Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembukaan Kembali Ekspor Pasir Putih: Langkah Mencari Keuntungan atau Degradasi Lingkungan?

10 September 2023   21:32 Diperbarui: 10 September 2023   21:34 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KAMUS#6 Kajian Kastrat BEM FISIP UPNVJ

Pendahuluan

Pada masa modern aktivitas manusia kerap kali memberikan dampak negatif terhadap lingkungan terutama dalam ekosistem industri yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan. Sejak masa awal industri modern tercipta, lingkungan seringkali tidak dipandang sebagai suatu yang memiliki signifikansi bagi para pebisnis sehingga degradasi lingkungan terus bertambah dan membahayakan keamanan ekosistem yang menyangkut manusia dan lingkungan itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan berbagai kalangan baik akademisi, aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait, bahkan pemerintah melakukan gebrakan langkah baru demi menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang berkelanjutan.

Berkebalikan dari itu, pemerintah Indonesia dibawah kepresidenan Joko Widodo kembali membuka izin terkait ekspor pasir laut yang diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diresmikan pada tanggal 15 Mei 2023. Aturan tersebut berisikan mengenai rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan yang didalamnya termasuk penjualan ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut. Keputusan ini dirasa sebuah kemunduran bagi upaya proteksi lingkungan demi meminimalisir dampak-dampak yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat pesisir secara khusus. Terutama di daerah pesisir Sumatera yang mulai merasakan dampak berupa kenaikan tingkat abrasi.

Melihat beberapa tahun kebelakang, keputusan yang menumbalkan lingkungan demi mendapat suntikan ekonomi yang besar guna membiayai berbagai keperluan pemilu, membuat munculnya pikiran-pikiran bahwa pemerintah sedang melakukan strategi yang sama guna menyambut Pemilu 2024 yang proses pelaksanaannya sudah mulai dilakukan, ditambah lagi Pengesahan undang-undang ini pada dasarnya bertentangan undang-undang lainnya yang melarang dilakukannya ekspor pasir laut. Pelarangan ekspor pasir laut tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir laut yang ditandatangani pada 28 Februari 2003 oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan kala itu Rini Soemarno dengan alasan untuk mencegah perluasan kerusakan lingkungan. Penghentian ekspor ini dikarenakan ekspor pasir laut ini memberikan dampak yang sangat urgen terutama bagi daerah daerah perbatasan antara Indonesia dan Singapura, karena masih menjadi perdebatan mengenai batas batas teritorial negara, ditambah lagi dengan proyek reklamasi singapura yang menggunakan bahan baku berupa pasir laut yang berasal dari kepulauan Riau.

Pembukaan kembali ekspor pasir putih ini ditujukan untuk kebutuhan ekonomi namun memiliki dampak yang buruk bagi keberlangsungan lingkungan sehingga menimbulkan berbagai protes keras. Pemerintah selaku law maker seharusnya mempertimbangkan bagaimana dampak

lingkungan yang ditimbulkan disamping memberikan suntikan ekonomi bagi pendapat negara, karena tentu tidak ada artinya apabila besarnya dampak ekonomi diikuti dengan kerusakan ekosistem dan lingkungan yang dapat memberikan tekanan kerugian bukan hanya untuk generasi saat ini namun juga generasi yang akan datang. Selain pemerintah, masyarakat perlu memonitor apabila sekiranya kebijakan ini menghasilkan sesuatu yang tidak sesuai dan memberikan dampak negatif bagi masyarakat khususnya masyarakat di daerah pesisir yang harus menerima imbas dari terealisasinya program ini.

Landasan Teori

Teori Unequal Ecological Exchange

Pertukaran yang tidak setara secara ekologis dibangun di atas hipotesis Prebisch-Singer yang menyatakan bahwa kondisi perdagangan yang memburuk terjadi pada negara-negara yang mengekspor bahan mentah (Prebisch 1950; Singer 1950). Akibatnya, negara-negara kaya menjadi lebih kaya dengan memusatkan keuntungan dari sumber daya ini, sementara negara-negara miskin menjadi semakin miskin karena masyarakat mereka berubah untuk memberikan sumber daya ini kepada negara-negara maju dengan harga terendah (Cardoso dan Faletto 1979; Bunker 1985). Seperti yang dikembangkan oleh aliran ketergantungan atau aliran strukturalis, negara "pinggiran" dalam struktur global dilihat sebagai peran yang kalah dibandingkan dengan "pusat", di mana negara-negara kaya menarik sumber daya dan tenaga kerja murah dari seluruh dunia untuk membuat produk bernilai tinggi yang dapat mereka ekspor kembali ke pinggiran.

Teori pertukaran yang tidak setara secara ekologis menyatakan bahwa negara-negara yang lebih maju dan lebih banyak mengkonsumsi sebagian biaya lingkungan berbasis konsumsi dan produksi mereka ke negara-negara yang kurang berkembang, yang pada gilirannya meningkatkan bentuk-bentuk degradasi lingkungan di negara-negara yang kurang berkembang tersebut (misalnya, Hornborg 2001; Jorgenson 2006; Rice 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa proses struktural dari pertukaran yang tidak setara secara ekologis ini sebagian besar terjadi melalui "aliran vertikal" ekspor dari negara kurang berkembang ke negara yang lebih maju (misalnya, Jorgenson 2006). Secara umum, populasi negara-negara yang lebih maju diposisikan secara menguntungkan dalam ekonomi dunia kontemporer, dan dengan demikian lebih mungkin untuk mengamankan dan mempertahankan persyaratan perdagangan yang menguntungkan, memungkinkan akses yang lebih besar ke sumber daya alam dan kapasitas penyerapan daerah bioproduktif di negara-negara yang kurang berkembang. Akses yang lebih besar ini memfasilitasi eksternalisasi biaya lingkungan dari konsumsi, ekstraksi sumber daya, dan produksi ke negara pinggiran, yang berkontribusi pada peningkatan penipisan sumber daya dan kerusakan lingkungan di dalam negara mereka. Dengan kata lain, proses struktural ini membantu menciptakan kondisi di mana negara-negara yang lebih maju dapat memanfaatkan "ruang lingkungan" global secara berlebihan, yang mencakup persediaan sumber daya alam dan sifat asimilasi limbah dari sistem ekologi yang mendukung organisasi sosial manusia (Rice 2007).

Istilah negara inti dan negara pinggiran diadopsi dan diuraikan oleh para sosiolog Amerika Utara dalam tradisi teori sistem dunia (Wallerstein 2011; Chase-Dunn 1998). Istilah-istilah tersebut tidak hanya berbicara tentang pembagian kerja internasional, tetapi juga tentang cara-cara di mana nilai lebih dari produksi barang dan jasa transnasional terkonsentrasi secara tidak merata di seluruh wilayah geografis. Seperti yang dikatakan oleh Arrighi dan Drangel (1985:12), "Kegiatan negara inti adalah kegiatan yang menguasai sebagian besar dari total surplus yang dihasilkan dalam suatu rantai komoditas dan kegiatan periferal adalah kegiatan yang menguasai sedikit atau bahkan tidak sama sekali." Para ahli teori sistem dunia kemudian menambahkan sebuah pembagian ke dalam perangkat konseptual mereka yang berada di antara negara-negara teratas dan terbawah: semi-periferi, yang mewakili bagian tengah dari pembagian kerja global, dengan aktivitas inti dan periferi (Arrighi dan Drangel 1985). Karakteristik utama dari negara semi-pinggiran adalah bahwa negara ini bertindak sebagai perantara antara negara inti dan negara pinggiran di sekitarnya (Wallerstein 1979). Negara-negara semi-periferi ini memimpin eksploitasi negara-negara lain di wilayah mereka untuk membawa sumber daya mereka ke pasar dunia, mengelola tenaga kerja dan investasi di sana. Dengan demikian, mereka mengembangkan ekonomi bimodal atau ekonomi campuran, dengan sektor-sektor yang sangat modern dan wilayah internal yang luas yang terus hidup dalam kondisi pramodern (Hecht dkk. 1988).

Para ahli teori sistem dunia telah lama berargumen bahwa meskipun struktur sistem dunia relatif konsisten dari waktu ke waktu, masing-masing negara dapat bergerak naik atau turun dalam hirarki (Arrighi dan Drangel 1985:28). Arrighi dan Drangel (1985) kemudian berpendapat bahwa negara-negara semi-periferi berusaha mengeksploitasi keuntungan-keuntungan yang berbeda dari posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dalam sistem dunia. Secara khusus, mereka "menolak periferalisasi dengan mengeksploitasi keuntungan pendapatan mereka dibandingkan dengan negara pinggiran dan keuntungan biaya mereka dibandingkan dengan negara inti" (Arrighi dan Drangel 1985:27). Mereka menunjuk pada strategi domestik yang terkait dengan pengelolaan posisi mereka dalam rantai komoditas global sebagai mekanisme utama yang digunakan untuk melakukan hal ini.

Ecologically unequal exchange has built from understandings of structurally conditioned unequal exchange in commodities, pricing and labor, to unequal access by wealthy countries to natural resources, ecological well-being, and sink capacities in poor countries (Frey 2015; Hornborg 2001; Rice 2007; Jorgenson and Clark 2009; Shandra et al. 2009). For example, Rice (2007:43) defines ecologically unequal exchange as "the increasingly disproportionate utilization of ecological systems and externalization of negative environmental costs by core industrialized countries and, consequently, declining utilization opportunities and imposition of exogenous environmental burdens within the periphery." Counter to ideas of ecological modernization that posit a delinking of capitalist growth from environmental degradation in 'modernized' societies (e.g. Mol and Spaargaren 2000), ecologically unequal exchange scholars argue that ecological harm is externalized by wealthy countries onto poor ones, and ecological well-being is expropriated from them. Importantly, it is argued that these processes of inequality related to the

environmental issues such as agriculture, mining and energy are sustained by global systems of governance and elite controlled networks, institutions, and organizations (Downey 2015).

Pertukaran yang tidak setara secara ekologis telah berkembang dari pemahaman tentang pertukaran yang tidak setara secara struktural dalam komoditas, harga dan tenaga kerja, hingga akses yang tidak setara oleh negara-negara kaya terhadap sumber daya alam, kesejahteraan ekologis, dan kapasitas penyerap di negara-negara miskin (Frey 2015; Hornborg 2001; Rice 2007; Jorgenson dan Clark 2009; Shandra dkk. 2009). Sebagai contoh, Rice (2007:43) mendefinisikan pertukaran ekologis yang tidak setara sebagai "pemanfaatan sistem ekologi yang semakin tidak proporsional dan eksternalisasi biaya lingkungan yang negatif oleh negara-negara industri inti dan, sebagai akibatnya, menurunnya peluang pemanfaatan dan pembebanan beban lingkungan eksogen di negara pinggiran." Berlawanan dengan gagasan modernisasi ekologi yang menyatakan bahwa pertumbuhan kapitalis tidak dapat dipisahkan dari degradasi lingkungan di masyarakat 'modern' (misalnya Mol dan Spaargaren 2000), para ahli dalam teori pertukaran tidak setara ini berpendapat bahwa kerugian ekologi eksternalisasi oleh negara-negara kaya ke negara-negara miskin, dan kesejahteraan ekologi dirampas dari mereka. Lebih penting lagi, proses ketidaksetaraan yang terkait dengan isu lingkungan seperti pertanian, pertambangan dan energi ini ditopang oleh sistem tata kelola global dan jaringan, lembaga, dan organisasi yang dikendalikan oleh elit (Downey 2015).

Hence, EUE theory argues that largely through the structure of international trade, wealthier, more powerful countries within the Global North have disproportionate access to natural resources and sink capacity---the ability of the environment to absorb waste products---within Global South nations. These natural resources and waste are linked to all stages along global commodity chains, including extraction, production, consumption, and disposal. These material flows result in both the unequal distribution of environmental harms and suppressed human wellbeing of populations within Global South nations (Gellert, Frey, & Dahms, 2017; Hornborg, 1998b, 2009; Jorgenson, 2006, 2016b; Jorgenson & Clark, 2009a, 2009b; Rice, 2007a, 2007b). EUE theory draws attention to the displacement of some environmental harms spatially, to other locations across the planet, and temporally, to future generations; these spatial and temporal dynamics are commonly referred to as environmental load displacement (Hornborg, 2006, 2009; Muradian & MartinezAlier, 2001a; Muradian, O'Connor, & MartinezAlier, 2002).

Oleh karena itu, teori EUE berpendapat bahwa sebagian besar ketidaksetaraan berasal

dari struktur perdagangan internasional, serta negara-negara yang lebih kaya dan lebih kuat di Global North memiliki akses yang tidak proporsional terhadap sumber daya alam. Sumber daya alam ini terkait dengan semua tahap dalam rantai komoditas global, termasuk ekstraksi, produksi, dan konsumsi. Aliran material ini menghasilkan distribusi kerusakan lingkungan yang tidak merata dan menekan kesejahteraan manusia di negara-negara Selatan Global (Gellert, Frey, & Dahms, 2017; Hornborg, 1998b, 2009; Jorgenson, 2006, 2016b; Jorgenson & Clark, 2009a, 2009b; Rice, 2007a, 2007b). Teori EUE menarik perhatian pada perpindahan beberapa kerusakan lingkungan secara spasial, ke lokasi lain di seluruh planet ini, dan secara temporal, ke generasi

mendatang; dinamika spasial dan temporal ini biasanya disebut sebagai perpindahan beban lingkungan (Hornborg, 2006, 2009; Muradian & Martinez-Alier, 2001a; Muradian, O'Connor, & Martinez-Alier, 2002).

Pembahasan

Aktor Dibalik Diresmikannya Kebijakannya Ini, Siapa yang Diuntungkan?

Presiden Jokowi mengeluarkan mandat khusus yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada 15 Mei 2023 lalu. Sebagai bagian dari upaya terintegrasinya sebuah program yang meliputi pada perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di laut, secara garis besar peraturan tersebut menjadi landasan hukum yang berlaku saat ini sekaligus bentuk atas pencabutannya regulasi lama yakni, Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Salah satu instruksi yang diberikan Presiden kepada menterinya ialah didalam Pasal 9 ayat Bab IV butir 2, mengenai ekspor pasir laut keluar negeri sebagai tujuan pemanfaatan pasir laut yang akan digunakan untuk proyeksi reklamasi, infrastruktur dan pembangunan prasarana masyarakat.

Pemeran atau tokoh (aktor) yang terlibat dalam perencanaan dan proyek ekspor pasir laut tersebut, menjadi sorotan publik dimana dinamika tersebut menjadi sebuah pertanyaan publik atas isu yang beredar, apakah kebijakan tersebut untuk menutupi segala defisit yang terjadi pada proyek-proyek yang sedang berlangsung seperti kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dan Ibukota Negara Nusantara (IKN), dan timbul pula pandangan publik mengenai ekspor pasir laut sama dengan "Jual Tanah Air demi Cuan". Presiden Jokowi menjadi aktor penting dari segala kebijakan publik dengan diinstruksikan pula kepada jajaran kementerian dan lembaga terkait dalam proyeksi tersebut. Karena pada pelaksanaannya, memerlukan beberapa izin usaha dan penambangan serta distribusi lewat bea untuk terlaksananya kegiatan ekspor pasir laut, dengan ini Presiden Jokowi menyerahkan mandatnya kepada 3 Kementerian.

Instruksi tersebut secara eksplisit tertuang pada Pasal 1 ayat 7 diterangkan bahwa pemanfaatan pasir laut adalah izin yang diterbitkan oleh Menteri untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut. Menteri yang dimaksud pada pasal mengarah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dan diperjelas pada Pasal 1 ayat 9, Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan pada bidang kelautan. Pada jumpa pers pun Trenggono menjelaskan bahwa rencana ini pula membantu Reklamasi di IKN dan kegiatan ekspor, ia menilai bahwa sedimentasi laut berguna untuk pengalihan kepada IKN dengan pengawasan serta penggunaan yang sebaik-baiknya sesuai dengan instrumen PP Nomor 26 Tahun 2023, dengan begitu rencana ini dipersiapkan dengan matang sebagai tindak lanjut sikap kementrian melalui kajian dengan stakeholder terkait seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Walhi, Greenpeace, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan stakeholder yang terkait, ditambah dengan segeranya penerbitan Peraturan Menteri (Permen). Instruksi Presiden Jokowi pula mengarah kepada Kementerian ESDM, Arifin Tasrif. Pada Pasal 10 ayat 4

diterangkan bahwa, Izin usaha pertambangan untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijamin penerbitannya oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara atau gubernur sesuai dengan kewenangannya setelah melalui kajian oleh tim kajian dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Dan Kementrian terakhir jatuh kepada Kementerian Perdagangan, Zulkifli Hasan. Sesuai dengan mandatnya pada Pasal 15 Ayat 2 yang menyebut Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut untuk ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d wajib mendapatkan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. Sedangkan di Ayat 4 disebutkan bahwa perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri dan dikenakan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari strategisnya proyeksi yang dibuat secara matang untuk terwujudnya PP tersebut, maka banyak sekali mengundang perhatian Investor. Bisnis ini pula menjadi sorotan kepada negara-negara yang membutuhkan Sedimentasi pasir laut untuk pembuatan Reklamasi di negaranya, seperti Singapura. Presiden Jokowi memainkan perannya dalam proyek strategis tersebut kepada Singapura. Pada intinya pengerukan dan izin penambangan pasir laut sangat sekali memiliki nilai bisnis yang besar. Keuntungan tersebut dapat diraup oleh para Pengusaha, Investor, Elit, dan kepentingan bisnis kepada negara lain.

Dampak Sosial Terhadap Masyarakat Lokal

Ekspor pasir putih memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi dengan rata-rata hingga 300 hingga 800 triliun. Pemerintah menyebutkan bahwa ekspor pasir putih tidak berdampak pada lingkungan dan terumbu karang karena pasir yang diambilnya adalah pasir sedimentasi. Hal tersebut hanyalah omongan belaka yang hanya meminimalisir guncangan suara dari pakar dan warga setempat. Alih alih untuk menguntungkan malahan merugikan lingkungan. Pakar menyebutkan jika pemerintah ingin memperbaiki lingkungan laut dan terumbu karang seharusnya benahi hulu sungai terdahulu atau mencegah terjadinya sedimentasi pasir laut. Negara tetangga seperti malaysia, vietnam dan kamboja sudah melarang dengan adanya ekspor pasir putih di negaranya. Dengan adanya momentum ini pemerintah indonesia melihat bisa menghasilkan keuntungan yang besar bila dilakukan ekspor pasir putih terlebih negara singapura menjadi salah satu negara dengan import pasir putih terbesar. Jika memang terjadi ekspor pasir putih dilakukan dengan hukum yang sah akan menimbulkan ekspor pasir besar besaran dikarenakan minat pasar yang cukup tinggi dan penggunaan pasir putih untuk membuat pulau reklamasi.

Mengekspor pasir putih dalam jumlah besar dapat berdampak negatif terhadap sumber daya pasir pantai. Fenomena ini dapat berdampak negatif bagi masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada pasir, yang merupakan sumber daya penting untuk berbagai kegiatan seperti pembangunan infrastruktur, sektor industri lokal, dan mata pencaharian tradisional seperti

kerajinan tangan. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap pasir sebagai sumber daya primer menyebabkan berkurangnya pasokan pasir dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk membangun infrastruktur yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan pertumbuhan ekonomi lokal. Industri yang membutuhkan pasir lokal, seperti konstruksi dan manufaktur, juga dapat terpengaruh oleh pengurangan pasir yang signifikan. Selain itu, penggunaan pasir dalam kerajinan tradisional, seperti pembuatan patung, benda seni dan dekoratif, terancam karena kelangkaan sumber daya pasir. Hal ini dapat mengganggu ekonomi lokal, mengurangi kesempatan kerja dan merusak keberlanjutan budaya dan warisan masyarakat pesisir. Dalam kaitan ini, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan keberlanjutan ekspor pasir putih untuk melindungi sumber daya pasir yang penting bagi masyarakat pesisir. Mengamankan masyarakat pesisir, pengelolaan yang bijaksana dan penggantian atau diversifikasi sumber daya alam harus dipertimbangkan untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan mereka.

Proses ekstraksi pasir putih yang dilakukan secara besar-besaran memiliki potensi mengakibatkan kerusakan serius terhadap ekosistem pesisir. Aktivitas ini dapat mengganggu kehidupan organisme laut, merusak habitat terumbu karang yang penting, serta mengurangi ketersediaan sumber daya ikan di perairan tersebut. Dampak tersebut berpotensi merugikan mata pencaharian para nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan di daerah tersebut.Selain itu, kerusakan ekosistem akibat ekstraksi pasir putih juga dapat mengganggu keseimbangan ekologi lokal. Organisme laut yang merupakan bagian penting dari rantai makanan dan ekosistem pesisir mungkin terancam atau mengalami perubahan populasi yang signifikan. Ini berpotensi mengganggu keberlanjutan ekosistem, termasuk sumber daya perikanan yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, perlindungan ekosistem pesisir dan pengelolaan yang berkelanjutan perlu menjadi perhatian utama dalam proses ekstraksi pasir putih. Langkah-langkah mitigasi yang tepat harus diimplementasikan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap kehidupan laut, terumbu karang, dan sumber daya ikan, serta untuk melindungi mata pencaharian nelayan dan mempertahankan keseimbangan ekologi yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Jika ekspor pasir putih yang dilakukan dalam skala yang besar menyebabkan penurunan sumber daya pasir secara signifikan di daerah pesisir, maka masyarakat pesisir akan menghadapi konsekuensi yang serius. Salah satu kemungkinan adalah terjadinya relokasi paksa, di mana mereka terpaksa mencari mata pencaharian baru di tempat lain. Relokasi seperti ini dapat memiliki dampak sosial yang signifikan terhadap masyarakat pesisir. Mereka harus meninggalkan tempat kelahiran dan tempat tinggal mereka yang sudah dikenal dengan baik, meninggalkan ikatan sosial dan budaya yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Ini dapat mengganggu struktur sosial yang ada dan mengubah cara hidup mereka secara drastis. Relokasi yang dipaksakan juga dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial di masyarakat pesisir. Perpindahan besar-besaran seperti ini dapat menimbulkan ketegangan antara masyarakat yang pindah dan masyarakat yang ada di tempat tujuan baru, serta dapat mengakibatkan persaingan dalam mendapatkan sumber daya dan penghidupan baru. Hal ini dapat menciptakan

ketidakharmonisan, konflik, dan kesulitan penyesuaian bagi masyarakat pesisir yang terkena dampak. Oleh karena itu, dalam konteks ekspor pasir putih, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kegiatan ekspor ini. Langkah-langkah mitigasi dan pengelolaan yang berkelanjutan harus diambil untuk melindungi masyarakat pesisir, termasuk pemantauan yang ketat terhadap dampak ekspor pasir putih dan mempertimbangkan alternatif penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir yang terkena dampak. Dengan demikian, dapat mengurangi potensi relokasi paksa dan menghindari konsekuensi sosial yang merugikan.

Ketika sumber daya alam yang berharga, seperti pasir putih, dieksploitasi secara intensif, hal tersebut dapat memicu konflik sosial di antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya tersebut. Persaingan yang ketat antara pengusaha, pemerintah, masyarakat lokal, dan kelompok lingkungan sering kali terjadi, yang dapat menyebabkan ketegangan dan konflik di dalam komunitas pesisir. Persaingan ini mungkin berkaitan dengan akses dan kontrol terhadap sumber daya pasir putih yang langka, serta distribusi manfaat dan keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi tersebut. Kelompok-kelompok yang terlibat mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola, seperti masalah lingkungan, dampak sosial, atau keadilan distribusi. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempromosikan dialog, partisipasi, dan kesepakatan bersama dalam mengelola sumber daya pasir putih secara berkelanjutan. Melalui pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, konflik sosial dapat diredakan, dan kepentingan semua pihak dapat diakomodasi dengan adil. Dengan demikian, komunitas pesisir dapat menghadapi eksploitasi sumber daya alam dengan lebih harmonis dan berkelanjutan.

Keuntungan yang Tak Sebanding dengan Degradasi Lingkungan

Dasar pembentukan Peraturan Pemerintah yang mengizinkan kembali pembukaan ekspor pasir putih setelah pelarangan selama dua puluh tahun adalah orientasi keuntungan yang didapat. Pemerintah berniat melakukan ekspor setelah kebutuhan dalam negeri terkait penggunaan pasir putih ini terpenuhi. Pengamat ekonomi bidang energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan bahwa keuntungan yang didapatkan melalui kegiatan ekspor pasir laut ini tidaklah besar jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan berupa kerusakan lingkungan. Berdasarkan perhitungan economic cost dan benefit analysis, benefit yang didapatkan Indonesia dari pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih tidak terlalu besar. Penjualan pasir putih per meter kubiknya dinilai berada di kisaran angka yang rendah. Dengan harga yang diberikan serta perolehan nilai benefit yang kecil kemudian dengan PNBP yang nominalnya kecil ditambah lagi dengan economic cost-nya terlalu besar, maka strategi pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih ini dinilai tidak diperhitungkan dengan matang. Terutama setelah melihat bagaimana dampak dan kerugian yang ditimbulkannya (Permana, 2023).

Selain menurut Fahmy Radhi, Prof. Daniel Murdiyarso seorang pakar bidang perubahan iklim dan lingkungan Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa pembukaan ekspor pasir putih ini hanya memiliki manfaat ekonomi dengan jangka pendek. Hal tersebut tidak sebanding dengan pengerukan yang dilakukan dan memiliki banyak dampak dengan jangka panjang terhadap kondisi lingkungan maupun sosial. Prof daniel juga menyatakan bahwa kebijakan pembukaan kembali ekspor pasir putih tidak valid karena dirumuskan tanpa melalui data dan bukti ilmiah yang meyakinkan, karena menurutnya dalam perumusan ini juga perlu memperhatikan dampak yang ditimbulkan sejauh apa melalui pendalaman laju asal deposit sedimen, kecepatan dan arah arus laut maupun stabilitas ekosistem pesisir (Raharjo, 2023). Prof daniel mengatakan apa bila program ini terus dilanjutkan akan mengakibatkan kerugian jangka panjang dan berkelanjutan yang harus ditanggung genera-generasi berikutnya dengan nominal yang lebih besar dari keuntungan yang didapatkan.

Rasa skeptikal terhadap dampak ekonomi yang akan dirasakan semakin bertambah ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan pernyataan bahwa apa yang dilakukan dalam proses penambangan pasir putih untuk kegunaan ekspor tidak merusak lingkungan karena, perhitungan daerah penambangan dibantu dengan teknologi GPS untuk mencari titik-titik tertentu dan dapat memberikan implikasi bagi perekonomian Indonesia. Namun, Luhut tidak menyebutkan berapa keuntungan yang didapatkan, apakah keuntungan yang didapatkan sebanding dengan dampak yang ditimbulkan atau malah sebaliknya (Al-Hikam, 2023). Hal tersebut tentu menimbulkan rasa pesimistis dari berbagai kalangan masyarakat karena apabila hasilnya dirasa kurang menguntungkan dengan potensi degradasi lingkungan yang dapat menguras dompet negara, seharusnya pembukaan kembali perizinan ekspor pasir putih terus dipertimbangkan dengan bukti dan data yang jelas.

Merujuk pada teori Unequal Ecological Exchange, ketidakseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kerugian terhadap lingkungan yang didapatkan dari sebuah kegiatan ekonomi suatu negara terkait pengelolaan sumber daya alamnya menggambarkan bahwa suatu kondisi ekonomi yang buruk sedang terjadi terutama bagi negara-negara pengekspor bahan mentah. Melihat apa yang dihasilkan oleh ekspor pasir putih setelah dijelaskan oleh para pakar memperlihatkan bahwa sistematika perumusan kebijakan Indonesia hanya melihat faktor-faktor yang memiliki pengaruh jangka pendek dengan studi ilmiah data yang validitasnya masih dipertanyakan, sehingga membuat berada dalam fase yang dijelaskan dalam teori Unequal Ecological Exchange. Pemerintah perlu meninjau ulang bagaimana keseimbangan dampak dan keuntungan melalui proses penelitian yang jelas dan terarah sehingga menghasilkan pertimbangan-pertimbangan terkait apakah kebijakan ini sudah saatnya dilakukan atau belum. Karena kesalahan pengambilan kebijakan terutama pada bidang lingkungan akan memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Pengkhianatan Pemerintah terhadap Komitmen Pelestarian Lingkungan

Disamping sebagai strategi meraih keuntungan, namun pembukaan kembali ekspor pasir putih merupakan tindakan yang gegabah dari pemerintah , sebab niat awalnya sebagai sarana

mencari cuan akan berimbas dampak negatif dengan kerugian yang besar akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan. Maka dari itu, pemerintah Indonesia pernah menghentikan ekspor pasir laut melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 mengenai Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Beberapa alasan yang mendasari lahirnya surat keputusan Menperindag tahun 2003 terkait pelarangan ekspor pasir laut adalah karena pengerukan pasir laut dan sedimentasi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia, terkhusus di daerah terluar wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai dampak dari penambangan pasir laut. Selain itu, kala itu juga problematika terkait sengketa perbatasan Indonesia dan Singapura yang belum terselesaikan sebagaimana adanya proyek reklamasi yang dilakukan Pemerintah Singapura dengan menggunakan bahan baku pasir laut yang berasal dari daerah Kepulauan Riau. Melihat dampak tersebut pemerintah Indonesia kala itu memutuskan untuk menghentikan proyek ini dengan dasar meminimalisir kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah pesisir. Namun, kepedulian Indonesia kala itu tidak dipahami sebagai tindakan yang bijak oleh pemerintah Indonesia saat ini dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang hanya berorientasi terhadap keuntungan dan cuan tanpa memperhatikan dampak-dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan.

Manajer kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin, menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut akan beresiko mengurangi jumlah pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia, karena sedimen pasir yang dikeruk dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi yang tinggi. Berdasarkan catatan WALHI, terdapat sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan Kepulauan lainnya yang ada sudah tenggelam (Aisyah, 2023). Pengerukan pasir laut ini berpotensi menenggelamkan kurang lebih sekitar 115 pulau kecil di wilayah perairan Indonesia. Dewasa ini potensi tenggelamnya beberapa pulau di Indonesia telah diperparah dengan perubahan iklim atau climate change melalui ramalan ramalan ilmiahnya. Susi Pudjiastuti berpendapat bahwa perubahan iklim atau climate change sudah dan akan berdampak terhadap masyarakat dan jangan sampai diperparah dengan proyek penambangan pasir putih ini ( Safitri, 2023)

Berdasarkan sebuah buku yang ditulis oleh David Wallace-Wells dengan judul The Uninhabitable Earth : The Story About Future menjelaskan bahwa negara-negara di dunia selatan merupakan negara dengan potensi terdampak paling tinggi dibandingkan negara-negara di utara (Wallace-wells, 2018). Berdasarkan data International Panel on Climate Change (IPCC) Indonesia merupakan salah satu negara yang paling berpotensi tenggelam nomor sembilan setelah Myanmar dan Jepang. Sebagai salah satu negara yang berada di khatulistiwa potensi tenggelam beberapa kota di Indonesia dikategorikan sangat tinggi. Dengan skenario peningkatan suhu sekitar 4 derajat celcius , terdapat lebih dari 90 persen kawasan tempat tinggal di hampir 300 UA, akan berada di bawah garis pasang dalam kurun waktu berabad-abad. Dari total 90 persen tersebut, sepertiganya berasal dari Asia, bahkan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya menjadi salah satu kota dengan kemungkinan tenggelam tertinggi berdasarkan skenario pemanasan global 1,5 ; 2,3 ; dan 4 derajat celcius (IPCC, 2022).

