Jadi, dari mana ide punishment semacam itu berasal?
Bagi Anda yang merasa sudah menjadi orangtua, jangan lantas pongah menyalahkan kaum muda seperti kami yang Anda pikir salah jalan. Apa yang dilakukan generasi millenial ini bisa jadi adalah warisan Anda para generasi X di dunia pendidikan, kami hanya meneruskan sistem senioritas yang diciptakan oleh orangtua kami.
Saya pun pernah mengalami menjadi panitia diksar, tetapi tidak pernah melakukan punishment semacam itu. Lha wong membawa diri sendiri dengan tas carriel yang tingginya melebihi kepala saja sudah melelahkan. Tetapi jangan heran kalau ternyata banyak orang yang punya energi masa muda berlebih untuk melakukannya, salah satunya dalam bentuk keisengan-keisengan yang tidak ada relevansinya dengan kepecintaalaman.
Kembali lagi ke kasus meninggalnya tiga siswa diksar mapala Unisi. Sudah terbayang di benak saya bahwa manajemen perjalanan yang dilakukan panitia sangat buruk. Semua teori manajemen perjalanan dari materi kelas yang mereka berikan nonsense dalam praktiknya. Semua yang awalnya hanya keisengan-keisengan (telah saya sebutkan contohnya di atas) bisa jadi malah kebablasan.
Dan seperti ini bentuk dualisme dalam komunitas pecinta alam, ada hal positif dan negatif. Peserta yang tidak terima diperlakukan ‘buruk’ oleh panitia, seusai kegiatan diksar banyak yang memilih mengundurkan diri.
“Cukup tau aja!” Demikian ujaran jengkel rekan-rekan saya yang memilih balik badan dari gabung di mapala kampus.
Namun, saat itu saya punya pemikiran berbeda. Saya menetapkan satu niat untuk lanjut, dan mengetahui jalan seperti apa yang akan ada di depan saya. Dalam imajinasi ekstrem saya, saya kerap menganalogikan diri saya sebagai seorang masokis yang menjalin hubungan dengan kekasih sadomakisme. Tarik ulur emosi dari senior kepada junior, menjadi dinamika unik dalam komunitas. Anggota baru dirasa perlu mengalami tersakiti tubuh dan mentalnya untuk pertama kali, setelah selesai mereka disayang-sayang kembali, begitu terjadi beberapa kali, hingga emosi-emosi yang muncul itu berubah menjadi perasaan persaudaraan, senasib seperjuangan, dan lain sebagainya.
Sungguh saya merasa malu pada akhirnya ada nyawa-nyawa terenggut dari pendidikan dasar di komunitas yang saya geluti ini. Dahulu, sempat tebersit dalam benak saya bahwa sistem punishment diksar ini berpotensi traumatis, hingga skenario terburuk menghilangkan nyawa.
Dari tulisan ini, saya hendak menyimpulkannya dengan beberapa pertanyaan yang mungkin ada di antara Anda bisa menjawab.
1. Mana pernyataan dari perintis mapala di Indonesia yang menyebutkan bahwa seorang mapala harus punya mental dan fisik sekuat tentara?
2. Apakah benar punishment tersebut adalah wujud keisengan yang kebablasan sehingga mampu merenggut nyawa tiga mahasiswa?