Menurut Environmental Modification Convention, suatu kejahatan lingkungan dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekosida apabila mengakibatkan kerusakan yang parah, meluas, atau berkepanjangan terhadap lingkungan hidup (ENMOD, 1997). Kata ekosida ini pertama kali dikenalkan oleh Arthur Galston pada Conference on War and National Responsibility di Washington pada tahun 1970 (Brady, 2014).Â
Arthur Galston yang merupakan ahli biologis AS mengatakan bahwa kerusakan ekologi besar-besaran dan terdapat kerusakan hutan secara permanen yang diakibatkan oleh perang Vietnam pada tahun 1968 merupakan salah satu bentuk kejahatan lingkungan atau yang telah dikenal dengan istilah ekosida.Â
Meskipun sudah ada istilah yang diakui secara internasional, tetapi Indonesia belum menyerap kata ekosida ini ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga mungkin masih banyak masyarakat Indonesia yang merasa asing dengan kata ekosida ini.
Keberadaan ekosida dalam Statuta Roma ternyata hanya bertahan selama 26 tahun. Tidak sedikit pihak yang beranggapan bahwa kejahatan lingkungan ini bukan merupakan kejahatan serius.Â
Lalu pada tahun 1996, kejahatan ekosida dihapuskan dari Statuta Roma karena dianggap tidak bisa diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional dan hanya disisipkan pada Pasal 8 ayat (2) huruf (b) yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang (ECOSOC, 1995). Kurangnya kesadaran akan pentingnya hak atas lingkungan dapat diperlihatkan pada proyek yang sedang terjadi di Alberta, Kanada.Â
Diketahui Kanada memiliki jenis energi fosil yang dapat dimanfaatkan menjadi minyak berjenis oil sand bernama Tar Sand. Saat ini sebanyak 10% cadangan minyak dunia berada pada porsi Tar Sand yang berada di Kanada. Sebagai perbandingan, Kanada memiliki hampir 2 triliun barel minyak, sedangkan Indonesia hanya memiliki 3,65 miliar dan diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 12 tahun kedepan (Andika, 2019).
Keberlanjutan dari eksploitasi ini diketahui menghasilkan 127 hingga 140 juta ton emisi pada tahun 2020. Jika eksploitasi ini dilanjutkan maka akan mengakibatkan hilangnya hutan hingga seluas negara Inggris (Tregaskis, 2010). Contoh kejahatan lingkungan yang terjadi di Alberta hanyalah satu dari sekian contoh ekosida yang memiliki dampak luar biasa bagi lingkungan maupun bagi manusia itu sendiri. Selain itu, masih ada penebangan hutan besar-besaran yang terjadi di Hutan Hujan Amazon serta sebelah barat Virgina hingga menumpuknya sampah luar angkasa (Tregaskis, 2010).
Walaupun istilah ekosida masih terdengar asing di Indonesia, namun ternyata pada tahun 1982 Indonesia atau lebih tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur telah terjadi kebakaran hutan seluas 3,5 juta hektar yang merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah Brazil (Soeriaatmadja, 1997). Masih di Pulau Kalimantan, di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 1 juta hektar setelah pembukaan lahan akibat adanya Proyek di Lahan Gambut (PLG) (Yulianti, 2018).
Kebakaran hutan pada tahun 1997 menimbulkan berbagai dampak. Mulai hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya ozon dan ekosistem, hingga perkiraan kerugian sebesar 1,4 miliar dollar yang ditanggung oleh tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura (Rasyid, 2014).Â
Selain itu, terdapat 12.360.000 orang yang terkena dampak Kebakaran Hutan dan Lahan, mulai dari hilangnya komoditas hasil perkebunan dan tanaman pangan hingga meningkatnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) hingga adanya korban jiwa akibat adanya 1 giga ton karbon terlepas di udara (Khatarina, 2020).
Sejak tahun 1997, kebakaran hutan dan lahan gambut yang terdapat di Kalimantan Tengah terjadi berkala hingga tahun 2015 yang menyebabkan setengah hektar lahan terbakar. Dalam kasus kebakaran hutan ini, tercatat terdapat 71 perkara akibat pelanggaran UU LH dan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (WALHI, 2019).