Benarkah cuma iseng?
Hal yang paling prinsipil, dibutuhkan kedewasaan mental agar keisengan itu tak sampai kebablasan menjadi perilaku kekerasan atau penganiayaan. Tidak saya pungkiri dalam pelaksanaannya kegiatan yang publik sebut sebagai perpeloncoan (selanjutnya akan saya sebut istilah ‘punishment’) itu ada dalam diksar meski masih ‘batas wajar’.
Seperti apa dan sampai mana batas wajarnya?
Punishment dilakukan semata-mata supaya peserta kembali fokus, pasalnya cuaca dingin di atas gunung cenderung membuat orang malas bergerak alias mager. Yah, sedikit tamparan pipi, push up dengan barang bawaan di punggung, atau kalau senior sedang mager setidaknya sesama peserta diperintahkan saling menempeleng.
Lalu tendangan bagaimana? Tidak boleh ada yang namanya tendangan langsung ke badan peserta, alih-alih hanya tendangan ke arah tas carriel yang ujung-ujungnya membuat tubuh peserta limbung dan kalau tidak kuat menahan paling hanya sedikit terguling, hahaha. Sementara untuk membangun kekompakkan sesama peserta, ada praktik yang boleh dibilang jorok, misalnya menggosok gigi beramai-ramai, maksudnya satu sikat gigi dipakai bergantian dari satu orang ke yang lain di lingkup peserta diksar. Padahal, tak ada satu pun panitia melakukan hal-hal menjijikkan ini.
Tapi senior tetap bersikap baik, mereka selalu ready obat-obatan lengkap melebihi bawaan peserta diksar. Mereka siap cairan disinfeksi seperti alkohol/rivanol, oksigen tabung, hingga obat sakit perut supaya tidak ada yang keracunan akibat macam-macam makanan tidak saniter selama kegiatan.
Menurut padangan subjektif saya, sistem diksar ini sama sekali melenceng jauh dari filosofi kepecintaalaman itu sendiri sebagaimana yang pernah digagas Soe Hok Gie mendirikan Mapala UI pada 8 November 1964.
“Mapala didirikan untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antarorganisasi.”
“Mapala adalah organisasi beranggotakan para mahasiswa dengan kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan terhadap alam sekitar dan lingkungan hidup.” (Sumber: Cikal Bakal Mapala di Indonesia)
Berdasarkan filosofi tersebut, apakah ada tujuan mendirikan mapala yang menyebutkan anggotanya harus punya mental dan fisik sekuat tentara RI?
Yang saya pahami di sini, kader mapala adalah orang yang mampu mengukur kekuatan fisik mereka sebelum mengeksplorasi alam serta attitude terhadap alam. Hanya dua prinsip itu. Bahkan tanpa pendidikan mapala sekalipun, anak alay yang baru menonton film 5 cm dan ingin menaklukkan Gunung Semeru pun mampu membawa diri mereka dengan selamat. Siapa pun bisa mengajak rekan-rekannya naik gunung, karena ini jenis piknik yang cukup manjur meningkatkan kesehatan mental dan melatih kekuatan kaki.