Perhitungan tersebut belum didasari pada perhitungan skenario apabila pemanasan global mendorong pencairan es di Antartika. Jika, lapisan es di daerah Antartika mulai mencair maka tidak menutup kemungkinan bahwa kedepan permukaan laut akan jauh meningkat lebih tinggi dari skenario yang digambarkan dalam perhitungan tersebut. Skenario secara global permukaan laut akan meningkat 21 persen atau 1 meter lebih tinggi apabila terjadi kenaikan 2 derajat celsius dan meningkat 27 persen atau 1,5 meter apabila terjadi kenaikan suhu sebesar 4 derajat celcius (IPCC, 2022). Bayangkan beberapa kota besar yang menjadi tempat tinggal banyak masyarakat Indonesia memiliki potensi cukup tinggi untuk tenggelam, apalagi daerah pesisir dan pulau pulau kecil lainnya di Indonesia yang pastinya memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi untuk menghilang terutama apabila proyek pertambangan pasir laut dan pengerukan sedimentasi laut ini terus dilanjutkan. Bisa dibayangkan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat sekitar dan juga seberapa cepat daerah daerah tersebut akan menghilang dari peta dunia. Apabila proyek ekspor pasir putih tetap dilaksanakan, maka hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan Indonesia terhadap komitmennya untuk menjaga kelestarian lingkungan serta meminimalisir dampak-dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim salah satunya adalah terkait kenaikan tinggi permukaan laut. Selain menambah ketinggian air laut, penambangan pasir laut juga dapat berdampak pada terjadinya intrusi air laut secara masif, hal ini dapat memberikan penurunan skala kelayakan hidup masyarakat yang ada. Selain itu, pemerintah juga mengkhianati konstitusi dalam hal tujuan dibentuknya negara ini, karena proyek ini dapat mengancam dapat memberikan ancaman langsung bagi masyarakat Indonesia di pesisir dan memberikan dampak negatif secara tidak langsung bagi generasi Indonesia saat ini dan generasi yang akan datang terkait kesejahteraan mereka yang direnggut akibat pengingkaran Indonesia terhadapnya komitmennya dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 dianggap sebagai langkah mundur dalam komitmen indonesia untuk menjaga dan melestarikan ekosistem laut. Pembukaan kembali izin ekspor pasir laut akan berdampak negatif pada ekosistem lingkungan di daerah pesisir. Penambangan pasir laut akan memberikan ancaman yang signifikan dan merusak keberlanjutan ekosistem laut, terutama di wilayah tambang pasir laut itu sendiri. Penambangan pasir laut dapat menambah tingkat kekeruhan perairan laut yang berdampak pada ekosistem terumbu karang. Karena air yang keruh, penetrasi masuknya cahaya akan mengalami penurunan, sehingga akan merusak ekosistem lamun yang ada (Handiyatno, 2023). Proyek penambangan ini juga akan menimbulkan turbulensi yang berakibat pada peningkatan kadar kepadatan tersuspensi di dasar laut dan dapat meningkatkan pencemaran pantai (CNN, 2023)

Daftar Pustaka

Aisah, N. (2023). Studi Ungkap Negara Paling Terdampak Perubahan Iklim, Bagaimana Indonesia?.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5771365/studi-ungkap-negara-paling-terdampak-peruba han-iklim-bagaimana-indonesia/3. Diakses pada 23 Juni 2023.

Al Hikam, H, A. (2023). Menimbang Keuntungan Ekspor Pasir Laut Dibuka Lagi Setelah 20 Tahun.

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6747997/menimbang-keuntungan-ekspor-pasir

-laut-dibuka-lagi-setelah-20-tahun. Diakses pada 24 Juni 2023

BBC News. (2023). Mengapa Kebijakan Ekspor Pasir Laut Ditolak Pegiat Lingkungan dan Negara Mana yang Diuntungkan?. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0wv9q3q941o. Diakses pada 23 Juni 2023.

CNN Indonesia. (2023).10 Dampak Penambangan Pasir Laut terhadap Lingkungan. https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230530174526-569-955939/10-dampak-penambangan

-pasir-laut-terhadap-lingkungan. Diakses pada 23 Juni 2023.

Handiyatno, T. (2023). 5 Dampak Ekspor Pasir Laut bagi Ekosistem Perairan Indonesia. https://koran.tempo.co/read/berita-utama/482341/5-dampak-ekspor-pasir-laut-bagi-ekosistem-per airan-indonesia#:~:text=Pembukaan%20izin%20ekspor%20pasir%20laut,di%20wilayah%20tam bang%20pasir%20laut. Diakses pada 23 Juni 2023.

International Panel on Climate Change. (2022). Climate Change 2022 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/. Diakses pada 23 Juni 2023.

Permana, I. (2023). Keuntungan Ekspor Pasir Laut Tak Sebanding dengan Kerusakan LingkunganyangTimbul. https://economy.okezone.com/read/2023/06/01/320/2823774/keuntungan-ekspor-pasir-laut-tak-s ebanding-dengan-kerusakan-lingkungan-yang-timbul . Diakses pada 24 Juni 2023.

Raharjo, A. (2023). Pakar Lingkungan : Keuntungan Ekspor Pasir Laut tak Sebanding Kerugian Lingkungan.

https://news.republika.co.id/berita/rvmamq436/pakar-lingkungan-keuntungan-ekspor-pasir-laut-t ak-sebanding-kerugian-lingkungan-part1. Diakses pada 24 Juni 2023.

Safitri, I, K. (2023). Jokowi Izinkan Ekspor Pasir Laut. https://grafis.tempo.co/read/3331/jokowi-izinkan-ekspor-pasir-laut#google_vignette. Diakses pada 23 Juni 2023.

Wallace-Wells, D. (2019). The uninhabitable earth: A story of the future. Penguin UK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun