Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Solusi Pinjaman Pendidikan

2 April 2018   17:33 Diperbarui: 4 April 2018   04:34 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biaya pendidikan tinggi adalah hal yang rumit. Pengenaan uang kuliah pada orang yang mengenyam pendidikan tinggi adalah sumber perdebatan yang sangat rumit jika dijelaskan pada sebuah artikel sederhana. Namun, intinya adalah jika anda percaya bahwa jika seseorang yang mengenyam pendidikan tinggi memberikan manfaat lebih besar ke masyarakat maka anda adalah pendukung biaya kuliah gratis. Jika menurut anda penikmat terbesar dari mengenyam pendidikan tinggi adalah individu tersebut maka anda adalah pendukung pengenaan biaya kuliah dan tentu saja produk turunannya pinjaman pendidikan.

Hal yang berbeda akan muncul jika yang dibicarakan tentang kebijakan pendanaan pendidikan tinggi maka perdebatan akan bertambah dengan politik. Pengenaan uang kuliah ke mahasiswa tidak boleh hanya memandang bahwa pendidikan tinggi itu baik bagi masyarakat atau individu. Harus dilihat lagi pada secara politik masyarakat mau atau tidak dikenakan pajak tinggi oleh negara.

Pada tataran tingkat dunia kita melihat negara yang memiliki kebijakan gratis biaya pendidikan tinggi yang sukses jika pajak di negara tersebut tinggi. Pada sisi lain jika negara tersebut memiliki kebijakan pajak rendah maka pengenaan biaya pendidikan tinggi akan lebih baik jika mahal dan subsidi rendah. Negara sukses dengan pendidikan gratis adalah negara Skandinivia. 

Dan jika dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat mengenyam pendidikan tinggi yang besar maka negara tersebut cukup sukses dengan partisipasi hampir Universal dan kualitas pendidikan tinggi yang sangat baik bisa dilihat dari rangking negara tersebut dari kualitas sumber daya manusianya. Jika bicara negara sukses dengan kualitas baik dan partisipasi tinggi walau dengan uang kuliah yang mahal maka Korea Selatan, Jepang, Amerika dan Australia bisa diambil contoh. Jika negara menerapkan pajak rendah dan biaya kuliah gratis atau murah walau dengan uang dan pendanaan bejibun tapi kualitas pendidikan tidak bisa memperbaiki kualitas sumber daya manusia secara mumpuni bisa dilihat dari negara di Timur Tengah.

Hal yang sangat menyedihkan adalah ketika banyak tulisan dari para pendukung pendidikan tinggi murah atau gratis tidak pernah memberikan data ini. Hal lain yang menjadikan penyampaian bahan dukungan adalah biaya kuliah akan menjadi penghalang bagi masyarakat miskin untuk berpartisipasi dan alasan pendidikan adalah hak setiap masyarakat. Namun, tidak pernah ada yang menyampaikan bahwa pendidikan tinggi gratis pada negara dengan  tingkat pajak rendah akan membatasi jumlah tempat tersedia. 

Ketika pembatasan terjadi maka, pendidikan tidak menjadi hak setiap orang tetapi hak orang yang memiliki nilai akademis terbaik. Tidak ada yang menyebutkan bahwa jika sistem kemampuan akademis digunakan sebagai seleksi dan makin sedikit tempat tersedia maka data dari penelitian menyebutkan makin rendah kesempatan masyarakat menengah kebawah yang bisa berpartisipasi. Hal yang terjadi adalah berjuta-juta buruh yang bayar pajak digunakan untuk membiayai kuliah anak orang kaya yang digunakan untuk menjadikan mereka makin kaya.

Hal yang wajar jika banyak penulis yang memberikan tulisan menentang pengenaan biaya pada pendidikan tinggi karena secara teoritikal dan bukti data menunjukkan sistem ini adalah yang terbaik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penyetaraan kesempatan berpartisipasi pada pendidikan tinggi. Namun, sistem ini terbukti baik hanya bisa dibuktikan pada negara yang secara politik rakyatnya bersedia memberikan lebih dari setengah pendapatannya ke negara. Tidak ada dan pasti tidak akan ada akademis yang bisa memberikan bukti bahwa sistem pendidikan tinggi gratis baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penyetaraan kesempatan berpartisipasi pada negara dengan tingkat pajak rendah.

Negara dengan tingkat pajak tinggi akan membuat perbedaan pendapatan pada masyarakat dengan tingkat pendapatan tertinggi dan terendah tidak akan jauh sekali berbeda. Selain itu menjadikan individu tidak memperhatikan pendapatan ketika memilih pekerjaan. Hal yang menyebabkan seluruh guru dengan pendidikan Master dan sebagian besar dosen dengan pendidikan Doktor di Finlandia rela digaji dibawah buruh. 

Hal berbeda dengan negara pada tingkat pajak rendah. Hal yang memberikan ketidak relaan pada sebagian besar masyarakat memberikan diri kepada negara sepenuhnya. Tingkat perbedaan pendapatan antara masyarakat dengan pendapatan tertinggi dan terendah akan sangat jauh. Dosen dengan pendidikan Doktor tidak akan rela jika pendapatannya hanya setara atau dibawah UMR Karawang. Banyak diantara dosen dengan kualitas tinggi akan memiliki kerja sambilan sebagai konsultan (kerja sambilan yang habiskan sebagian besar waktu). 

Jika berada pada jurusan tidak basah seperti sastra yang tidak bisa sebagai konsultan atau koneksi maka akan menjadi dosen keliling serta jualan diktat. Efek samping dari kesibukan sampingan yang lebih utama maka akan menyebabkan kualitas pendidikan tinggi yang rendah. Nilai dari dosen yang jualan diktat atau dosen keliling akan relatif lebih gampang diraih. 

Dosen tidak memiliki waktu memberikan pendidikan yang menyeluruh serta membuat peserta pendidikan layak menjadi mahasiswa bukan sekedar siswa yang datang, duduk, catat dan ikut ujian. Hal yang wajar karena ketika pendukung pendidikan gratis berteriak bahwa itu hak mahasiswa, mereka selalu lupa bahwa hidup layak dan memiliki dana penelitian yang mencukupi adalah hak dosen yang tidak akan bisa dipenuhi negara jika sistem pajak rendah berlaku.

Indonesia tidak akan bisa menerapkan sistem pajak tinggi seperti negara Skandinavia dan Eropa Barat. Bunuh diri politik bagi pejabat pemerintah dan anggota DPR yang bersedia membuat peraturan tersebut. Namun, sebuah kegilaan jika berharap negara bisa memberikan pendidikan tinggi kualitas baik dengan pembiayaan terbesar dari subsidi negara. 

Negara skandinavia dengan tingkat pungutan pajak tertinggi di dunia dan korupsi terendah di dunia hanya bisa memberikan gaji dibawah UMR pada para dosennya di sistem pendidikan tingginya maka seberapa rendah dosen di Indonesia harus dibayar? Dan jika dibayar dengan gaji serendah itu apakah dosen bisa diharapkan membuat uang negara yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan tinggi bisa menghasilkan tenaga kerja produktif yang mampu bersaing di dunia internasional?

Sistem pajak Indonesia hanya bisa membiayai sistem pendidikan tinggi yang komersial. Pada masa lampau memang pemerintah orde baru bisa memberikan pendidikan tinggi murah tetapi jumlah mahasiswa di PTN jauh lebih sedikit dan data statistik menunjukkan persentase partisipasi masyarakat miskin yang lebih rendah dari sekarang. 

Di sisi lain negara masih memiliki sumber ladang minyak melimpah serta tingkat nilai potongan pajak yang lebih tinggi. Hal yang sangat menyedihkan ketika banyak pengamat menyatakan bahwa sistem komersialisasi pendidikan tinggi membuat jumlah masyarakat miskin berpartisipasi lebih rendah dari masa orde baru hanya dengan logika yang tidak menyertakan data.

Pada sisi lain, komersialisasi pendidikan tinggi membutuhkan sistem pendidikan tinggi dengan sistem pinjaman pendidikan tinggi untuk bisa berjalan dengan baik. Hal yang sangat memberatkan saat ini adalah sistem subsidi di Indonesia sudah pada titik jenuh dan tidak bisa menalangi kebutuhan dunia pendidikan tinggi. 

Hal ini yang mungkin melatar-belakangi saran dari Presiden Jokowi untuk meminta agar ada sistem pinjaman pendidikan. Komersialisasi pendidikan tinggi kepalang tanggung yang terjadi memang membuat mayoritas partisipan di pendidikan tinggi adalah masyarakat dari golongan menengah ke atas. Sistem pinjaman pendidikan tinggi yang berfungsi baik seharusnya bisa membuat tidak ada lulusan sekolah menengah yang ingin kuliah terbentur masalah dana. Namun sistem pinjaman pendidikan melalui bank tidak akan bisa diterapkan di Indonesia. 

Biaya modal di Indonesia sangat tinggi sementara biaya tenaga kerja rendah. Sampoerna Foundation, BII dan IFC pernah mencoba menyalurkan pinjaman pendidikan di 2006 dengan dana disiapkan sebesar US$20 juta namun tidak berlanjut karena peminat yang sangat rendah (Wicaksono dan Friawan, 2010).

Sistem Income Contingency Loans (ICL) yang manusisawi karena pinjaman dibayar jika pendapatan pengutang mencapai batas tertentu dan biasanya setelah mencapai batas waktu jika tidak mampu dilunasi maka dihapus oleh negara. Penagihannya dilakukan melalui kantor pajak sehingga merupakan pajak tambahan. Sistem pinjaman pendidikan model ICLyang bisa memberikan dana bagi setiap orang yang ingin kuliah tanpa takut membebani masa depan lulusan secara berlebihan akan sangat berguna bagi Indonesia.

Sistem dengan model ICL yang digabungkan dengan sistem Uang Kuliah Tunggal bisa diterapkan di Indonesia. Mahasiswa membayar dengan 6 atau tujuh tingkat biaya kuliah seperti saat ini. Namun perbedaannya adalah pemberian tingkat biaya yang dibayar bukan merupakan berdasarkan ingkat penghasilan orang tua yang sulit dibuktikan seperti saat ini. Nilai biaya kuliah yang dibayarkan oleh mahasiswa adalah sesuai kesepakatan dan kesediaan dari mahasiswa untuk membayar pada tingkat biaya yang menurut mahasiswa sanggup untuk dibayar oleh mereka. 

Namun, selisih dari nilai biaya kuliah tertinggi bukan merupakan subsidi tetapi utang dari mahasiswa tersebut. Utang yang akan dibayar di masa depan sebagai pajak tambahan. Pembayaran utang dilakukan jika pendapatan lulusan telah mencapai nilai tertentu. Selain cicilan atas pokok utang maka lulusan juga membayar  bagi hasil atas pendapatannya ditarik untuk negara. 

Semakin rendah level biaya pendidikan maka makin tinggi persentase bagi hasil yang dibayar. Nilai cicilan pokok utang dan bagi hasil pendidikan dibatasi nilainya mungkin sekitar 15% dari nilai pendapatan setelah kena pajak. Tambahan lagi, hasil dari cicilan dan bagi hasil tersebut bukan untuk negara tetapi menjadi milik kampus. 

Namun dana itu tidak digunakan untuk belanja tetapi sebagai tambahan untuk dipinjamkan kepada mahasiswa. Sehingga kampus bagus yang alumninya memiliki pendapatan tinggi akan bisa mengembangkan jumlah mahasiswanya sementara kampus yang alumninya tidak mampu membayar hanya akan memiliki jumlah mahasiswa tetap karena tergantung dari nilai grants dari negara.

Sebagai tambahan, setiap mahasiswa yang memilih untuk berhutang harus memberikan surat pemberian hak kepada Dirjen Pajak untuk memeriksa rekening bank pribadi atau usaha yang mereka miliki. Hal ini akan memberikan kekuasaan kepada dirjen pajak untuk memantau pendapatan para debitur utang pendidikan. Dengan solusi ini diharapkan nilai dana tersedia bagi universitas untuk membiayai diri mereka secara mencukupi untuk berkembang tanpa perlu tergantung dengan keadaan politik atau ketersediaan dana negara.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun