Indonesia tidak akan bisa menerapkan sistem pajak tinggi seperti negara Skandinavia dan Eropa Barat. Bunuh diri politik bagi pejabat pemerintah dan anggota DPR yang bersedia membuat peraturan tersebut. Namun, sebuah kegilaan jika berharap negara bisa memberikan pendidikan tinggi kualitas baik dengan pembiayaan terbesar dari subsidi negara.Â
Negara skandinavia dengan tingkat pungutan pajak tertinggi di dunia dan korupsi terendah di dunia hanya bisa memberikan gaji dibawah UMR pada para dosennya di sistem pendidikan tingginya maka seberapa rendah dosen di Indonesia harus dibayar? Dan jika dibayar dengan gaji serendah itu apakah dosen bisa diharapkan membuat uang negara yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan tinggi bisa menghasilkan tenaga kerja produktif yang mampu bersaing di dunia internasional?
Sistem pajak Indonesia hanya bisa membiayai sistem pendidikan tinggi yang komersial. Pada masa lampau memang pemerintah orde baru bisa memberikan pendidikan tinggi murah tetapi jumlah mahasiswa di PTN jauh lebih sedikit dan data statistik menunjukkan persentase partisipasi masyarakat miskin yang lebih rendah dari sekarang.Â
Di sisi lain negara masih memiliki sumber ladang minyak melimpah serta tingkat nilai potongan pajak yang lebih tinggi. Hal yang sangat menyedihkan ketika banyak pengamat menyatakan bahwa sistem komersialisasi pendidikan tinggi membuat jumlah masyarakat miskin berpartisipasi lebih rendah dari masa orde baru hanya dengan logika yang tidak menyertakan data.
Pada sisi lain, komersialisasi pendidikan tinggi membutuhkan sistem pendidikan tinggi dengan sistem pinjaman pendidikan tinggi untuk bisa berjalan dengan baik. Hal yang sangat memberatkan saat ini adalah sistem subsidi di Indonesia sudah pada titik jenuh dan tidak bisa menalangi kebutuhan dunia pendidikan tinggi.Â
Hal ini yang mungkin melatar-belakangi saran dari Presiden Jokowi untuk meminta agar ada sistem pinjaman pendidikan. Komersialisasi pendidikan tinggi kepalang tanggung yang terjadi memang membuat mayoritas partisipan di pendidikan tinggi adalah masyarakat dari golongan menengah ke atas. Sistem pinjaman pendidikan tinggi yang berfungsi baik seharusnya bisa membuat tidak ada lulusan sekolah menengah yang ingin kuliah terbentur masalah dana. Namun sistem pinjaman pendidikan melalui bank tidak akan bisa diterapkan di Indonesia.Â
Biaya modal di Indonesia sangat tinggi sementara biaya tenaga kerja rendah. Sampoerna Foundation, BII dan IFC pernah mencoba menyalurkan pinjaman pendidikan di 2006 dengan dana disiapkan sebesar US$20 juta namun tidak berlanjut karena peminat yang sangat rendah (Wicaksono dan Friawan, 2010).
Sistem Income Contingency Loans (ICL) yang manusisawi karena pinjaman dibayar jika pendapatan pengutang mencapai batas tertentu dan biasanya setelah mencapai batas waktu jika tidak mampu dilunasi maka dihapus oleh negara. Penagihannya dilakukan melalui kantor pajak sehingga merupakan pajak tambahan. Sistem pinjaman pendidikan model ICLyang bisa memberikan dana bagi setiap orang yang ingin kuliah tanpa takut membebani masa depan lulusan secara berlebihan akan sangat berguna bagi Indonesia.
Sistem dengan model ICL yang digabungkan dengan sistem Uang Kuliah Tunggal bisa diterapkan di Indonesia. Mahasiswa membayar dengan 6 atau tujuh tingkat biaya kuliah seperti saat ini. Namun perbedaannya adalah pemberian tingkat biaya yang dibayar bukan merupakan berdasarkan ingkat penghasilan orang tua yang sulit dibuktikan seperti saat ini. Nilai biaya kuliah yang dibayarkan oleh mahasiswa adalah sesuai kesepakatan dan kesediaan dari mahasiswa untuk membayar pada tingkat biaya yang menurut mahasiswa sanggup untuk dibayar oleh mereka.Â
Namun, selisih dari nilai biaya kuliah tertinggi bukan merupakan subsidi tetapi utang dari mahasiswa tersebut. Utang yang akan dibayar di masa depan sebagai pajak tambahan. Pembayaran utang dilakukan jika pendapatan lulusan telah mencapai nilai tertentu. Selain cicilan atas pokok utang maka lulusan juga membayar  bagi hasil atas pendapatannya ditarik untuk negara.Â
Semakin rendah level biaya pendidikan maka makin tinggi persentase bagi hasil yang dibayar. Nilai cicilan pokok utang dan bagi hasil pendidikan dibatasi nilainya mungkin sekitar 15% dari nilai pendapatan setelah kena pajak. Tambahan lagi, hasil dari cicilan dan bagi hasil tersebut bukan untuk negara tetapi menjadi milik kampus.Â