Mohon tunggu...
Kartika V.
Kartika V. Mohon Tunggu... Jurnalis -

journalist | creative writer | gadget | animated movies | drama series | not a feminist | Christ follower

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dualisme Diksar Mapala yang Harus Diwaspadai

27 Januari 2017   17:37 Diperbarui: 28 Januari 2017   19:07 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit: riseearth.com

Miris mendengar kabar meninggalnya tiga peserta pendidikan dasar (diksar) mahasiswa pecinta alam (mapala) UII Yogyakarta. Ucapan dukacita pun mengalir dari teman-teman sesama pegiat mapala. Selama ini telah banyak pemberitaan tentang perpeloncoan di berbagai organisasi, namun saya selalu acuh tak acuh, malas berbunyi. Tetapi kali ini ada yang berbeda, karena saya adalah pegiat mapala, merasa perlu angkat bicara dari sudut pandang orang pernah yang terlibat di dalamnya. Tentu saja pendapat saya bukan sebagai ahli dalam kegiatan ini, sekadar berbagi.

Bagi pegiat kegiatan alam bebas ini tidak ada kata mantan, karena begitu seseorang berkomitmen untuk gabung, status keanggotaan di organisasi pecinta alam (kampus maupun nonkampus) tersebut akan melekat dalam dirinya seumur hidup. Seorang teman yang menghilang bertahun-tahun lamanya, tidak pernah kumpul, begitu menyetorkan muka kembali diterima dengan tangan terbuka dan penuh canda tawa. Begitulah kehidupan dalam komunitas ini yang membekas di hati.

Siapa pun bisa menjadi anggota mapala, persyaratannya harus sehat jiwa dan raga, juga bersedia menjalami pendidikan dasar. Diksar mencakup latihan fisik dan belajar teori mengenai manajemen perjalanan yang sangat diperlukan oleh para pemula (peserta diksar). Ini dua bekal yang wajib disediakan teman-teman mahasiswa yang bertugas sebagai panitia untuk peserta diksarnya.

Anggota mapala adalah orang yang bersedia didoktrin sebagai kader lingkungan hidup. Setelah melewati masa pendidikan dasar, mereka mampu mengukur seberapa kuat diri mereka untuk mendaki suatu gunung, memanjat tebing, mengarungi sungai, atau menelusuri gua. Seorang mapala yang berpelesir ria ke mana pun mereka pergi, akan senantiasa menghargai alam sekitarnya, tidak merusak, vandalisme, atau meninggalkan sampah.

Anak mapala yang naik gunung bukanlah anak alay yang baru menonton film 5 cm dan ingin menaklukkan Gunung Semeru. Penghargaan terhadap alam adalah pembeda attitude seorang pendaki mapala dengan pendaki amatiran lainnya. Tidak ada seorang pun mapala yang meninggalkan sampah plastik di atas gunung, mereka sisakan ruang di tasnya untuk membawa turun semua sampah jenis anorganik, kecuali sampah organik, itu pun membuangnya dengan mengubur, termasuk hajat buangan mereka.

Inilah satu wajah terbaik dari mengikuti komunitas mapala. Tapi tunggu sampai Anda mendengar sisi lainnya. Sebelumnya, mungkin Anda sudah membaca artikel ini, Tujuh Hal Mengerikan Diksar Mapala UII yang Tewaskan Tiga Mahasiswa.

Sampai di sini, mari kita berbicara mengenai kemungkinan yang terjadi dalam The Grand Camping (TGC) yang diselenggarakan teman-teman Mapala Unisi.

Menjadi panitia kegiatan diksar itu sama halnya bekerja sebagai relawan untuk sebuah event nonprofit, dalam hal ini adalah kegiatan olahraga ekstrem. Bagaimanapun, panitia tersebut adalah mahasiswa yang notabene orang-orang yang sedang menimba ilmu, bukan event organizer profesional, meski demikian mereka bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan peserta diksar. Tentu menjadi tantangan tersendiri bagaimana seorang amatir membawa 37 mahasiswa peserta ke atas Gunung Lawu.

Kadang panitia melakukan hal-hal iseng untuk peserta diksar yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan alam bebas. Apa saja hal-hal iseng itu?

Salah satu contoh misalnya, peserta diwajibkan menangkap cicak yang harus mereka cari di sekitaran kampus, menyimpannya di dalam botol bekas, dan harus membawanya ke atas gunung. Namun, panitia selalu memiliki alibi. Cicak adalah hewan yang hanya terdapat di dataran rendah beriklim tropis. Jika dibawa ke atas gunung tentu cuaca dingin bukan habitat hewan ini, lama-lama mati lemas. Hingga akhirnya cicak-cicak malang tersebut menjadi santapan terakhir bagi peserta diksar, atas perintah panitia (senior). Cuma iseng aja, katanya.

Apakah ini lucu? Tentu saja lucu, silakan lho kalau mau tertawa bagi Anda yang di luar komunitas mapala ini, saya pun demikian. Tak ada satu pun dalam sejarah yang menjelaskan relevansi cicak dengan gunung. Cuma iseng aja, katanya.

Benarkah cuma iseng?

Hal yang paling prinsipil, dibutuhkan kedewasaan mental agar keisengan itu tak sampai kebablasan menjadi perilaku kekerasan atau penganiayaan. Tidak saya pungkiri dalam pelaksanaannya kegiatan yang publik sebut sebagai perpeloncoan (selanjutnya akan saya sebut istilah ‘punishment’) itu ada dalam diksar meski masih ‘batas wajar’.

Seperti apa dan sampai mana batas wajarnya?

Punishment dilakukan semata-mata supaya peserta kembali fokus, pasalnya cuaca dingin di atas gunung cenderung membuat orang malas bergerak alias mager. Yah, sedikit tamparan pipi, push up dengan barang bawaan di punggung, atau kalau senior sedang mager setidaknya sesama peserta diperintahkan saling menempeleng.

Lalu tendangan bagaimana? Tidak boleh ada yang namanya tendangan langsung ke badan peserta, alih-alih hanya tendangan ke arah tas carriel yang ujung-ujungnya membuat tubuh peserta limbung dan kalau tidak kuat menahan paling hanya sedikit terguling, hahaha. Sementara untuk membangun kekompakkan sesama peserta, ada praktik yang boleh dibilang jorok, misalnya menggosok gigi beramai-ramai, maksudnya satu sikat gigi dipakai bergantian dari satu orang ke yang lain di lingkup peserta diksar. Padahal, tak ada satu pun panitia melakukan hal-hal menjijikkan ini.

Tapi senior tetap bersikap baik, mereka selalu ready obat-obatan lengkap melebihi bawaan peserta diksar. Mereka siap cairan disinfeksi seperti alkohol/rivanol, oksigen tabung, hingga obat sakit perut supaya tidak ada yang keracunan akibat macam-macam makanan tidak saniter selama kegiatan.

Menurut padangan subjektif saya, sistem diksar ini sama sekali melenceng jauh dari filosofi kepecintaalaman itu sendiri sebagaimana yang pernah digagas Soe Hok Gie mendirikan Mapala UI pada 8 November 1964.

“Mapala didirikan untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antarorganisasi.”

“Mapala adalah organisasi beranggotakan para mahasiswa dengan kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan terhadap alam sekitar dan lingkungan hidup.” (Sumber: Cikal Bakal Mapala di Indonesia)

Berdasarkan filosofi tersebut, apakah ada tujuan mendirikan mapala yang menyebutkan anggotanya harus punya mental dan fisik sekuat tentara RI?

Yang saya pahami di sini, kader mapala adalah orang yang mampu mengukur kekuatan fisik mereka sebelum mengeksplorasi alam serta attitude terhadap alam. Hanya dua prinsip itu. Bahkan tanpa pendidikan mapala sekalipun, anak alay yang baru menonton film 5 cm dan ingin menaklukkan Gunung Semeru pun mampu membawa diri mereka dengan selamat. Siapa pun bisa mengajak rekan-rekannya naik gunung, karena ini jenis piknik yang cukup manjur meningkatkan kesehatan mental dan melatih kekuatan kaki.

Jadi, dari mana ide punishment semacam itu berasal?

Bagi Anda yang merasa sudah menjadi orangtua, jangan lantas pongah menyalahkan kaum muda seperti kami yang Anda pikir salah jalan. Apa yang dilakukan generasi millenial ini bisa jadi adalah warisan Anda para generasi X di dunia pendidikan, kami hanya meneruskan sistem senioritas yang diciptakan oleh orangtua kami.

Saya pun pernah mengalami menjadi panitia diksar, tetapi tidak pernah melakukan punishment semacam itu. Lha wong membawa diri sendiri dengan tas carriel yang tingginya melebihi kepala saja sudah melelahkan. Tetapi jangan heran kalau ternyata banyak orang yang punya energi masa muda berlebih untuk melakukannya, salah satunya dalam bentuk keisengan-keisengan yang tidak ada relevansinya dengan kepecintaalaman.

Kembali lagi ke kasus meninggalnya tiga siswa diksar mapala Unisi. Sudah terbayang di benak saya bahwa manajemen perjalanan yang dilakukan panitia sangat buruk. Semua teori manajemen perjalanan dari materi kelas yang mereka berikan nonsense dalam praktiknya. Semua yang awalnya hanya keisengan-keisengan (telah saya sebutkan contohnya di atas) bisa jadi malah kebablasan.

Dan seperti ini bentuk dualisme dalam komunitas pecinta alam, ada hal positif dan negatif. Peserta yang tidak terima diperlakukan ‘buruk’ oleh panitia, seusai kegiatan diksar banyak yang memilih mengundurkan diri.

“Cukup tau aja!” Demikian ujaran jengkel rekan-rekan saya yang memilih balik badan dari gabung di mapala kampus.

Namun, saat itu saya punya pemikiran berbeda. Saya menetapkan satu niat untuk lanjut, dan mengetahui jalan seperti apa yang akan ada di depan saya. Dalam imajinasi ekstrem saya, saya kerap menganalogikan diri saya sebagai seorang masokis yang menjalin hubungan dengan kekasih sadomakisme. Tarik ulur emosi dari senior kepada junior, menjadi dinamika unik dalam komunitas. Anggota baru dirasa perlu mengalami tersakiti tubuh dan mentalnya untuk pertama kali, setelah selesai mereka disayang-sayang kembali, begitu terjadi beberapa kali, hingga emosi-emosi yang muncul itu berubah menjadi perasaan persaudaraan, senasib seperjuangan, dan lain sebagainya.

Sungguh saya merasa malu pada akhirnya ada nyawa-nyawa terenggut dari pendidikan dasar di komunitas yang saya geluti ini. Dahulu, sempat tebersit dalam benak saya bahwa sistem punishment diksar ini berpotensi traumatis, hingga skenario terburuk menghilangkan nyawa.

Dari tulisan ini, saya hendak menyimpulkannya dengan beberapa pertanyaan yang mungkin ada di antara Anda bisa menjawab.

1. Mana pernyataan dari perintis mapala di Indonesia yang menyebutkan bahwa seorang mapala harus punya mental dan fisik sekuat tentara?

2. Apakah benar punishment tersebut adalah wujud keisengan yang kebablasan sehingga mampu merenggut nyawa tiga mahasiswa?

3. Apakah ke depannya akan ada generasi baru mapala-mapala yang berjiwa ksatria untuk memutus mata rantai diksar yang diisi berbagai punishment seperti ini?

Last but not least, besar harapan saya akan ada perubahan di kegiatan diksar mapala dengan meniadakan unsur-unsur yang tidak ada hubungannya dengan kepecintaalaman, seperti kekerasan melalui kontak fisik, atau keisengan-keisengan semata. Bahwa membentuk mental yang kuat tidak selamanya harus dengan tamparan, bahwa membangun tubuh yang kuat tidak mesti harus menerima tendangan. Jika ada rekan-rekan pegiat pecinta alam yang merasa tidak mengalami hal-hal tersebut di atas, silakan tanggapi artikel ini di kolom komentar.

Salam lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun