuk kepentingan generasi saat ini saja.Â
Tetapi, apa yang terjadi ketika ternyata manusia berperan besar dalam perusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof. Bambang Hero Suharjo, penyebab salah satu kerusakan lingkungan besar-besaran yaitu kebakaran hutan 99,9 persen dilakukan oleh manusia.
Sisanya, sebesar 0,01 persen saja yang bersumber dari keadaan alam seperti petir atau lava gunung api (Saharjo, 2016). Dari 99,9 persen peran manusia dalam kebakaran hutan dan lahan, beberapa diantaranya bahkan bukan merupakan kelalaian, melainkan sebuah kesengajaan (National Geographic, 2014).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kerugian dan kerusakan akibat kebakaran hutan terkhususnya yang terjadi di Kalimantan tidak hanya berdampak kepada lingkungan itu sendiri, namun juga terhadap makhluk hidup yang hidup diantaranya. Masih menurut Prof. Bambang, ia mengatakan bahwa kebakaran hutan pada tahun 2014 bahkan menyebabkan kawasan Indonesia terselimuti asap hingga 80 persen.Â
Kabut asap ini tidak boleh dianggap remeh karena selama peristiwa kebakaran hutan berlangsung, tercatat terdapat 24 orang tewas, 600 ribu orang menderita ISPA, dan sekitar 60 juta orang terpapar asap. Akibatnya, menurut catatan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah diharuskan untuk mengeluarkan biaya sebesar Rp2,1 triliun guna mengganti rugi dampak yang terjadi pada sektor kesehatan (The Asia Foundation, 2015).
Dengan adanya kesengajaan pelaku dan banyaknya dampak yang disebabkan, Mungkin suatu saat pengadilan di Indonesia dapat menerapkan proses legal standing atau seseorang/sekelompok orang dapat melakukan gugatan atas dasar kepentingan umum mengingat telah diakuinya keadilan lingkungan antar generasi.Â
Sayangnya, hak gugat yang bertujuan untuk pemulihan lingkungan ini belum diakui di dalam hukum positif di Indonesia. Indonesia dapat mencontoh Filipina yang telah memutus bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan actionable right yang dimiliki baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Lalu, hak gugat juga dimiliki oleh generasi sekarang apabila sekiranya lingkungan di masa yang akan datang akan lebih buruk dari masa yang sekarang (Manguiat, 2003).
Melihat status quo kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia terutama di Kalimantan, seharusnya negara terkhususnya lembaga HAM seperti Komnas HAM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bijaknya menelaah kembali instrumen hukum lingkungan dan instrumen HAM. Beberapa diantaranya termasuk penelaahan terhadap diakuinya tidak legal standing di dalam hukum positif di Indonesia UU Pengadilan HAM yang tidak memasukan ekosida kejahatan lingkungan hidup.Â
Padahal, ekosida juga dapat menimbulkan kerusakan yang luar biasa hebat sama halnya seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut UU Pengadilan HAM, Genosida dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran HAM berat karena dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, maupun agama.Â
Cukup jelas bahwa hal tersebut akan mengakibatkan dampak yang luar biasa karena jutaan nyawa manusia akan menjadi korban dari kejahatan genosida ini. Selain itu, kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat menurut UU Pengadilan HAM karena mengakibatkan serangan yang meluas dan sistematis kepada penduduk sipil.Â
Bila diperhatikan, kejahatan ekosida ini sama halnya dengan kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan karena berdampak parah kepada lingkungan maupun manusia bahkan ke generasi yang berikutnya. Jika kesadaran akan lingkungan hidup tidak dimulai dari sekarang, jika para perusak bumi tidak ditindaklanjuti secara tegas, maka secara perlahan bumi akan kehilangan esensinya untuk memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk hidup yang lainnya.Â
Faktanya, esensi kehidupan manusia sebenarnya ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 yang mengatur tentang hak untuk hidup dalam ayat (1), (2), dan (3) UU HAM. Sehingga, menelaah kembali instrumen hukum lingkungan dan instrumen HAM rasanya menjadi penting untuk dilakukan, termasuk tafsir hukum yang progresif untuk menyelamatkan bumi untuk generasi hari ini dan akan datang.
Oleh: Fadilla Miftahul Jannah | Ilmu Hukum 2019 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2020
Referensi
Buku
Beder, S. (2006). Environmental Principles and Policies: An Interdisciplinary Introduction. New York: Earthscan.
Sands, P. (1995). Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and Implementation. Manchester: Manchester University Press.
The Asia Foundation. (2015). Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Jakarta: Author.
Walhi. (Mei 2019). Ecocida Memutus Impunitas Korporasi. Indonesia: Author.
Weiss, E.B. (1996). Intergenerational Equity and Rights of Future Generation. In A. C. A. Trindade (Ed.), The Modern World of Human Rights: Essays in Honour of Thomas Buergenthal (pp. 608-609). San Jose, Costa Rica: Inter-American Instituse of Human Rights.Â
Yulianti, N. (November 2018). Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas [Studi Kasus Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar]. Bogor, Indonesia: IPB Press.Â
Jurnal
Brady, L.M. (January 2014). The Invention of Ecocide: Agent Orange, Vietnam, and the Scientists Who Changed the Way We Think about the Environment by David Zierler (review). Journal of Cold War Studies, 16(1), 224-226.Â
Gray, M.A. (1995). International Crime of Ecocide. California Western International Law Journal, 215 (26).
Manguiat, M.S.Z (2003) Maximizing the Value of Oposa v, Factoran. Georgetown International Environmental Law Review, 15(3), 496.
Open Society Foundation. (n.d.). International Crimes. Fact Sheet.
Rasyid, F. (7 Desember 2014). Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara, 1(4), 47-59.Â
Sohn, L. B., & Weiss, E.B. (1987). The Annual Meeting (American Society of International Law). Intergenerational Equity in International Law, 81, 126-133.
Internet
Andika, R.B. (10 February 2019). Mengenal Lebih Dekat: "TAR Sand", Si Energi Bermata Dua.
Khalid, K. (26 September 2019). Asap dan Kejahatan Ekosida.
National Geographic. (19 Mei 2014). Diprediksi, Ada Potensi El Nino Kuat Melanda Indonesia.
Taher, A.P. (23 Juni 2020). Jokowi Sebut 99 Persen Karhutla karena Ulah Manusia.
Tregaskis, S. (4 May 2010). Ten Worst 'ecocides'.
Lainnya
ECOSOC. (1995). The role of criminal law in the protection of the environment, 25 July 1994. Annex, Recommendations Concerning the Role of Criminal Law in Protecting the Environment. New york: United Nations.
Sari, A.P. (2007) Executive Summary: Indonesia and Climate Change-Working Paper on World Bank, Current Status and Policies. Jakarta: World Bank.
ENMOD (1997). Convention on the Prohibition of Military or Any Other Hostile Use of Environmental Modification Techniques (ENMOD Convention).
Khatarina, J. (16 April 2020). Pencemaran/Kerusakan: Kebakaran Hutan dan Lahan. [Presentation].
Soeriaatmadja, R.E. (16 Desember 1997). Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: "Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan". Yogyakarta: Prosiding Simposium.
United Nations. (1991). Yearbook of the International Law Commission. Summary Records of the Meetings of the Forty-Third Session 29 April-19 July 1991, New York. Doi: A/CN.4/SER.A/1991.
Saharjo, B.H. (16 Februari 2016).Penyebab, Dampak, dan Solusi Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan pada FGD berjudul Pengembangan Strategi Penanggulangan Karhutla Melalui Model Pemolisian Berbasis Dampak Manfaat. Jakarta: STIK.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI