Pada Januari 2025, Indonesia akan menyaksikan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Keputusan ini dipastikan langsung langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR pada Rabu (13/11), Menkeu menjelaskan, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong, prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian. Kenaikan ini diharapkan dapat memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman asing, namun juga menimbulkan pro kontra dari berbagai sektor masyarakat dan pelaku ekonomi.
Dasar Kebijakan
Dasar kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, Menjaga keadilan dalam sistem perpajakan, Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, Memperkuat stabilitas ekonomi.
Terkait barang mewah, Pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen. Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada regulasi pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor. Pemerintah juga telah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu atau yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.
Analisis Dampak Ekonomi
Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan menghasilkan penerimaan tambahan yang signifikan, yang dapat membantu dalam mendanai defisit anggaran pemerintah. Namun, dampak langsungnya terhadap konsumen sendiri adalah peningkatan harga barang dan jasa yang dapat memicu inflasi. Sebagai tanggapan, Bank Indonesia mungkin harus menyesuaikan kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar dan tingkat inflasi.
Di sisi lain, Dr. Haris Munandar, seorang ekonom senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa "Meskipun inflasi jangka pendek mungkin terjadi, efek stabilisasi dari kebijakan fiskal yang lebih sehat akan bermanfaat dalam jangka menengah dan panjang."
Tanggapan Sektor Usaha
Pernyataan dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menyebutkan, "Kami memahami kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan, namun sangat penting untuk menjaga keseimbangan sehingga tidak menghambat pertumbuhan sektor usaha yang sedang berjuang pulih dari dampak pandemi."
Untuk itu, Ketua Umum KADIN Anindya Novyan Bakrie, dapat memahami kebijakan pemerintah yang bakal menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diiringi dengan kebijakan stimulus ekonomi (insentif) bagi masyarakat menengah kebawah yang berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Respon Masyarakat dan Kebijakan Sosial
Kenaikan PPN tentunya menimbulkan polemik dan kekhawatiran sosial di tengah masyarakat, terutama dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Belakangan ini, sedang ramai tagar “TolakPPN12Persen” di media sosial X yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat merasa keberatan jika pemerintah menerapkan PPN 12 Persen. Selain itu, penolakan juga disuarakan secara langsung. Penolakan tersebut disuarakan oleh Partai Buruh, mereka menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan mengancam akan mogok massal bila kenaikan PPN tidak segera dibatalkan. “Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1 persen hingga 3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Menanggapi berbagai penolakan tersebut hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah akan menyiapkan paket ekonomi untuk masyarakat dan pelaku usaha dengan mengandalkan anggaran negara. Paket itu termasuk pembebasan PPN pada bahan kebutuhan pokok senilai Rp 77,1 triliun. Nilai tersebut untuk kebutuhan seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, unggas, serta barang hasil perikanan dan kelautan.
Dr. Anita Wulandari sebagai pengamat kebijakan publik menyampaikan, "Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pajak yang diambil tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan, tetapi juga pada distribusi manfaat yang adil. Pengalokasian anggaran yang tepat untuk subsidi dan bantuan sosial akan krusial."
Kesimpulan
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan pendapatan negara, mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan sosial, serta mengurangi ketergantungan pada pinjaman asing. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan inflasi jangka pendek karena kenaikan harga barang dan jasa, tetapi juga diperkirakan dapat memberikan dampak positif jangka panjang terhadap stabilitas fiskal negara.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk kebaikan ekonomi secara keseluruhan, ada kekhawatiran dan penolakan dari berbagai sektor yaitu terutama dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan sektor usaha yang merasa terbebani dengan peningkatan biaya hidup dan operasional. Pemerintah telah merespons kekhawatiran ini dengan merencanakan paket stimulus ekonomi dan pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok, bertujuan untuk meringankan beban masyarakat yang paling terdampak dan memastikan distribusi manfaat yang adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H