Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UNAIR
KASTRAT BEM FEB UNAIR Mohon Tunggu... Administrasi - departemen kastrat

Kajian dan opini suatu isu oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UNAIR

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gig Economy: Antara Skeptis atau Alternatif

6 November 2023   14:37 Diperbarui: 6 November 2023   14:51 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah gig economy bukan lagi menjadi sesuatu yang asing di telinga masyarakat. Terobosan lapangan pekerjaan baru yang digadang-gadang mampu menekan angka kemiskinan itu kini digandrungi oleh para tenaga kerja. Gig economy menawarkan segala kemudahan dan fleksibilitas khususnya pada tenaga kerja usia produktif. Sebut saja seperti pengemudi ojek Online, fotografer, videografer, desainer grafis, dan pekerja gig lainnya.

Rabu (5/9/2023), Tim Kajian Departemen Kastrat BEM FEB UNAIR berdiskusi langsung bersama Dr. Lanny Ramli, S.H., M.Hum. Praktisi Hukum Ketenagakerjaan sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk mengupas tuntas lebih dalam mengenai gig economy.

Fleksibilitas Gig Economy

Dalam perbincangannya, Lanny menyebutkan bahwa gig economy sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum kondang dengan nama gig economy, masyarakat telah mengenal istilah ekonomi swapekerja. Ekonomi swapekerja merupakan suatu sistem yang terdiri atas orang-orang (pekerja) yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu dan menawarkan jasanya kepada pihak-pihak membutuhkan yang berdasarkan pada perjanjian tertentu.

Dengan struktur masyarakat Indonesia yang cukup kompleks dan beragam, bonus demografi menyebabkan tenaga kerja usia produktif menjadi cukup masif. Tenaga kerja usia produktif memiliki kultur tersendiri dalam bersikap, seperti  lebih menyukai tipe pekerjaan yang menyenangkan, tidak memiliki peraturan yang berbelit, hingga tempat kerja yang fleksibel, tetapi menawarkan bayaran yang memuaskan. Akhirnya, gig economy seringkali dijadikan sebagai alternatif pilihan pekerjaan.

"Gig economy ini bisa dikatakan lebih baik daripada pekerjaan konvensional yang cenderung kaku dan banyak aturan," ujar Lanny.

Tantangan Hukum Pelaku Gig Economy

Banyak masyarakat yang menganggap jika menjadi pekerja gig merupakan sebuah pilihan yang menyenangkan. Segala kilau kemudahan, fleksibilitas, dan efektivitas yang ditawarkan oleh gig economy tanpa sadar telah membuat para pelakunya justru tidak melihat atas segala permasalahan yang terjadi. Lanny bahkan menyebutkan bahwa tidak semua jenis pekerjaan dalam gig economy mendapatkan payung hukum yang pasti.

Memang, bagi para pekerja gig yang memiliki jam kerja pasti -- Umumnya memiliki afiliasi dengan perusahaan tertentu -- masih dapat terlindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, bagi pekerja gig yang bekerja sendiri tanpa berafiliasi dengan perusahaan manapun, akan menjadi sulit untuk memberikan payung hukum yang sempurna.

"Untuk pekerja kreatif, yang menawarkan jasanya kepada beberapa pihak atau perusahaan, mau tidak mau harus melindungi dirinya sendiri," tukasnya.

Tarik Ulur Upah Minimum Pekerja Gig

Perdebatan mengenai aturan dan payung hukum bagi pekerja gig masih terus terjadi. Umumnya, perdebatan terjadi tentang perlu atau tidaknya upah minimum. Hal tersebut kerap kali belum menemui titik terang. Demo pengemudi ojek online yang masih sering terjadi, menjadi bukti nyata bahwa permasalahan upah yang diberikan kepada pekerja gig masih tidak sepadan dengan risiko pekerjaan yang dihadapi.

Dalam kasus ojek online, perusahaan startup transportasi umum, seperti Gojek, Grab, Maxim, dan lain sebagainya, berperan sebagai penghimpun pekerja mandiri. Hubungan kerja yang muncul antara pengemudi ojek online dengan perusahaan hanyalah mitra kerja, sehingga bayaran yang diberikan pun hanya berupa bagi hasil, bukan berbentuk upah.

Sementara, bagi pekerja gig di bidang kreatif, aturan terkait upah minimum tidak dapat diberlakukan untuk pekerjanya. Hal ini disebabkan karena pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja gig kreatif muncul atas kesepakatan yang dilakukan oleh pekerja gig dengan penyedia kerjanya. Kesepakatan ini meliputi lama waktu bekerja, pekerjaan apa saja yang harus dilakukan, berapa bayaran yang akan diberikan, dan sebagainya. Sebut saja seperti web developer, desainer grafis, dan pekerja gig kreatif lainnya.

"Yang dilihat bukan (pekerjaan) hariannya, tetapi hasil (akhir) pekerjaannya," tambahnya

Hubungan Antara Pekerja dan Pemberi Kerja

Dalam ranah ketenagakerjaan, seringkali dikenal istilah hubungan kerja, yaitu suatu hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. Tentunya,  untuk dapat dikatakan sebagai hubungan kerja, perlu adanya perintah dari pihak pemberi kerja kepada pekerja. Perintah yang diberikan ini harus diiringi dengan pengawasan rutin dari pemberi kerja agar pekerja dapat dipastikan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sesuai dengan keinginan pemberi kerja. Perintah dapat diberikan apabila pekerja berafiliasi dengan perusahaan atau tempat kerja tertentu, baik secara penuh waktu maupun paruh waktu.

Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku dalam gig economy, utamanya dalam kelompok industri kreatif. Hubungan yang dimiliki oleh pekerja dan pemberi kerja tidak bisa dikatakan sebagai hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena pemberi kerja hanya membuat pesanan kepada pekerja gig tanpa melakukan pengawasan-pengawasan tertentu untuk memastikan pekerja gig itu melakukan pekerjaan yang ia inginkan.

"Ambil contoh ilustrator. Itu, 'kan, orang hanya pesan ke dia. Orang itu (pemesan) tidak mengawasi setiap harinya dia seperti apa. Tahu jadi saja orang itu," jelasnya..

Jaminan Kualitas Pekerja

Salah satu kelebihan yang selalu dikumandangkan dalam jarkom gig economy adalah kemudahan untuk keluar dan masuk ke dalam industri. Tidak ada regulasi dan seleksi yang perlu dilalui oleh para calon pekerjanya. Gig economy dapat memuat siapa saja, tidak memandang umur, usia, jabatan, dan status sosial. Selama mampu dan memiliki kelebihan, siapapun bisa berkecimpung di dalam gig economy dengan bebas. Akan tetapi, dikarenakan tidak adanya seleksi untuk memilah dan memilih manakah orang-orang yang berkualitas, talent-talent yang disediakan dalam industri gig economy pun tidak semua sepenuhnya layak untuk dipekerjakan.

"Pernah saya dapat Gojek sepeda motor, (pengemudinya) terlihat sudah sepuh begitu. Selama di perjalanan kami jatuh tiga kali." kisahnya.

Bagaimana Pemerintah Menyikapi Gig Economy?

Saat ditanya bagaimana pemerintah Indonesia perlu menyikapi fenomena gig economy, ia dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah harus mampu mendukung segala aktivitas tersebut di Indonesia. Dukungan pemerintah dapat diwujudkan dengan membuat produk hukum yang melindungi para pelaku gig economy.

Akan tetapi, Lanny sempat menjelaskan bahwa membuat undang-undang bukanlah suatu hal yang mudah. Ada proses panjang yang mengiringinya hingga nanti pada akhirnya topik itu diketok dan disahkan menjadi undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, Lanny merekomendasikan pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan turunan dari peraturan yang sudah ada.

"Daripada enggak (segera) jadi, lebih baik dibuatkan aturan atau PP tertentu," jelasnya.

Lanny juga merekomendasikan untuk membedah lebih lanjut mengenai Undang-Undang Industri Kreatif, mengingat undang-undang tersebut membawahi para pekerja gig kreatif. Produk hukum tersebut sangat perlu untuk ditinjau lebih lanjut untuk dapat menilai apakah isi dari undang-undang sudah memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang termasuk di dalamnya.

Satu Hati Pekerja dan Pemberi Kerja 

Di akhir sesi wawancara, Lanny juga menyampaikan bahwa antara pekerja dan pemberi kerja harus satu hati. Keduanya tidak boleh menganggap satu sama lain sebagai pihak yang berlawanan. Mereka pun harus memiliki rasa sense of belonging dalam diri masing-masing agar kedua pihak mampu melaksanakan pekerjaannya dengan tulus sehingga mampu meminimalisasi berbagai macam konflik yang kemungkinan terjadi.

Kemudian, dalam kaitan antara gig economy dengan pekerjaan konvensional, Lanny menyampaikan bahwa masyarakat tidak harus memilih salah satu dari sistem pekerjaan yang kini tersedia di lapangan. Apabila masyarakat jenuh dengan sistem pekerjaan konvensional, gig economy dapat dijadikan alternatif untuk mencoba nuansa bekerja yang berbeda. Akan tetapi, baik gig economy maupun pekerjaan konvensional, tidak bisa sepenuhnya menggantikan satu sama lain.

"Antara gig economy dan pekerjaan konvensional ini bisa sejalan, kok." ujar Lanny.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun