Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kejahatan Ekosida sebagai Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

16 September 2020   20:27 Diperbarui: 16 September 2020   21:29 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ekosida (Sumber: canumt.wordpress.com)

Selain UU LH, Indonesia telah memiliki produk hukum yang menyebutkan secara tegas bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan sebuah hak asasi seperti yang telah dijelaskan di awal paragraf, yaitu Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 dan juga Pasal 5 Ayat (3) UU HAM. Namun, pelanggaran terhadap lingkungan yang merupakan hak asasi atau yang dikenal dengan ekosida ini belum tertuang sebagai pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). 

Dengan tidak adanya adanya ekosida dalam UU Pengadilan HAM, dampak dari kebakaran hutan dan lahan berupa dampak ekologi bahkan merenggangnya nyawa seseorang dirasa belum cukup menjadikan ekosida sebagai pelanggaran HAM berskala berat. Selain itu, manusia juga dapat semena-mena dengan alam akibat tidak adanya penanganan hukum yang tegas ketika mereka merusak alam. 

Padahal, asap dari kebakaran ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat serius bahkan bukan hanya untuk masa sekarang namun juga untuk masa yang akan datang. Menurut data yang diperoleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terdapat 5 perusahaan dan 69 orang yang menjadi tersangka dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 (WALHI, 2019).

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyebutkan bahwa sebanyak 99% penyebab adanya kebakaran hutan dan lahan ialah akibat dari ulah manusia (Taher, 2020). Sebagai manusia seyogyanya kita menjaga lingkungan yang sedang kita singgahi saat ini sehingga dapat terus ditempati hingga di masa yang akan datang. 

Kewajiban manusia sebagai makhluk yang tinggal di bumi untuk menjaga bumi dan segala isinya ialah salah satu bentuk prinsip keadilan antar generasi yang merupakan salah satu dari tiga elemen pembangunan berkelanjutan (Sands, 1995). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengganggu generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Beder, 2006).

Keadilan antargenerasi (Intergenerational equity) ini memiliki tiga prinsip, yaitu perlindungan atas opsi (Conservation of options), perlindungan atas kualitas (Conservation of quality), dan perlindungan atas akses (Conversation of access) (Weiss, 1996). Perlindungan atas opsi ialah menjamin keberagaman pilihan atas sumber daya alam di generasi yang akan datang setidaknya tidak akan lebih buruk dari keberagaman pilihan generasi yang sekarang. 

Lalu perlindungan atas kualitas berarti generasi sekarang harus memastikan bahwa kualitas lingkungan di generasi yang akan datang tidak lebih buruk dari generasi yang sekarang. Dan yang terakhir yaitu perlindungan atas akses berarti generasi sekarang menjamin bahwa tindakan yang dilakukannya tidak akan mengurangi akses pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam generasi yang akan datang (Sohn & Weiss, 1987).

Secara etis, setiap generasi memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan agar kesehatan dan kebaikan lingkungan dapat berlanjut hingga ke generasi yang akan datang. Dalam perspektif keadilan lingkungan antar generasi, kita sebagai manusia diajarkan untuk tidak egois dalam artian tidak menggunakan lingkungan bahkan sampai merusak lingkungan hanya untuk kepentingan generasi saat ini saja. 

Tetapi, apa yang terjadi ketika ternyata manusia berperan besar dalam perusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof. Bambang Hero Suharjo, penyebab salah satu kerusakan lingkungan besar-besaran yaitu kebakaran hutan 99,9 persen dilakukan oleh manusia.

Sisanya, sebesar 0,01 persen saja yang bersumber dari keadaan alam seperti petir atau lava gunung api (Saharjo, 2016). Dari 99,9 persen peran manusia dalam kebakaran hutan dan lahan, beberapa diantaranya bahkan bukan merupakan kelalaian, melainkan sebuah kesengajaan (National Geographic, 2014).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kerugian dan kerusakan akibat kebakaran hutan terkhususnya yang terjadi di Kalimantan tidak hanya berdampak kepada lingkungan itu sendiri, namun juga terhadap makhluk hidup yang hidup diantaranya. Masih menurut Prof. Bambang, ia mengatakan bahwa kebakaran hutan pada tahun 2014 bahkan menyebabkan kawasan Indonesia terselimuti asap hingga 80 persen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun