ketidakharmonisan, konflik, dan kesulitan penyesuaian bagi masyarakat pesisir yang terkena dampak. Oleh karena itu, dalam konteks ekspor pasir putih, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kegiatan ekspor ini. Langkah-langkah mitigasi dan pengelolaan yang berkelanjutan harus diambil untuk melindungi masyarakat pesisir, termasuk pemantauan yang ketat terhadap dampak ekspor pasir putih dan mempertimbangkan alternatif penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir yang terkena dampak. Dengan demikian, dapat mengurangi potensi relokasi paksa dan menghindari konsekuensi sosial yang merugikan.
Ketika sumber daya alam yang berharga, seperti pasir putih, dieksploitasi secara intensif, hal tersebut dapat memicu konflik sosial di antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya tersebut. Persaingan yang ketat antara pengusaha, pemerintah, masyarakat lokal, dan kelompok lingkungan sering kali terjadi, yang dapat menyebabkan ketegangan dan konflik di dalam komunitas pesisir. Persaingan ini mungkin berkaitan dengan akses dan kontrol terhadap sumber daya pasir putih yang langka, serta distribusi manfaat dan keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi tersebut. Kelompok-kelompok yang terlibat mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola, seperti masalah lingkungan, dampak sosial, atau keadilan distribusi. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempromosikan dialog, partisipasi, dan kesepakatan bersama dalam mengelola sumber daya pasir putih secara berkelanjutan. Melalui pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, konflik sosial dapat diredakan, dan kepentingan semua pihak dapat diakomodasi dengan adil. Dengan demikian, komunitas pesisir dapat menghadapi eksploitasi sumber daya alam dengan lebih harmonis dan berkelanjutan.
Keuntungan yang Tak Sebanding dengan Degradasi Lingkungan
Dasar pembentukan Peraturan Pemerintah yang mengizinkan kembali pembukaan ekspor pasir putih setelah pelarangan selama dua puluh tahun adalah orientasi keuntungan yang didapat. Pemerintah berniat melakukan ekspor setelah kebutuhan dalam negeri terkait penggunaan pasir putih ini terpenuhi. Pengamat ekonomi bidang energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan bahwa keuntungan yang didapatkan melalui kegiatan ekspor pasir laut ini tidaklah besar jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan berupa kerusakan lingkungan. Berdasarkan perhitungan economic cost dan benefit analysis, benefit yang didapatkan Indonesia dari pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih tidak terlalu besar. Penjualan pasir putih per meter kubiknya dinilai berada di kisaran angka yang rendah. Dengan harga yang diberikan serta perolehan nilai benefit yang kecil kemudian dengan PNBP yang nominalnya kecil ditambah lagi dengan economic cost-nya terlalu besar, maka strategi pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih ini dinilai tidak diperhitungkan dengan matang. Terutama setelah melihat bagaimana dampak dan kerugian yang ditimbulkannya (Permana, 2023).
Selain menurut Fahmy Radhi, Prof. Daniel Murdiyarso seorang pakar bidang perubahan iklim dan lingkungan Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa pembukaan ekspor pasir putih ini hanya memiliki manfaat ekonomi dengan jangka pendek. Hal tersebut tidak sebanding dengan pengerukan yang dilakukan dan memiliki banyak dampak dengan jangka panjang terhadap kondisi lingkungan maupun sosial. Prof daniel juga menyatakan bahwa kebijakan pembukaan kembali ekspor pasir putih tidak valid karena dirumuskan tanpa melalui data dan bukti ilmiah yang meyakinkan, karena menurutnya dalam perumusan ini juga perlu memperhatikan dampak yang ditimbulkan sejauh apa melalui pendalaman laju asal deposit sedimen, kecepatan dan arah arus laut maupun stabilitas ekosistem pesisir (Raharjo, 2023). Prof daniel mengatakan apa bila program ini terus dilanjutkan akan mengakibatkan kerugian jangka panjang dan berkelanjutan yang harus ditanggung genera-generasi berikutnya dengan nominal yang lebih besar dari keuntungan yang didapatkan.
Rasa skeptikal terhadap dampak ekonomi yang akan dirasakan semakin bertambah ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan pernyataan bahwa apa yang dilakukan dalam proses penambangan pasir putih untuk kegunaan ekspor tidak merusak lingkungan karena, perhitungan daerah penambangan dibantu dengan teknologi GPS untuk mencari titik-titik tertentu dan dapat memberikan implikasi bagi perekonomian Indonesia. Namun, Luhut tidak menyebutkan berapa keuntungan yang didapatkan, apakah keuntungan yang didapatkan sebanding dengan dampak yang ditimbulkan atau malah sebaliknya (Al-Hikam, 2023). Hal tersebut tentu menimbulkan rasa pesimistis dari berbagai kalangan masyarakat karena apabila hasilnya dirasa kurang menguntungkan dengan potensi degradasi lingkungan yang dapat menguras dompet negara, seharusnya pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih terus dipertimbangkan dengan bukti dan data yang jelas.
Merujuk pada teori Unequal Ecological Exchange, ketidakseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kerugian terhadap lingkungan yang didapatkan dari sebuah kegiatan ekonomi suatu negara terkait pengelolaan sumber daya alamnya menggambarkan bahwa suatu kondisi ekonomi yang buruk sedang terjadi terutama bagi negara-negara pengekspor bahan mentah. Melihat apa yang dihasilkan oleh ekspor pasir putih setelah dijelaskan oleh para pakar memperlihatkan bahwa sistematika perumusan kebijakan Indonesia hanya melihat faktor-faktor yang memiliki pengaruh jangka pendek dengan studi ilmiah data yang validitasnya masih dipertanyakan, sehingga membuat berada dalam fase yang dijelaskan dalam teori Unequal Ecological Exchange. Pemerintah perlu meninjau ulang bagaimana keseimbangan dampak dan keuntungan melalui proses penelitian yang jelas dan terarah sehingga menghasilkan pertimbangan-pertimbangan terkait apakah kebijakan ini sudah saatnya dilakukan atau belum. Karena kesalahan pengambilan kebijakan terutama pada bidang lingkungan akan memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pengkhianatan Pemerintah terhadap Komitmen Pelestarian Lingkungan
Disamping sebagai strategi meraih keuntungan, namun pembukaan kembali ekspor pasir putih merupakan tindakan yang gegabah dari pemerintah , sebab niat awalnya sebagai sarana
mencari cuan akan berimbas dampak negatif dengan kerugian yang besar akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan. Maka dari itu, pemerintah Indonesia pernah menghentikan ekspor pasir laut melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 mengenai Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Beberapa alasan yang mendasari lahirnya surat keputusan Menperindag tahun 2003 terkait pelarangan ekspor pasir laut adalah karena pengerukan pasir laut dan sedimentasi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia, terkhusus di daerah terluar wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai dampak dari penambangan pasir laut. Selain itu, kala itu juga problematika terkait sengketa perbatasan Indonesia dan Singapura yang belum terselesaikan sebagaimana adanya proyek reklamasi yang dilakukan Pemerintah Singapura dengan menggunakan bahan baku pasir laut yang berasal dari daerah Kepulauan Riau. Melihat dampak tersebut pemerintah Indonesia kala itu memutuskan untuk menghentikan proyek ini dengan dasar meminimalisir kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah pesisir. Namun, kepedulian Indonesia kala itu tidak dipahami sebagai tindakan yang bijak oleh pemerintah Indonesia saat ini dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang hanya berorientasi terhadap keuntungan dan cuan tanpa memperhatikan dampak-dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan.
Manajer kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin, menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut akan beresiko mengurangi jumlah pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia, karena sedimen pasir yang dikeruk dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi yang tinggi. Berdasarkan catatan WALHI, terdapat sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan Kepulauan lainnya yang ada sudah tenggelam (Aisyah, 2023). Pengerukan pasir laut ini berpotensi menenggelamkan kurang lebih sekitar 115 pulau kecil di wilayah perairan Indonesia. Dewasa ini potensi tenggelamnya beberapa pulau di Indonesia telah diperparah dengan perubahan iklim atau climate change melalui ramalan ramalan ilmiahnya. Susi Pudjiastuti berpendapat bahwa perubahan iklim atau climate change sudah dan akan berdampak terhadap masyarakat dan jangan sampai diperparah dengan proyek penambangan pasir putih ini ( Safitri, 2023)