Platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok harus memiliki kebijakan tegas untuk menangani konten yang bersifat merundung. Sistem pelaporan yang mudah dan cepat harus tersedia bagi pengguna.
3. Kampanye Publik
Kampanye anti-cyberbullying dapat menjadi alat efektif untuk mengubah pola pikir masyarakat. Contohnya, kampanye "Think Before You Post" yang mendorong pengguna untuk berpikir sebelum membagikan sesuatu di dunia maya.
4. Pendampingan Psikologis
Korban cyberbullying membutuhkan dukungan psikologis untuk mengatasi trauma yang mereka alami. Pemerintah dan lembaga non-profit dapat menyediakan layanan ini secara gratis.
KesimpulanÂ
Cyberbullying bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga kejahatan yang memiliki dampak serius bagi korbannya. Penegakan hukum pidana yang tegas harus diiringi dengan upaya membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya etika di dunia maya. Dalam era digital ini, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang daring yang aman dan menghormati hak-hak orang lain.
Dengan regulasi yang lebih jelas, penegakan hukum yang konsisten, dan edukasi yang berkelanjutan, diharapkan fenomena cyberbullying dapat diminimalisasi, sehingga dunia maya menjadi tempat yang lebih positif dan inklusif bagi semua.
Hukum pidana di Indonesia telah menyediakan landasan untuk menindak tindakan cyberbullying, terutama melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Perlindungan Anak. UU ITE menjadi instrumen utama, dengan pasal-pasal yang mengatur penghinaan, pencemaran nama baik, hingga ujaran kebencian berbasis SARA. KUHP juga dapat digunakan dalam kasus pencemaran nama baik yang dilakukan secara online, sementara UU Perlindungan Anak memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai korban.
Namun, implementasi hukum ini masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesulitan melacak pelaku yang sering beroperasi secara anonim dan multitafsir dalam penerapan UU ITE yang kadang menimbulkan kontroversi. Selain itu, rendahnya literasi digital masyarakat membuat banyak kasus cyberbullying tidak dilaporkan atau bahkan dianggap sebagai hal yang biasa.
Meskipun demikian, tantangan masih dihadapi dalam implementasinya, seperti kesulitan melacak pelaku anonim, ketidakpastian hukum pada beberapa pasal UU ITE, dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus. Banyak korban juga tidak memahami hak-hak mereka atau memilih diam karena merasa tidak ada perlindungan yang memadai.